Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut dinilai belum relevan, penuh risiko, dan rentan penyalahgunaan. Peninjauan ulang dibutuhkan untuk memastikan kesiapan aturan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah membuka keran eksploitasi pasir laut terus disorot. Komisi VII DPR menilai kebijakan tersebut rentan penyalahgunaan dan berpotensi tumpang-tindih karena bertentangan dengan aturan pemerintah lainnya. Mereka meminta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM meninjau ulang aturan yang memicu kegaduhan itu.
Kebijakan eksploitasi pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Aturan itu memungkinkan pemanfaatan hasil sedimentasi yang berupa pasir laut dan lainnya untuk reklamasi dalam negeri, pembangunan infrastruktur, dan ekspor.
Dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Arifin Tasrif di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (13/6/2023), sebagian besar anggota komisi mencecar esensi dari PP No 26/2023. Mereka menyinggung adanya potensi tumpang-tindih aturan yang satu dengan lainnya.
Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman mengatakan, PP No 26/2023 tidak mewajibkan pengusaha yang ingin memanfaatkan pasir laut untuk membuat izin usaha pertambangan (IUP). Hal ini membuka ruang bagi pengusaha untuk mengeksploitasi pasir laut di sepanjang garis pantai Indonesia.
Wilayah dengan pasir laut yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan, menurut PP No 26/2023, harus di luar kawasan IUP. Sementara itu, untuk pasir laut yang mengandung mineral, pengusaha yang akan memanfaatkannya harus mengajukan IUP terlebih dulu.
”Ini apa maksudnya, saya mohon agar aturan yang bertabrakan ini diklarifikasi. Sebab, seluruh aktivitas yang membutuhkan IUP harus di dalam wilayah IUP,” ujar Maman.
Kami meminta PP No 26/2023 ditinjau kembali, bahkan bila perlu dicabut sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat saat ini dan kerusakan lingkungan di masa depan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Nasdem, Rico Sia, menyebutkan, Pasal 36 Undang-Undang (UU) No 3/2020 tentang Perubahan atas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan pelaku usaha untuk mengajukan IUP sebelum mengeksplorasi dan memproduksi. Sementara itu, PP No 26/2023 memperbolehkan pengusaha untuk mengeruk jika menemukan mineral, baru mengajukan IUP.
Selain itu, ada sejumlah peraturan daerah juga ada yang melarang pemanfaatan kawasan di pesisir pantai untuk pertambangan. Sebab, pemanfaatannya ditujukan untuk masyarakat pesisir dan nelayan.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi VII dari Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari. Ia memandang PP No 26/2023 membuka keran ekspor pasir laut ke negara lain. Padahal, sudah dua dekade dilarang karena merugikan negara, baik sektor ekonomi maupun lingkungan.
”Kami meminta PP No 26/2023 ditinjau kembali, bahkan bila perlu dicabut sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di masyarakat saat ini dan kerusakan lingkungan di masa depan,” ucapnya.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Golkar, Dyah Roro Esti, menuturkan, pengerukan sedimentasi dinilai terlalu berisiko dalam konteks pengawasan. Dia menyoroti apa konsekuensi yang tepat pada pengusaha yang tidak melaporkan temuan mineral.
Merespons hal tersebut, Arifin Tasrif memastikan kawasan pemanfaatan pasir laut akan melewati analisis laboratorium terlebih dulu. Ini dalam rangka menentukan jenis pasir laut hingga mineral yang terkandung di dalamnya.
Pemanfaatan pasir laut diutamakan bagi dalam negeri. Jika kebutuhan dalam negeri tercukupi, bisa dilakukan ekspor. ”Untuk mengirim ke luar negeri, ada rambu-rambu yang harus diperhatikan. Hal ini seperti memastikan bahwa pasir laut tidak mengandung mineral,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo, kemarin, menyampaikan, tugas terberat ada pada tim teknis gabungan lintas kementerian. Sebab, mereka akan menentukan luas kawasan yang boleh dimanfaatkan hingga harga pasir laut.
Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah mengumpulkan masukan dari berbagai pihak. Masukan tersebut akan ditampung dalam aturan turunan PP No 26/2023 berupa peraturan menteri.