Kebijakan ekspor pasir laut menyisakan masalah, terutama pengawasan. Niat menambah pendapatan negara sebaiknya tak mengorbankan lingkungan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut terus disorot di tengah minimnya pengawasan. Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar forum kelompok diskusi terarah dengan melibatkan pemangku kepentingan guna mencari solusi kebijakan ekspor pasir laut yang menuai polemik.
Dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (12/6/2023), hampir semua fraksi di Komisi IV mempertanyakan urgensi kebijakan pemerintah mengekspor pasir laut. Kesimpulan rapat kerja itu. antara lain, ialah meminta pemerintah menggelar forum diskusi dengan melibatkan para pakar.
Kebijakan ekspor pasir laut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Kebijakan itu mencabut larangan ekspor pasir laut selama 21 tahun terakhir yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Anggota Komisi IV DPR, Azikin Solthan, dari Fraksi Partai Gerindra mengemukakan, dibukanya keran ekspor pasir laut telah menuai keresahan dan kekhawatiran nelayan, masyarakat pesisir, dan pemerhati lingkungan terhadap dampak jangka panjang krisis ekologis yang ditimbulkan dari pengambilan pasir laut.
”Dalam jangka panjang, (kebijakan) ini akan berdampak serius pada krisis ekologis di wilayah pesisir dan laut, serta kerusakan ekosistem dan biota laut yang berdampak pada menurunnya hasil tangkapan nelayan. Kami minta penjelasan atas terbitnya PP No 26/2023 dan PP ini agar ditinjau kembali dengan meminta masukan dari para pemangku kepentingan,” katanya.
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, mengemukakan, PP No 26/2023 terkesan tiba-tiba muncul dan penyusunannya tidak melibatkan publik sehingga menimbulkan kecurigaan. Ia mengingatkan pentingnya transparansi agar jangan ada ”penumpang gelap” dalam penyusunan PP tersebut.
Pemanfaatan pasir laut untuk peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga dinilai belum didukung sistem pengawasan sehingga dikhawatirkan memicu kerusakan ekologi. Di sisi lain, jika pasir laut ditujukan untuk kepentingan reklamasi di dalam negeri, seharusnya keran ekspor pasir laut tetap ditutup.
Pemanfaatan pasir laut untuk peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga dinilai belum didukung sistem pengawasan sehingga dikhawatirkan memicu kerusakan ekologi.
Anggota Komisi IV DPR, Yohanis Fransiskus Lema, dari Fraksi PDI Perjuangan, mempertanyakan urgensi dibukanya keran ekspor pasir laut. ”Apakah menteri dan KKP saat ini ingin membereskan sedimentasi laut di seluruh Indonesia ataukah karena sedimentasi laut banyak, lalu negara bisa mengekspornya ke luar negeri?” ucapnya.
Sakti Wahyu Trenggono menjelaskan, permintaan reklamasi di Indonesia saat ini menumpuk dan banyak sekali perusahaan yang mengajukan. Namun, sebagian permohonan itu ditolak. Persoalannya, pada masa lalu sumber material reklamasi banyak menimbulkan kerusakan lingkungan, bahkan pulau terancam hilang.
Sementara itu, Indonesia dinilai memiliki banyak sedimentasi laut yang bersumber dari perputaran arus laut dan peristiwa oseanografi. ”Maka, filosofi PP No 26/2023 adalah barang yang merusak lingkungan, kalau menutup terumbu karang dan padang lamun, itu yang kita ambil,” ujarnya.
Trenggono menambahkan, kebutuhan pasir laut untuk reklamasi mencapai 20 miliar meter kubik. Adapun ekspor pasir laut dapat dilakukan apabila kebutuhan di dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
PP No 26/2023 mengandung sejumlah kekurangan, antara lain perangkat lembaga pengawasan, penindakan hukum, serta jumlah dan kapasitas birokrasi masih lemah.
Terkait dengan pengawasan, ia berharap ada masukan para pihak. Pihaknya juga akan mengerahkan teknologi satelit dan drone untuk pengawasan serta menempatkan petugas pemantau di kapal isap.
Kelemahan
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan, saat dihubungi terpisah, mengemukakan, PP No 26/2023 mengandung sejumlah kekurangan, antara lain perangkat lembaga pengawasan, penindakan hukum, serta jumlah dan kapasitas birokrasi masih lemah.
Selain itu, ketentuan dalam PP No 26/2023 dinilai tidak memiliki kalkulasi dalam jangka pendek atau panjang terkait manfaat ekonomi dan potensi penerimaan negara dari pengerukan pasir laut dibandingkan dengan nilai kerugian yang muncul akibat kerusakan ekosistem dan berkurangnya hasil tangkapan nelayan.
”Pemulihan sedimentasi laut merupakan tanggung jawab negara, bukan diserahkan kepada pihak swasta untuk pembersihan dan pemanfaatan, termasuk ekspor,” katanya.