“Gonta-Ganti” Kebijakan
Kebijakan pengelolaan hasil sedimentasi laut yang membuka keran ekspor pasir laut kembali mengulang kebijakan masa lalu yang terbukti berdampak merugikan nelayan dan masyarakat pesisir.
Ada pameo “ganti rezim pemerintah, ganti kebijakan” atau “ganti menteri, ganti aturan”...
Perubahan kebijakan seiring pergantian rezim pemerintah tidak selalu berujung masalah. Apalagi, jika pergantian kebijakan itu untuk membenahi kebijakan sebelumnya, ataupun disesuaikan dengan dinamika kebutuhan masyarakat luas.
Sebaliknya, akan menjadi persoalan jika ganti-ganti kebijakan itu kembali mengulang kebijakan di masa lalu yang sebenarnya telah dicabut karena menghasilkan banyak masalah. Kebijakan kontroversial itu, meski diterapkan dengan berbagai dalil, kerap menuai pertanyaan dan kecurigaan publik karena dikhawatirkan menambah persoalan baru.
Baru-baru ini, perdebatan mencuat di masyarakat terkait dibukanya kembali keran ekspor pasir laut. Polemik itu mengulang 20 tahun lalu sehingga publik menyoroti konsistensi dan keberpihakan pemerintah menjaga ekosistem perairan, keragaman hayati, dan terutama nasib nelayan serta masyarakat pesisir.
Di Kepulauan Riau, rencana pemerintah membuka lagi keran ekspor pasir laut ibarat mengulang mimpi buruk nelayan. Saat pasir laut dikeruk untuk mereklamasi Singapura sejak tahun 1978, nelayan dan warga lainnya merasakan kerugian akibat kerusakan lingkungan. Rasa keadilan kian terusik ketika lemahnya pengawasan menyebabkan ekspor pasir laut ilegal lebih banyak dari yang legal. Tahun 2002, ekspor pasir laut dihentikan dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Rektor Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjung Pinang, Agung Dhamar Syakti, mencatat, ekspor pasir laut tidak memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat pesisir di lokasi pengerukan. Sebaliknya, perekonomian masyarakat di Kepulauan Riau yang bergantung pada usaha perikanan dan wisata bahari sangat terkena dampak pengerukan dan kerusakan pesisir yang ditimbulkan. Namun, dihentikannya ekspor pasir laut tidak lantas menyurutkan ekspor pasir laut ilegal. Pengawasan yang lemah menjadi celah.
Baca Juga: Pemerintah Buka Lagi Ekspor Pasir Laut, Ekosistem Pulau Kecil Terancam
Selang dua dasawarsa sejak larangan ekspor pasir laut, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diteken pada 15 Mei 2023. Lewat aturan itu, pemerintah kembali mengizinkan ekspor pasir laut. Pengelolaan pasir laut, termasuk peruntukan dalam negeri ataupun ekspor, diatur oleh tim kajian lintas kementerian/lembaga.
Dibukanya ekspor pasir laut itu ditentang sejumlah kalangan akademisi, pegiat lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan DPR RI. Naskah akademis yang menjadi dasar penyusunan PP 26/2023 dinilai prematur, karena tidak ditunjang hasil kajian komperehensif terkait sebaran potensi, lokasi sedimentasi laut yang boleh diambil, kandungan sedimentasi, teknologi pengambilan yang aman, hingga risiko dan prospek ekonomi.
Polemik kian mencuat karena dua tahun sebelum kebijakan ekspor pasir laut itu terbit, pemerintah sudah mematok tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) untuk pemanfaatan pasir laut. Acuan harga itu diatur dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut dalam Perhitungan Tarif atas Jenis PNBP, yang diteken pada 18 September 2021. PNBP atas pemanfaatan pasir laut untuk kebutuhan dalam negeri dibanderol Rp 188.000 per meter kubik (m3), sedangkan untuk ekspor Rp 228.000 per m3.
Menyikapi pro-kontra di masyarakat, pemerintah menegaskan bahwa pemanfaatan hasil sedimentasi itu bukan sebatas untuk kepentingan pembangunan, tetapi juga standarisasi reklamasi, rehabilitasi eksosistem, dan menjaga laut tetap sehat. Pengaturan teknis akan diatur dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan.
Baca Juga: Pasir Laut Memiliki Arti Kedaulatan
Berganti-ganti kebijakan di sektor kelautan dan perikanan bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, pemerintah pernah membuka-tutup keran ekspor benih bening lobster. Ekspor benih bening lobster yang dinilai memicu kelangkaan benih di dalam negeri mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/Permen-KP/2016. Peraturan tersebut melarang penangkapan dan ekspor lobster dengan berat kurang dari 200 gram atau panjang karapas dibawah 8 sentimeter.
Selang empat tahun kemudian, pemerintah kembali membuka ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia. Meski menuai protes publik, keran ekspor benih lobster terus mengalir, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Penetapan kelayakan eksportir benih bening lobster ditentukan oleh tim uji tuntas, serta pengawasan dijanjikan bakal ditingkatkan.
Pada 26 November 2020, ekspor benih bening lobster ditutup sementara menyusul kasus suap perizinan usaha budidaya dan ekspor benih lobster yang menyeret Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai terdakwa. Meskipun ekspor benih bening lobster sudah ditutup, ekspor benih lobster secara ilegal ditenggarai masih berlangsung.
Setali tiga uang, pemerintah juga membuka-tutup kebijakan investasi asing pada usaha kapal penangkapan ikan selama beberapa periode. Dari catatan Kompas, pada tahun 1968-1979 Indonesia membuka izin kapal asing melalui Banda Sea Agreement. Perjanjian itu memberikan izin kapal ikan Jepang menangkap tuna di Laut Banda, Maluku. Namun, karena dinilai merugikan Indonesia, perjanjian itu akhirnya ditutup pada 1980.
Dengan alasan keterbatasan modal dan teknologi, pemerintah membuka lagi izin kapal perikanan berbendera asing di perairan Indonesia pada tahun 1985-1990, lalu berganti menjadi izin sewa kapal asing untuk perikanan periode 1990-1999. Tahun 2003-2006, pemerintah membuka izin kapal ikan asing beroperasi di Indonesia. Pada tahun 2006-2013, pemerintah kembali melarang kapal asing, tetapi membuka jalur penanaman modal asing (PMA) untuk investasi kapal penangkapan ikan.
Pada 2014, pemerintah memberlakukan moratorium (penghentian sementara) kapal-kapal ikan buatan luar negeri, dan dilanjutkan dengan menutup seluruh investasi asing untuk kapal penangkapan ikan di Indonesia. Ketentuan itu didasarkan temuan pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal buatan luar negeri. Tahun 2023, izin investasi asing lewat PMA pada usaha kapal penangkapan ikan kembali dibuka melalui terbitnya kebijakan penangkapan ikan terukur.
Kebijakan yang kerap bongkar-pasang memiliki sejumlah konsekuensi. Ada kepentingan publik yang dipertaruhkan jika kebijakan itu bertentangan dengan prinsip keberlanjutan, bahkan mengancam ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Celakanya, jika kebijakan yang ditetapkan kembali mengulang kebijakan lama yang telah terbukti gagal dan berdampak merugikan.
Kebijakan yang berpihak kepada publik menjadi keniscayaan jika ada partisipasi publik yang diusung dalam setiap perumusan kebijakan. Dengan demikian, gonta-ganti kebijakan yang mengulang kesalahan masa lalu tidak perlu terjadi. Kebijakan ekspor pasir laut kini menjadi ujian, sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan masyarakat kecil.