Pekerja anak muncul karena ketimpangan ekonomi keluarga. Anak turut bekerja untuk membantu pemenuhan pendapatan keluarga.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penguatan kerja layak di berbagai sektor pekerjaan dipercaya mampu mencegah praktik perburuhan anak meluas. Upaya ini tetap perlu diikuti dengan inklusi pendidikan dasar yang merata, penarikan pekerja anak, dan peningkatan pengawasan ketenagakerjaan.
Programme Officer International Labour Organization (ILO) Country Office for Indonesia and Timor Leste, Abdul Hakim, Rabu (14/6/2023), di Jakarta, mengatakan, kerja layak meliputi tidak ada diskriminasi, tidak ada praktik kerja paksa, kebebasan berserikat, upah sepadan, serta pemenuhan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja (K3). Apabila pekerja usia dewasa memperoleh kerja layak, anak-anak tidak perlu turut bekerja.
”Perusahaan di sektor jasa juga bisa mencegah pekerja anak meluas. Misalnya, perusahaan jasa ojek daring yang memberikan insentif berupa biaya pulsa, kupon diskon perawatan kendaraan, akses jaminan sosial ketenagakerjaan, kredit kepemilikan rumah, dan beasiswa pendidikan anak mitra pengemudi. Cara-cara ini mendukung kerja layak,” ujar Hakim.
Programme Manager ILO Project — Promise II Impact di Jakarta, Djauhari Sitorus, menambahkan, pekerja anak bukan permasalahan yang berdiri sendiri. Sebaliknya, kemunculan pekerja anak berkaitan erat dengan persoalan ketidakadilan yang dialami oleh keluarga. Anak ikut bekerja karena membantu perekonomian keluarga.
Menurut dia, sejak 1992, Pemerintah Indonesia bersama berbagai pemangku kepentingan, termasuk ILO, sudah melakukan berbagai macam cara untuk menghapus praktik perburuhan anak. Kebijakan yang diambil pemerintah dinilai sudah sistematis, mulai dari pembuatan regulasi hingga mengarusutamakan pekerja anak melalui program bantuan sosial. Sebagai contoh, Program Keluarga Harapan (PKH). ILO menilai, tidak banyak negara mampu membuat kebijakan yang sistematis seperti yang dilakukan Indonesia.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin mengatakan, berdasarkan simulasi statistik yang pernah dilakukan ILO Indonesia melalui olah data Survei Tenaga Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011-2020, prevalensi pekerja anak menunjukkan tren menurun. Sebagai ilustrasi, kelompok anak usia 10-17 tahun turun dari 1,4 juta pekerja anak pada 2011 menjadi 930.000 pekerja anak pada 2018. Tren yang sama juga terjadi pada anak kelompok usia 15-17 tahun, dari 830.000 anak di 2011 menjadi 345.000 anak di 2018.
”Selama ini, bonus demografi selalu menjadi topik yang selalu dibicarakan. Indonesia telah masuk masa bonus demografi, tetapi di sisi lain tingkat pengangguran usia muda sekitar 20 persen. Patut diduga, di dalamnya (angka pengangguran usia muda) terdapat orang yang sejak usia anak sudah ikut bekerja, bukan sekolah, sehingga ketika masuk usia bekerja justru susah mendapatkan kerja layak,” kata Irham.
Irham mengatakan, Pemerintah Indonesia pernah menyusun peta jalan penghapusan pekerja anak pada 2022. Akan tetapi, setelah peta jalan berakhir, pemerintah belum pernah mengevaluasinya. Padahal, jika ada evaluasi, akan diperoleh data pekerja anak yang memadai. ”Lalu, langkah-langkah pencegahan praktik perburuhan anak bisa disusun lebih pasti. Solusi berikutnya, inklusi pendidikan dasar yang lebih baik dan merata, penguatan program perlindungan sosial untuk mencabut anak-anak dari dunia kerja, dan penarikan pekerja anak di sektor jasa informal,” ujarnya.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, lebih dari separuh pekerja anak di Indonesia bekerja di sektor jasa, diikuti pertanian dan industri. Menurut dia, penghapusan pekerja anak bukanlah suatu hal yang mudah, melainkan membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat dan daerah, serikat pekerja, pengusaha, maupun organisasi masyarakat.
Dari sisi sektor perkebunan kelapa sawit, misalnya, Kemenaker telah mencanangkan gerakan sektor perkebunan kelapa sawit bebas pekerja anak pada tahun 2023, dilakukan pada 16 provinsi yang memiliki luas perkebunan lebih dari 100.000 hektar. Kebijakan ini melanjutkan gerakan serupa tahun 2021, dengan sasaran tujuh provinsi. Perusahaan sawit turut dilibatkan dalam implementasi kebijakan ini.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Riau Imron Rosyadi menceritakan, di Riau berkembang fenomena orang tua pekerja perkebunan kelapa sawit membawa anaknya saat bekerja. Mereka sering kali memberdayakan anaknya ikut memetik kelapa sawit.
”Pengawas ketenagakerjaan sebenarnya telah intens mengawasi. Beberapa perusahaan menegaskan agar orang tua tidak mengajak anaknya ikut bekerja. Beberapa perusahaan juga telah menyediakan fasilitas bermain dan belajar, tetapi masih sedikit,” ucap Imron.