Pekerja Anak dalam Impitan Ekonomi dan Pandemi
Pekerja anak menjadi persoalan krusial bangsa. Di tengah pandemi, beban mereka semakin berat. Pekerja anak dihadapkan pada tanggung jawab pendidikan maupun pemenuhan ekonomi keluarga.
Pekerja anak adalah persoalan krusial bangsa yang harus segera dientaskan. Apalagi pekerja anak menanggung beban ganda di masa pandemi, baik tanggung jawab pendidikan maupun ekonomi keluarga.
Pekerja anak sebagai salah satu indikator hilangnya masa kanak-kanak dalam Global Childhood Report masih menjadi masalah yang memprihatinkan. Ketika anak dalam masa pertumbuhan terpaksa harus bekerja karena suatu keadaan, mereka telah kehilangan masa kanak-kanak yang seharusnya dilalui dengan penuh kebahagiaan.
Meski dalam catatan lembaga sosial Save the Children pekerja anak di Indonesia termasuk kategori rendah (5 - <20), namun stagnasi persentasenya di kisaran angka 6,9 persen dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan tidak adanya progress dalam mengentaskan persoalan ini.
Sementara jika merujuk pada data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, Badan Pusat Statistik (BPS), tren perkembangan pekerja anak sebenarnya sudah menunjukkan penurunan dari angka 9,43 persen tahun 2012 menjadi 5,99 persen tahun 2015.
Namun capaian keberhasilan tahun 2015 tersebut tak bertahan lama karena kemudian merangkak naik kembali hingga berada di kisaran 7,05 persen di tahun 2018 dan turun kembali sebesar 0,7 persen menjadi 6,35 persen tahun 2019, atau sekitar 2,3 juta anak.
Sayangnya, tanda-tanda membaiknya persentase pekerja anak ini diterpa gelombang pandemi Covid-19 yang memorak-porandakan perekonomian. Sehingga diperkirakan banyak anak-anak yang terpaksa membantu orangtua mencari tambahan penghasilan karena perekonomian keluarga terdampak pandemi.
Hal ini tergambar dalam survei pekerja anak yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020 lalu di 9 provinsi, 20 kabupaten/kota.
Dari hasil wawancara dengan orangtua, ditemukan sebanyak 69,2 persen anak membantu perekonomian orangtua dampak dari pandemi. Bahkan 50 persen orangtua menganggap selama pandemi, anak selain di rumah sebaiknya juga membantu mencari tambahan penghasilan.
Di lingkup global, publikasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) terbaru pada Juni 2021 melaporkan, ada 160 juta anak berusia 5 hingga 17 tahun yang menjadi pekerja. Sebanyak 55,8 persen merupakan pekerja anak berusia di bawah 11 tahun dan 22,3 persen berusia 12 hingga 14 tahun.
Artinya, ada 78,1 persen anak yang bekerja di luar ketentuan hukum. Konvensi ILO Nomor 139 menyebutkan, batas usia anak yang diperbolehkan bekerja minimal 15 tahun, itupun dengan sejumlah syarat.
Baca juga : Laju Lamban Dunia Bebas Pekerja Anak
Beban Ganda
Di Indonesia Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan, anak yang diperbolehkan bekerja minimal berusia 13 tahun dengan sejumlah syarat diantaranya pekerjaan yang dikerjakan oleh anak merupakan pekerjaan ringan, tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, dan sosial anak.
Namun faktanya banyak anak di bawah usia 13 tahun yang sudah ikut mencari nafkah. Data BPS mencatat, 1,87 persen pekerja anak berusia 10-12 tahun.
Sejatinya anak tidak boleh bekerja, anak tidak boleh bertanggungjawab atas kebutuhan dan ekonomi keluarga. Apalagi jika anak-anak tersebut juga masih bersekolah. Mereka memikul beban ganda, antara tanggung jawab pendidikan dan ekonomi.
Dari data Sakernas 2019 terpotret, enam dari sepuluh pekerja anak di Indonesia masih berstatus pelajar. Sementara empat dari sepuluh pekerja anak lainnya sudah tidak bersekolah lagi alias putus sekolah.
Jumlah pekerja anak yang berstatus pelajar lebih banyak tersebar di pedesaan (60,68 persen) dibandingkan di perkotaan (56,06 persen). Anak perempuan tercatat lebih banyak menanggung beban ganda ini dibandingkan anak laki-laki (67,12 : 53,47), dengan selisih 13,65 persen.
Sementara dari 1,4 juta anak yang mempunyai beban selain bersekolah juga bekerja tersebut, proporsi terbesar berada di Provinsi Sumatera Utara (16,93 persen), berikutnya Jawa Timur (10,69 persen), diikuti Jawa Barat (7,42 persen) di urutan ketiga. Sumatera Utara juga tercatat memiliki persentase pekerja anak usia 10 – 17 tahun lebih tinggi (12,50 persen) dari rata-rata nasional (6,35 persen).
Sumatera Utara memiliki perkebunan kelapa sawit dan karet di beberapa daerah yang menjadi ladang bagi anak-anak bekerja membantu orangtua, disamping itu ada pekerjaan di sektor perikanan.
Terkait pekerjaan di sektor perikanan, Sumatera Utara pernah mempunyai sejarah tentang ribuan pekerja anak di bawah umur yang dipekerjakan di jermal sekitar 20 tahun lalu. Meski telah dilakukan penarikan besar-besaran oleh pemerintah pada tahun 2003, namun sampai tahun 2007 pekerjaan yang merenggut hak-hak anak itu masih ditemukan.
Bekerja di jermal maupun di perkebunan termasuk pekerjaan terburuk bagi anak-anak menurut UU No 1 Tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Konvensi Hak Anak pasal 32 juga menyebutkan bahwa pekerja anak berhak dilindungi dari pekerjaan yang membahayakan kesehatan fisik, mental, spiritual, moral, perkembangan sosial, ataupun mengganggu pendidikan mereka.
Baca juga : Pandemi Rentan Melahirkan Banyak Pekerja Anak
Ancaman Pendidikan
Pekerjaan yang buruk dan memprihatinkan seringkali mengeksploitasi anak, sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan baik, bahkan tidak bisa mengenyam pendidikan lagi. Sebanyak 40 persen pekerja usia anak tercatat sudah tidak bersekolah lagi.
Bekerja dalam status sebagai pelajar juga dapat mengurangi waktu anak bersosialisasi dan belajar sehingga perkembangan anak menjadi kurang maksimal. Sakernas 2019 menemukan masih ada sekitar 20 persen pekerja anak yang waktu bekerjanya lebih dari 40 jam seminggu. Artinya, sekitar 470 ribu anak yang bekerja kurang lebih 5,7 jam per hari.
Padahal salah satu syarat anak diperbolehkan bekerja menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah maksimal bekerja selama 3 jam setiap harinya serta tidak boleh mengganggu waktu belajar. Namun tidak dapat dimungkiri pada praktiknya banyak anak yang harus bekerja melewati batas waktu yang ditentukan.
Jika hal ini dibiarkan tentu saja akan mengganggu pendidikan dan capaian pembelajarannya. Bahkan bisa berdampak pada keputusan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Penelitian Mahmud et al. (2020) menunjukkan, anak yang bekerja secara terus menerus dan masih bersekolah, cenderung malas bersekolah, dan memiliki tingkat kehadiran rendah, serta prestasi sekolah menurun dibandingkan saat anak sebelum bekerja.
Pandemi Covid-19 semakin menambah kompleks masalah pekerja anak. Kerentanan ekonomi akibat pandemi menimbulkan efek domino pada anak-anak.
Penutupan sekolah dan dilakukannya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan Belajar dari Rumah (BDR), menjadi peluang untuk mempekerjakan anak agar menambah penghasilan keluarga.
Bagi sebagian daerah yang memiliki keterbatasan akses teknologi sehingga terkendala proses pembelajaran jarak jauh, membuat anak-anak mengikuti orangtua bekerja entah di ladang, hutan, atau ikut melaut sehingga mengabaikan pendidikannya.
Survei KPAI menemukan ada 25 persen dari pekerja anak yang tidak mengikuti PJJ selama pandemi, sementara 75 persen lainnya masih tetap sekolah melalui PJJ.
Hal ini menjadi salah satu tantangan dunia pendidikan di masa pandemi. Alih-alih masalah pekerja anak bisa dientaskan, pandemi semakin memperbesar peluang anak usia sekolah terjun ke dunia kerja bahkan dengan risiko pekerjaan yang membahayakan.
Efeknya, semakin besar kesulitan seorang anak mengakses pendidikan, semakin besar pula lingkaran hitam kebodohan dan kemiskinan yang terjadi. Menjadi tantangan besar bagi pemerintah mewujudkan Program Aksi Menuju Indonesia bebas Pekerja Anak Tahun 2022 sebagai upaya untuk menurunkan jumlah anak yang bekerja. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Potret Pekerja Anak Indonesia