Hari Anak Nasional membawa harapan besar akan ada jaminan perlindungan anak yang penuh dengan dunia eksplorasi dan belajar.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Pada suatu siang, seorang anak memainkan jarinya di badan mobil yang sedang berhenti di sekitaran lampu pengatur lalu lintas. Ia tarik jarinya sampai kaca mobil, lalu Ia ketuk-ketukkan, ”Bu, minta Bu. Buat adik saya makan.” Seorang pengendara motor yang tak sampai hati melihat penolakan yang akan diterima anak itu memilih segera memutar tuas gas menerjang lampu lalu lintas.
Potongan cerita jalanan tersebut bukan hal asing. Ketimpangan sosial sudah sedemikian lumrah sehingga bukan hal yang mencengangkan lagi. Apalagi pada masa sulit saat ini, persoalan pekerja anak berpotensi dinomorduakan.
Data menunjukkan, satu dari sepuluh anak di dunia menjadi pekerja. Mayoritas pekerja anak berusia di bawah 15 tahun. Kanak-kanak ini tidak hanya banting tulang, sebagian besar mereka bahkan harus berjibaku dengan pekerjaan yang membahayakan.
Publikasi Organisasi Buruh Internasional (ILO) terbaru pada Juni 2021 melaporkan, ada 160 juta anak berusia 5 hingga 17 tahun yang menjadi pekerja. Sebanyak 55,8 persen merupakan pekerja anak berusia di bawah 11 tahun dan 22,3 persen berusia 12 hingga 14 tahun.
Artinya, ada 78,1 persen anak yang bekerja di luar ketentuan hukum. Konvensi ILO Nomor 139 menyebutkan, batas usia anak yang diperbolehkan bekerja minimal 15 tahun, itu pun dengan sejumlah syarat.
Laporan ILO juga menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan menanggung beban kerja pada masa kanak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan proporsi laki-laki di kisaran 60 persen dari total pekerja anak yang merata di seluruh wilayah, seperti di Afrika Sub-Sahara, Asia-Pasifik, dan Amerika Latin.
Tidak hanya harus merelakan masa bermain dan belajar, pekerja anak juga masuk di sektor pekerjaan yang membahayakan, baik dari sisi kesehatan, keselamatan, maupun perkembangan moral. Tercatat, 49,4 persen anak bekerja di sektor yang berbahaya.
Kawasan Afrika Sub-Sahara yang terdiri dari negara-negara di Benua Afrika, kecuali Afrika Utara, merupakan wilayah dengan persentase pekerja anak tertinggi. Anak yang bekerja sebanyak 23,9 persen dari total anak di sana.
Artinya, hampir seperempat anak di Afrika Sub-Sahara menjadi pekerja. Keadaan ini menjadi runtutan dari kemiskinan ekstrem yang melanda 40 persen populasi di kawasan Black Africa tersebut.
Pekerja anak menjadi isu serius yang terus menyisakan keresahan nurani kemanusiaan. Sayangnya, angka 160 juta pekerja anak pada tahun 2020 merupakan kemunduran dari pencapaian sebelumnya.
Jumlah tersebut naik 5,5 persen dari tahun 2016. Padahal, sejak 2000, angka pekerja anak terus menurun. Kala itu, pekerja anak menyentuh angka 245,5 juta jiwa.
Peningkatan jumlah pekerja anak ini menjadi batu sandungan di tengah upaya penekanan jumlah anak yang cenderung lambat. Dunia bebas pekerja anak pada 2025 menjadi cita-cita yang tertuang dalam poin ketujuh Decent Work and Economic Growth dalam kerangka kerja Sustainable Development Goals (SDGs).
Dalam skenario normal, upaya penghapusan pekerja anak saja diprediksi tidak akan mencapai target. Dunia masih akan dibayangi oleh 140 juta pekerja anak di tahun 2025 dan 125 juta pekerja anak di tahun 2030. Di tengah krisis Covid-19, cita-cita tersebut agaknya masih jauh panggang dari api.
Di Indonesia, stagnasi juga tampak dari penekanan jumlah pekerja anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melaporkan, ada 6,4 persen pekerja anak tahun 2019. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata pekerja anak di kawasan Asia Pasifik yang berada di angka 5,6 persen tahun 2020.
Indonesia menghadapi sejumlah tantangan untuk menghapus angka pekerja anak. Pertama, pekerja anak di perdesaan hampir dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Sama halnya dengan kencederungan global, anak laki-laki di Indonesia juga berisiko lebih besar menjadi pekerja dibandingkan dengan perempuan.
Ada 6,4 persen anak Indonesia yang menjadi pekerja. Angka tersebut lebih tinggi dari rata-rata pekerja anak di kawasan Asia Pasifik
Kedua, terdapat delapan belas provinsi yang memiliki persentase pekerja anak lebih tinggi dari rata-rata nasional. Tiga provinsi teratas, yakni Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Papua. Artinya, separuh lebih provinsi di Indonesia membutuhkan penanganan lebih terkait dengan isu pekerja anak.
Ketiga, enam dari sepuluh pekerja anak masih dalam status bersekolah. Di sisi lain, mayoritas bekerja 30-46 jam per minggu. Jika diambil rerata, mereka bekerja hampir 6 jam per hari. Artinya, beban untuk mencari nafkah di usia sekolah rentan memengaruhi kualitas pendidikan anak yang bekerja.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengamanatkan, anak minimal usia 13 tahun diperbolehkan bekerja dengan sejumlah syarat.
Di antaranya adalah waktu kerja maksimal tiga jam dalam sehari dan adanya jaminan anak bekerja dalam situasi yang aman bagi kesehatan maupun keselamatan. Syarat batas usia ini berbeda dengan Konvensi ILO yang menentukan batas usia anak yang diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun.
Selain pelonggaran pada batas usia, data turut menunjukkan praktik anak yang bekerja tidak selalu sesuai dengan acuan undang-undang. Misalnya saja terkait jam kerja anak yang tak terkontrol.
Apalagi anak yang bekerja masuk ke sektor-sektor informal, seperti menjadi pengamen, penjaja dagangan, dan membantu usaha keluarga/rumahan. Sebagian besar studi tentang pekerja anak memberikan gambaran bahwa anak yang ikut bekerja lebih banyak menerima dampak negatif daripada dampak positif (Kompas, 24 Juli 2020).
Pemerintah perlu menguatkan upaya untuk menurunkan angka pekerja anak demi mencapai target-target Indonesia Layak Anak. Penurunan pekerja anak sebesar 0,7 persen tahun 2019 diharapkan tidak melenakan laju demi Indonesia bebas pekerja anak. Di tengah krisis seperti saat ini, potensi peningkatan diharapkan tidak luput untuk diperhatikan.
Di tengah peringatan Hari Anak Nasional, harapan besar membubung akan adanya jaminan perlindungan anak yang penuh dengan dunia eksplorasi dan belajar. Semoga. (LITBANG KOMPAS)