Analisis Litbang ”Kompas”: Meningkatnya Pekerja Anak
Fenomena pekerja anak ini menunjukkan terjadinya ketimpangan sosial. Tidak saja ketimpangan antara laki-laki dan perempuan atau kota dan desa, tetapi juga ketimpangan pembangunan antardaerah.
Kesulitan ekonomi telah memaksa anak-anak ikut menanggung beban keluarga. Tidak sedikit anak-anak usia sekolah yang sudah harus bekerja mencari nafkah untuk menopang keberlangsungan hidup. Di masa pandemi Covid-19, jumlah pekerja anak di Indonesia meningkat.
Usia 10 hingga 17 tahun merupakan rentang usia yang menjadi hak anak untuk memperoleh pendidikan dasar dan menengah. Namun, banyak anak yang tidak menikmati hak tersebut dan beralih menjadi pekerja.
Anak-anak yang menjadi pekerja di usia dini disebabkan oleh banyak hal. Kebanyakan, fenomena anak bekerja ini terjadi ketika suatu keluarga menghadapi masalah keuangan, apakah itu karena kemiskinan, kepala keluarga yang tiba-tiba sakit atau kehilangan pekerjaan.
Anak-anak yang bekerja ini menghadapi risiko sangat besar. Bukan hanya risiko fisik, melainkan juga sosial dan mental. Bahkan, terkadang berisiko kematian. Tidak jarang juga mengalami eksploitasi fisik, ekonomi, ataupun seksual. Selain itu, masa depan mereka terenggut karena harus berhenti sekolah dan tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) menyebutkan sekitar 160 juta anak menjadi pekerja pada awal tahun 2020. Data itu ditambah pula sebanyak sembilan juta anak yang terdampak Covid-19.
Di Indonesia, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, persentase pekerja anak per Februari 2022 tercatat mencapai 8,49 persen. Artinya, terdapat sekitar delapan anak yang bekerja dari 100 anak usia 10-17 tahun.
Angka ini sedikit naik dibandingkan dengan kondisi per Agustus 2021 yang sebesar 7,9 persen. Namun, turun dibandingkan dengan setahun yang lalu (Februari 2021) yang di angka 10,22 persen. Di tahun pertama pandemi Covid-19 terlihat jumlah pekerja anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun kedua pandemi.
Baca juga : Optimalkan Perlindungan Khusus Anak
Kategori
Dilihat berdasarkan wilayah, persentase pekerja anak di perdesaan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan di perkotaan. Pada Februari 2022, jika di perkotaan terdapat 5,72 persen pekerja anak, di perdesaan jumlahnya 11,90 persen. Kecenderungan yang sama juga terjadi di periode-periode sebelumnya.
Faktor skala ekonomi yang kecil di perdesaan memicu perbedaan ini. Kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat perdesaan dengan mudah membuat anak-anak terjun langsung mencari tambahan penghasilan. Mereka terserap di sektor pertanian.
Sementara banyak penghalang (barrier entry) bagi anak-anak di perkotaan untuk memasuki pasar kerja. Sektor jasa-jasa tampaknya yang lebih mudah menerima mereka untuk bekerja.
Berdasarkan jenis kelamin juga terlihat perbedaan antara pekerja anak yang laki-laki dengan perempuan. Persentase anak laki-laki yang bekerja selalu lebih besar dibandingkan anak perempuan yang bekerja. Pada periode Februari 2022, terdapat 9,06 persen anak laki-laki yang bekerja, sedangkan anak perempuan yang bekerja sebanyak 7,88 persen.
Pola seperti ini juga terlihat sama pada periode-periode sebelumnya. Pembagian peran antara anak laki-laki dan perempuan secara sosiologis di masyarakat menempatkan tanggung jawab anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Itu sebabnya anak laki-laki lebih cenderung dituntut bekerja oleh keluarganya dibandingkan dengan anak perempuan.
Meski demikian, anak perempuan yang bekerja memiliki beban yang lebih besar daripada anak laki-laki. Bahkan, disebut memiliki tiga jenis beban (triple burden), yaitu beban di rumah, sekolah, dan pekerjaan. Mereka ini berpotensi semakin tertinggal dan terjebak dalam kemiskinan yang akut.
Baca juga : Implementasi Peta Jalan Tinggal Tersisa Enam Bulan
Ketimpangan sosial
Fenomena pekerja anak ini menunjukkan terjadinya ketimpangan sosial. Tidak saja ketimpangan antara laki-laki dan perempuan atau kota dan desa, tetapi juga ketimpangan pembangunan antardaerah.
Daerah-daerah yang kurang maju, terutama di Indonesia bagian timur, memiliki persentase pekerja anak yang lebih besar. Tak heran, hal itu diikuti pula dengan rata-rata lama sekolah penduduk di kawasan timur ini yang cenderung lebih rendah.
Provinsi Papua, misalnya, persentase pekerja anak paling tinggi dibandingkan dengan provinsi lain, yaitu 20,43 persen. Angka ini naik dua kali lipat dibandingkan dengan setahun sebelumnya yang hanya tercatat 10, 24 persen.
Persentase tertinggi selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur dengan 18,74 persen pekerja anak. Dari sepuluh provinsi dengan persentase pekerja anak tertinggi, hanya dua provinsi yang berada di bagian barat, yaitu Sumatera Utara dan Lampung.
Fenomena pekerja anak ini menunjukkan terjadinya ketimpangan sosial.
Provinsi lainnya yang masuk dalam 10 besar persentase pekerja anak tertinggi adalah Gorontalo, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Barat, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Persentasenya rata-rata di atas 10 persen.
Sebaliknya, kawasan barat Indonesia yang lebih maju umumnya memiliki persentase pekerja anak yang lebih sedikit. Di DKI Jakarta, misalnya, hanya terdapat 1,76 persen yang merupakan pekerja anak. Angka ini menurun cukup banyak dibandingkan setahun sebelumnya yang mencapai 4,17 persen.
Dari sepuluh provinsi dengan persentase pekerja anak terendah, separuhnya terdapat di Pulau Jawa. Selain DKI Jakarta, terdapat pula Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selebihnya adalah Aceh, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, juga Sulawesi Utara. Persentasenya rata-rata di bawah 10 persen.
Baca juga : Kemelut Pekerja Anak
Potensi bertambah
Persentase pekerja anak berpotensi bertambah pada semester kedua 2022. Pasalnya, gelombang pemutusan hubungan kerja banyak terjadi di paruh kedua tahun ini, antara lain di industri tekstil dan perusahaan rintisan atau digital.
Data Badan Pusat Statistik juga menunjukkan adanya penambahan angka pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2022 tercatat sebanyak 8,42 juta orang atau pada tingkat 5,86 persen. Jumlah ini bertambah sekitar 20.000 orang jika dibandingkan kondisi enam bulan sebelumnya (Februari 2022) .
Kondisi itu berpotensi menambah kesulitan keluarga yang terkena PHK. Anak lalu akan menjadi tumpuan untuk kelangsungan hidup selanjutnya. Dengan kondisi perekonomian yang masih sulit dan rawan resesi, pekerja anak ini akan mengisi sektor-sektor informal.
Jika kondisi ini berlanjut dan jumlah pekerja anak terus bertambah, ancaman bagi kualitas sumber daya manusia Indonesia akan semakin nyata. Juga ancaman bagi bonus demografi dan lingkaran setan kemiskinan.
Bonus demografi baru bisa dinikmati dengan syarat pemerintah menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi, antara lain melalui pendidikan.
Jika kondisi bonus demografi ini tidak dipersiapkan atau dimanfaatkan dengan baik, maka yang terjadi adalah masalah di bidang kependudukan seperti pengangguran. Generasi muda berpotensi akan menjadi beban negara.
Di sinilah urgensi perlindungan terhadap hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan masa depan yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Cegah Anak Bekerja