Merosotnya Permintaan Domestik Jadi Sinyal Pelemahan Daya Beli
Pelaku industri tidak merasakan adanya peningkatan permintaan pasar domestik yang mungkin disebabkan oleh efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat sekaligus lambatnya penciptaan lapangan kerja baru.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indeks kepercayaan industri atau IKI yang melambat selama tiga bulan berturut-turut mengindikasikan permintaan yang merosot, baik dari dalam negeri maupun pasar global. Kalangan pelaku industri menilai, penurunan permintaan domestik menandakan adanya pelemahan daya beli, salah satunya karena belum optimalnya penciptaan lapangan kerja.
Kementerian Perindustrian mendata, IKI pada Mei 2023 sebesar 50,9 atau masih berada di zona ekspansi. Kinerja itu ditopang oleh berekspansinya subsektor manufaktur yang berkontribusi sebesar 70,6 persen terhadap produk domestik bruto industri pengolahan nonmigas pada triwulan I-2023, seperti industri makanan, industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia, serta industri kendaraan bermotor, trailer, dan semitrailer. Meskipun demikian, indeks tersebut melambat sejak Februari 2023 yang berada pada posisi 52,32 menjadi 51,87 (Maret 2023) dan 51,38 (April 2023).
Berdasarkan komponen pembentuk IKI pada Mei 2023, aspek pesanan baru berada di zona kontraksi dengan nilai 49,84. Pada bulan sebelumnya, aspek tersebut berada di zona ekspansi dengan nilai 50,57. Aspek produksi juga melambat dari 52,08 menjadi 50,01 pada Mei 2023. Di sisi lain, persediaan produk meningkat dari 52,33 menjadi 54,9.
Laporan IKI juga mencakup perspektif pelaku industri mengenai kegiatan usahanya. Pada Mei 2023, proporsi pelaku industri yang menilai kegiatan usahanya meningkat sebesar 28,1 persen atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 28,7 persen. Proporsi pelaku industri yang menilai kegiatan usahanya stabil juga menurun dari 45,2 persen menjadi 44,8 persen. Sebaliknya, pelaku industri yang menilai kegiatan usahanya menurun justru naik dari 26,1 persen menjadi 27,1 persen.
Pola data IKI mirip dengan dinamika Indeks Manajer Pembelian (Purchasing Manager’s Index/PMI) Indonesia yang dipublikasikan S&P Global. Pada Mei 2023, PMI Indonesia berada di posisi 50,3 atau lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang senilai 52,7. S&P Global mencatat, penurunan tersebut dipengaruhi oleh menyusutnya permintaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Di dalam negeri, Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani menilai, pelaku industri tidak merasakan adanya peningkatan permintaan pasar domestik. ”Hal ini kemungkinan disebabkan oleh efek akumulatif inflasi terhadap daya beli masyarakat sekaligus lambatnya penciptaan lapangan kerja baru karena iklim usaha yang relatif stagnan. Iklim usaha saat ini juga tidak memiliki banyak stimulus untuk perluasan investasi secara agresif,” tuturnya saat dihubungi, Jumat (9/6/2023).
Dari segi daya beli masyarakat, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, laju inflasi inti bulanan melambat dalam lima bulan terakhir. Laju inflasi inti pada Januari 2023 sebesar 0,33 persen, sedangkan pada April dan Mei masing-masing senilai 0,25 persen dan 0,06 persen.
Terkait lambatnya penciptaan lapangan kerja, angka pengangguran di Indonesia belum pulih seperti saat sebelum pandemi Covid-19. Data BPS menunjukkan, per Februari 2019, jumlah penganggur mencapai 6,82 juta orang dan tingkat pengangguran terbuka 5,01 persen. Pada Februari 2023, jumlah penganggur naik menjadi 7,99 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka 5,45 persen.
Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menuturkan, lambatnya ekspansi dan investasi yang berdampak pada tidak optimalnya serapan tenaga kerja menggerus daya beli masyarakat yang mengakibatkan pelemahan permintaan domestik. ”Ekspansi dan investasi riil yang berwujud pembangunan pabrik kini sedang wait and see karena tahun politik. Masih ada kesan ‘ganti pemimpin, ganti regulasi’ di Indonesia,” katanya saat dihubungi, Minggu (11/6/2023).
Di tengah melambatnya permintaan dalam negeri, pasar internasional masih lesu. Situasi global itu turut tecermin dari PMI ASEAN yang melambat dari 52,7 pada April 2023 menjadi 51,1 pada Mei. Angka PMI Indonesia berada di urutan ke-5 setelah Thailand (58,2), Myanmar (53), Filipina (52,2), dan Singapura (51,2).
Menurut Shinta, penurunan PMI ASEAN pada Mei 2023 tersebut disebabkan oleh menyusutnya permintaan ekspor kepada negara-negara di wilayah Asia Tenggara. Dibandingkan Indonesia, negara-negara, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam, yang proporsi ekspor terhadap pertumbuhan kinerja manufakturnya besar, lebih rentan terkontraksi ketika terjadi pelemahan pasar global.
Situasi global, lanjutnya, turut membuat perluasan kinerja sektor manufaktur nasional tidak optimal lantaran permintaan ekspor terkontraksi, khususnya pascaresesi teknis di Jerman serta pelebaran defisit anggaran, pendapatan, dan belanja negara Amerika Serikat. Pada saat yang sama, beban manufaktur juga tergolong tinggi, salah satunya karena nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang masih relatif tinggi.
Shinta berharap, terdapat perubahan regulasi atau reformasi birokrasi yang implementasinya lebih konsisten terhadap regulasi tertulis demi meningkatkan kepercayaan di sektor industri manufaktur. Selain itu, pemerintah diimbau memberikan stimulus ekspansi usaha dan ekspor, misalnya dengan perluasan pinjaman usaha, pembiayaan ekspor yang terjangkau, dan penguatan fasilitas penetrasi pasar ekspor nontradisional.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif berpendapat, melambatnya IKI pada Mei 2023 disebabkan oleh melemahnya permintaan pasar global. Oleh sebab itu, ke depan pihaknya akan mewaspadai negara yang berisiko resesi. Negara-negara dengan risiko resesi rendah diarahkan menjadi tujuan ekspor.