Airlangga Sebut Ada Hambatan Perdagangan hingga ”Imperialisme Regulasi” Uni Eropa
Dari misinya ke Uni Eropa, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan bahwa ada ”imperialisme regulasi”. Ia menyoroti regulasi soal deforestrasi milik Uni Eropa yang dinilai merugikan Indonesia dan Malaysia.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melaporkan misinya ke Amerika Serikat dan Uni Eropa kepada Presiden Joko Widodo. Salah satu yang dilaporkan menyangkut hambatan perdagangan. Indonesia menilai ada imperialisme regulasi saat ada negara mengatur negara lain tanpa kejelasan dan transparansi.
Pada pertemuan yang berlangsung di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (5/6/2023), Airlangga melaporkan secara singkat hasil pembicaraan di Indo-Pacific Economic Forum (IPEF) Detroit. ”Saya sampaikan ke Presiden bahwa kita pembahasannya itu ada 4 pilar. Pertama, trade facilitation, (ini) dalam pembahasan dan belum selesai. Kedua, mengenai supply chain, ini sudah selesai kemarin di Detroit. Ketiga, terkait green economy dan keeempat fair economy. Tiga pilar lain diharapkan bisa selesai bulan November,” katanya.
Airlangga menuturkan, salah satu yang menonjol dalam fasilitasi perdagangan adalah permintaan Indonesia untuk rantai pasok nikel. Ada keinginan agar Indonesia memiliki kesempatan menyuplai bahan baku baterai ke AS. ”Bahan baku critical mineral itu (agar) diadopsi menjadi bagian dari IPEF, terutama di pilar pertama, karena ini menjadi bagian dari inflation reduction act di AS,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Airlangga menuturkan, sektor otomotif di AS hampir sama seperti di Indonesia. Subsidi yang diberikan Pemerintah AS hanya diberikan kepada otomotif yang 40 persennya diproduksi di AS, termasuk untuk kendaraan listrik dan mineral kritikalnya. ”Jadi, kita sedang berbicara bagaimana IPEF ini menjadi bagian yang setara dengan FTA (perjanjian perdagangan bebas) sehingga Indonesia bisa mendapatkan kesempatan untuk menyuplai bahan baku baterai ke Amerika Serikat,” katanya.
Saat bertemu Presiden Jokowi, Airlangga juga melaporkan pembicaraan di Uni Eropa, khususnya terkait European Union Deforestation Regulation (EUDR). EUDR yang akan diundangkan pada bulan Juni 2023 ini memandatkan ada implementing regulation ataupun Uni Eropa sering menyebut sebagai guidance atau panduan dalam waktu 18 bulan.
”Dalam waktu 18 bulan komoditas dari hutan harus diverifikasi, due diligence (uji tuntas), dan harus ada geo-tagging. Dan komoditas itu kopi, kakao, kemudian hasil hutan, furnitur, CPO (minyak sawit mentah), yang berbasis metan, sapi, dan sebagainya. Bagi Indonesia ini tantangan ke depan yang sangat pendek, dalam waktu 18 bulan kalau Indonesia tidak comply (mematuhi) maka Rp 90 triliun trade dengan Eropa akan terganggu,” kata Airlangga.
EUDR atau Undang-undang Deforestasi Uni Eropa itu mengganggu capaian SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) dari Indonesia dan Malaysia.
Sejumlah hal pun disampaikan Airlangga, termasuk misi bersama antara Indonesia dan Malaysia yang juga dihadiri Deputi Perdana Menteri Dato Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof, kepada Wakil Presiden dan Ketua Parlemen Uni Eropa. Airlangga dan Fadillah menyampaikan bahwa EUDR atau Undang-undang Deforestasi Uni Eropa itu mengganggu capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dari Indonesia dan Malaysia.
”Jadi, UU ini bersifat diskriminasi dan punitive (menghukum) karena (terkait) SDGs, Indonesia (dan) Malaysia sebagai anggota United Nation, WTO, comply with ILO, dan untuk lingkungan UNFCC (Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB). Jadi, dengan demikian, UU ini dianggap berlebihan. Tapi kita tidak bisa memprotes karena ini hak mereka,” kata Airlangga.
Hal yang diprotes Indonesia dan Malaysia, menurut Airlangga, adalah implementasi regulasi tersebut. Hal ini menyangkut kurangnya kejelasan dan transparansi, semisal mengenai jenis barang dan juga standar.
”Saya beri contoh, Indonesia punya FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) atau SVLK (Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu) untuk furnitur dan itu sudah berlaku dari tahun 2002. Nah, 20 tahun kemudian mereka buat EUDR dan mereka belum katakan FLEGT itu mereka akui. Sama juga di kelapa sawit kita punya tracebility yang namanya Indonesia Sustainable Palm Oil dan Malaysia punya MSPO, bahkan Eropa ada Round Table Sustainable Palm Oil, itu pun mereka belum akui,” ujar Airlangga.
Airlangga mengatakan akan timbul gejolak ketika tidak ada pengakuan hal-hal tersebut. Demikian pula ketika tidak ada kejelasan dan transparansi standar. ”Dan saya sampaikan UU (EUDR) ini cenderung menguntungkan perusahaan besar karena terintegrasi tetapi merugikan kepada 15 juta farmer di Indonesia dan merugikan kepada 700.000 farmer di Malaysia karena ongkos untuk verifikasi itu, kan, tidak murah. (Ongkos verifikasi) itu dibebankan kepada siapa,” katanya.
Menurut Airlangga, hal yang juga diprotes adalah pemeringkatan negara. ”Mereka itu membuat rating negara. Negara yang deforestasi itu mereka rating high risk, standard, dan low risk. Nah, pertama, Indonesia adalah sovereign country (negara berdaulat), sama dengan Malaysia. (Jadi) tidak tepat (ketika) sebuah negara membuat rating negara lain, apalagi ini EU membuat rating. Kecuali, kan, rating ekonomi seperti (yang dilakukan) Standard and Poor, Moody’s, kan, jelas,” katanya.
Airlangga berpandangan tidak bisa Uni Eropa mengatakan Indonesia atau Malaysia berada pada peringkat risiko tinggi, risiko rendah, dan sebagainya. Sebab, pemeringkatan semacam ini juga berkonsekuensi pada ongkos verifikasi.
”Kalau negara dikategorikan sebagai low risk maka 3 persen dari produk yang diimpor ke Eropa harus diuji sampel. Nah, kalau itu standard risk 6 persen, kalau itu high risk 9 persen. Nah, ongkos verifikasi ini siapa yang bayar? Saya katakan kalau di-push ke negara produsen berarti menekan petani, tapi kalau di-pass through ke konsumen, ya, silakan saja konsumer Eropa bayar,” katanya.
Imperialisme regulasi
Hal-hal tersebut disampaikan Airlangga dalam misinya ke Uni Eropa. ”Saya sampaikan kepada parlemen mereka bahwa ini adalah bentuk daripada imperialisme regulasi karena (ada) regulasi (dari satu negara) mengatur negara lain. Kita membuat undang-undang untuk di negara sendiri, (tetapi) ini mengatur negara lain tanpa clarity daripada transparansi. Inilah yang kemarin misi yang saya bahas di Amerika maupun di Eropa,” ujar Airlangga.
Saya sampaikan kepada parlemen mereka bahwa ini adalah bentuk daripada imperialisme regulasi karena (ada) regulasi (dari satu negara) mengatur negara lain.
Dia berpandangan akan merepotkan ketika semua negara melakukan hambatan perdagangan. Salah satu yang juga didorong Eropa adalah Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). ”Nah, (CBAM) itu yang akan mengatur kalau produk menghasilkan karbon dan di Indonesia tidak dikenakan carbon tax, maka negara pengimpor boleh mengenakan carbon tax,” katanya.
Artinya, Airlangga melanjutkan, kalau Indonesia mengekspor baja, maka Uni Eropa dapat mengenakan tambahan tarif karbon di sana. ”Ini mulai berlaku tahun 2026. Lah, ini, kan, repot. Indonesia digugat (soal larangan) bahan baku nikel, larangan ekspor mineral digugat. (Tapi) nanti, begitu sampai produk jadi, (produk) hilir, dikenai pajak lagi. Jadi, ini, kan, sebetulnya masalah lingkungan atau masalah competition yang tidak compete,” ujarnya.
Airlangga mengatakan, dua komoditas andalan ekspor Indonesia, yakni baja dan kelapa sawit, terhantam CBAM tersebut. Demikian pula terkait aturan energi terbarukan bahwa biodiesel dilarang atau dimoratorium di tahun 2030.
”Jadi, mereka pasang pagar-pagar untuk trade ini yang harus kita jaga. Dan, (implementing regulation EU DR) ini berlakunya di akhir 2024, jadi waktu kita hanya 18 bulan dari sekarang. Makanya, kita harus sampaikan hari ini dan EU menyampaikan bahwa misi dua negara ini (Indonesia dan Malaysia) mereka dengarkan, mereka akan konsultasi,” kata Airlangga.
Beberapa bulan lalu, saat berpidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa di Justus Lipsius Atrium, Brussel, Belgia, 14 Desember 2022, Presiden Jokowi mendorong kemitraan kedua belah pihak harus didasarkan pada prinsip kesetaraan. Saat itu Presiden Jokowi, sebagai Ketua ASEAN 2023, merupakan satu dari enam pemimpin yang diminta menyampaikan pandangan.
”Jika kita ingin membangun sebuah kemitraan yang baik, maka kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan beranggapan bahwa my standard is better than yours,” kata Presiden Jokowi.