Perdagangan Dunia Terfragmentasi, RI Susah Payah Hadapi Uni Eropa
IMF dan WTO menyebut perdagangan dan investasi dunia telah terfragmentasi. Di sisi lain, Indonesia harus bersusah payah menghadapi hambatan dan sengketa dagang dengan Uni Eropa.
JAKARTA, KOMPAS — Arus aliansi ekonomi dunia semakin menguat. Blok-blok ekonomi tersebut telah mengurangi efisiensi ekonomi dan memecah sistem perdagangan global. Kini, perdagangan bahkan investasi dunia mulai terfragmentasi.
Kendati begitu, masih ada harapan bagi perdagangan dan investasi dunia tetap bisa mengembangkan kemakmuran masyarakat. Kuncinya adalah bekerja sama tanpa lelah untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral dan mampu beradaptasi terhadap dunia yang cepat berubah.
Hal itu mengemuka dalam pernyataan bersama Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva dan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala. Pernyataan bertajuk ”World Trade Can Still Drive Prosperity” itu diluncurkan IMF, Kamis (1/6/2023).
Georgieva dan Okonjo mengemukakan, ketergantungan ekonomi dan perdagangan dunia yang saling menguntungkan mulai berbalik arah. Pembatasan perdagangan dan subsidi meningkat setelah krisis keuangan global yang berlanjut hingga pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Banyak negara berebut untuk mengamankan rantai pasokan strategis dan bergegas ke kebijakan yang mendistorsi perdagangan. Tindakan-tindakan itu dapat membuka pintu bagi kebijakan berorientasi aliansi yang mengurangi efisiensi ekonomi dan memecah-mecah sistem perdagangan global. Investasi asing langsung bahkan sudah semakin terkonsentrasi di antara negara-negara yang selaras secara geopolitik.
Banyak negara berebut untuk mengamankan rantai pasokan strategis dan bergegas ke kebijakan yang mendistorsi perdagangan. Tindakan-tindakan itu dapat membuka pintu bagi kebijakan berorientasi aliansi yang mengurangi efisiensi ekonomi dan memecah-mecah sistem perdagangan global.
Baca juga: Simpul Gordian
Dalam skenario WTO, dunia yang terbagi dalam dua blok perdagangan yang terpisah dapat menyebabkan produk domestik bruto (PDB) global turun 5 persen. Sementara IMF menyebutkan, kerugian dunia akibat fragmentasi perdagangan global bisa berkisar 0,2 persen hingga 7 persen PDB global. PDB global pada 2022 sebesar 103,749 triliun dollar AS.
Besaran kerugian akan bertambah tinggi jika turut memperhitungkan decoupling atau keterlepasan kerja sama bidang teknologi. Negara berkembang dan berpenghasilan rendah akan paling berisiko karena hilangnya transfer pengetahuan.
Sementara itu, dalam laporan ”Goods Barometer Stabilizes Indicating Possible Turning Point for Trade” yang dirilis 31 Mei 2023, WTO mencatat, indeks perdagangan barang dunia naik dari 92,2 pada Desember 2022 menjadi 95,6 pada Maret 2023. Kendati naik, barometer perdagangan dunia itu masih berada di zona merah atau di bawah level ambang batas 100.
Kenaikan barometer tersebut ditopang oleh indeks produk otomotif (110,8) dan permintaan ekspor (102,7) yang naik cukup signifikan. Adapun yang masih berada di zona merah adalah indeks angkutan peti kemas (89,4), kargo udara (93,5), dan perdagangan elektronik (85,2).
Khusus komponen indeks bahan baku mulai membaik di level 99, mendekati zona kuning atau tren pertumbuhan. Pertumbuhan komponen barometer perdagangan dunia yang tidak merata tersebut menunjukkan jalan menuju pemulihan perdagangan bakal tidak mulus.
”Ini sejalan dengan perkiraan pertumbuhan perdagangan dunia 2023 yang dirilis WTO pada 5 April 2023, yakni sebesar 1,7 persen,” sebut laporan itu.
Baca juga: WTO: Perdagangan Global Diperkirakan Tumbuh 1,7 Persen pada 2023
Hambatan-sengketa dagang
Indonesia merupakan salah satu negara yang terdampak pelemahan permintaan dunia. Selain itu, Indonesia juga mengalami hambatan dan sengketa dagang dengan sejumlah negara dan satu kawasan ekonomi, yakni Uni Eropa (UE).
Hambatan dagang dari UE berupa penerapan Undang-Undang Bebas Deforestasi (EUDR). Adapun sengketa dagang dengan UE terkait kebijakan hilirisasi nikel RI dan pengenaan bea masuk penyeimbang (BMP) baja nirkarat RI oleh UE.
Pada 30-31 Mei 2023, RI dan Malaysia menggulirkan misi bersama menemui Dewan dan Parlemen UE di Brussels, Belgia, untuk menyampaikan keberatan terkait EUDR. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI, Kementerian Perladangan dan Komoditi Malaysia, serta Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (CPOC) menyampaikan pernyataan bersama dalam pertemuan itu.
Dalam pernyataan bersama itu, RI, Malaysia, dan CPOC memandang EUDR bersifat diskriminatif dan punitif. Penerapan regulasi itu tidak hanya akan berdampak buruk pada perdagangan internasional, tetapi juga akan menghambat upaya industri kelapa sawit mencapai agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030.
”Kami berharap agar UE mematuhi prinsip-prinsip transparansi, nondiskriminasi, dan konsisten dengan peraturan dan regulasi WTO, khususnya dalam perdagangan minyak sawit dan produk-produknya. Peraturan baru harus dicapai melalui pendekatan yang seimbang, inklusif, disengaja, dan nonperdagangan,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono yang turut menghadiri pertemuan itu.
Peraturan baru harus dicapai melalui pendekatan yang seimbang, inklusif, disengaja, dan nonperdagangan.
Baca juga: Uni Eropa Coba Tekan Indonesia lewat EUDR
Dalam pertemuan itu, RI-Malaysia menekankan isu-isu EUDR yang harus diselesaikan. Sejumlah isu itu antara lain pelibatan petani kecil dalam rantai pasok, penerimaan skema sertifikasi berkelanjutan nasional (ISPO dan RSPO) sebagai acuan pedoman pelaksanaan, klarifikasi teknis pada sistem tolok ukur, geolokasi, legalitas, dan ketertelusuran. Untuk membahas isu-isu itu, RI, Malaysia, dan UE sepakat membentuk gugus tugas.
Selain itu, RI-Malaysia menilai, pelabelan suatu negara sebagai negara yang tinggi, berstandar, dan berisiko rendah deforestasi memiliki konsekuensi terhadap kedaulatan dan citra negara tersebut. Oleh karena itu, UE harus hati-hati memperhitungkan dan menyadari efek pelabelan itu. UE juga didesak untuk memastikan RI dan Malaysia sebagai negara berisiko rendah deforestasi.
Baca juga: Komoditas Ekspor RI Hadapi Tantangan Regulasi Produk Bebas Deforestasi UE
Sementara itu, terkait baja nirkarat, RI berhasil mendorong Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO membentuk Panel Sengketa Dagang RI-UE pada 30 Mei 2023 di Geneva, Swiss. Panel tersebut dibentuk lantaran forum konsultasi RI-UE terkait pengenaan BMP dan bea masuk antidumping (BMAD) baja nirkarat RI yang digelar pada 13 Maret 2023 menemui jalan buntu.
Duta Besar RI untuk WTO Dandy Satria Iswara mengatakan, pengenaan BMP dan BMAD telah mengurangi keuntungan Indonesia. RI menilai, kebijakan UE itu tidak sejalan dengan Perjanjian Subsidi dan Tindakan Penyeimbang (SCM), Perjanjian Anti-dumping, serta Perjanjian Tarif Umum dan Perdagangan (GATT) 1994.
Adapun UE menganggap kebijakan pengenaan BMP telah sesuai perjanjian WTO. Meski kecewa, UE mengakui permintaan pembentukan panel itu merupakan hak Indonesia. ”UE juga menyatakan siap berdiskusi kembali dengan RI terkait pengaturan sementara terkait tindakan penyeimbang atau imbalan selama Badan Banding WTO tidak berfungsi,” ujarnya melalui siaran pers.
Pada 15 Maret 2022, Komisi UE mengenakan BMP atas lempeng baja canai dingin nirkarat (stainless steel cold-rolled flat/SSCRF) India dan Indonesia. BMP yang dikenakan ke RI sebesar 21 persen dan India 7,5 persen. Sebelumnya, pada November 2021, UE mengenakan BMAD atas produk tersebut sebesar 10,2-35,3 persen kepada RI dan India. Dengan demikian, total BMP dan BMAD yang dikenakan kepada RI sebesar 31,5-56,3 persen.
Dandy menambahkan, dalam pertemuan pembentukan panel sengketa, 14 anggota WTO menyatakan keinginan menjadi pihak ketiga kasus sengketa tersebut. Keempat belas negara itu adalah Amerika Serikat, Argentina, Brasil, China, India, Inggris, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Singapura, Thailand, Turki, dan Ukraina. Ini menunjukkan besarnya perhatian dan kepentingan anggota WTO terhadap kasus sengketa ini.
Baca juga: RI-UE Berseteru Lagi di WTO, Kali Ini soal Baja Nirkarat