Indonesia memiliki dua pilihan untuk menyiasati intrik Uni Eropa dalam penerapan EUDR. Pertama, jalur negosiasi melalui Indonesia-EU CEPA atau argumentasi pembangunan berkelanjutan kelapa sawit.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa menjadi alat untuk menekan defisit neraca perdagangan sekaligus mendorong perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia-EU CEPA. Pemerintah Indonesia bersama Malaysia menentang sikap diskriminasi Uni Eropa dan berupaya melakukan negosiasi.
Undang-Undang Uni Eropa tentang Deforestasi (EUDR) telah disahkan oleh parlemen Eropa pada April 2023 dan resmi berlaku per 16 Mei 2023. Dalam regulasi tersebut, setiap eksportir wajib menyerahkan dokumen uji tuntas dan verifikasi serta menjamin produknya tidak berasal dari kawasan hasil penggundulan hutan (deforestasi) yang dilakukan mulai 1 Januari 2021.
Apabila ditemukan pelanggaran, eksportir akan dikenai denda hingga 4 persen dari pendapatan yang diperoleh di UE. Produk-produk ekspor yang dimaksud ialah minyak sawit dan produk turunannya, arang, kopi, kedelai, kakao, daging sapi, dan kayu. Selain itu, karet, kertas, kulit, dan produk turunannya juga masuk dalam kategori.
Wakil Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha dan Rantai Nilai Global Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Mohamad Dian Revindo menjelaskan, peraturan tersebut dinilai bersifat bias terhadap negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia selaku eksportir sawit terbesar ke EU. Selain itu, kebijakan ini juga menjadi alat Uni Eropa untuk melindungi produsen dalam negeri dalam persaingan global dengan negara lain.
”Di satu sisi, ini adalah strategi Uni Eropa untuk menekan defisit perdagangan mereka dengan Indonesia. Di sisi lain, Uni Eropa juga tengah menekan Indonesia dalam negosiasi Indonesia-EU CEPA. Mereka menginginkan perdagangan bebas dengan Indonesia secara komprehensif, antara lain, mencakup investasi, mobilitas orang, dan jasa,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (1/5/2023).
Neraca perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa terus mengalami surplus. Pada 2022, Indonesia tercatat 10,49 miliar dollar AS atau naik sekitar 43 persen dibanding tahun 2021 sebesar 7,3 miliar dollar AS dan naik tiga kali lipat dibanding tahun 2020 sebesar 3,26 miliar dollar AS.
Oleh karena itu, Uni Eropa ingin menekan defisit neraca perdagangan dengan Indonesia melalui EUDR. Produk yang diekspor oleh Indonesia ke Uni Eropa adalah minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, karet mentah, serta kelapa.
Uni Eropa harus melihat bawah jika perkebunan sawit terdampak, SDGs yang mereka harapkan juga akan terhambat.
”Uni Eropa mengincar Indonesia-EU CEPA, salah satunya adalah pengadaan barang dan jasa pemerintah yang nilainya pada 2023 berjalan ini sudah mencapai Rp 1.100 triliun lebih. Namun, Pemerintah Indonesia memproteksi itu dengan ketentuan 40 persen pengadaan barang dan jasa pemerintah kepada pelaku UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), lalu investor asing harus berkantor di Indonesia, dan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri)," lanjutnya.
Revindo menambahkan, Indonesia juga memiliki alternatif lain untuk bernegosiasi dengan Uni Eropa terkait EUDR. Sekalipun perkebunan sawit berdampak terhadap lingkungan, terdapat dampak positif dari perkebunan sawit terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh LPEM UI, setiap 10 persen persentase peningkatan rasio area, perkebunan sawit meningkatkan 1,8 persen pendapatan per kapita. Selain itu, perkebunan sawit juga mengurangi tingkat kemiskinan 0,05 persen dan tingkat pengangguran 0,02 persen.
Dokumentasi LPEM FEB UI
”Ini harus disampaikan kepada NGO yang didanai asing supaya melihat ini secara lebih obyektif. Intinya, Uni Eropa harus melihat bawah jika perkebunan sawit terdampak, SDGs yang mereka harapkan juga akan terhambat,” lanjut Revindo.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyampaikan, respons Uni Eropa saat ini cukup bagus dan mereka sepakat membuat tim gugus tugas yang terdiri atas multilayer, yakni pemerintah, pelaku usaha, petani, dan industri. Selain itu, pihak Uni Eropa juga berencana berkunjung ke Indonesia dan Malaysia untuk melihat kondisi petani di perkebunan sawit.
”Memang belum diberlakukan, tetapi apabila EUDR diberlakukan, kita belum tahu Indonesia termasuk dalam kategori high risk, standard, atau low risk. Yang menjadi masalah, mereka juga akan membuat standar sendiri untuk sustainability dengan tidak menggunakan sertifikasi yang sudah ada. Ini semua tentu akan menambah biaya dan menghambat ekspor,” ujar Eddy saat dihubungi sedang ada di Brussel, Belgia.
Lebih lanjut, Eddy berharap, sekalipun EUDR tidak dapat dicabut, setidaknya implementasinya disesuaikan dengan kondisi negara produsen minyak sawit. Sebab, regulasi ini akan berpengaruh pada suplai minyak kepala sawit dunia yang juga berdampak negatif bagi konsumen minyak nabati dunia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dalam keterangan resminya, mengatakan, implementasi EUDR merugikan komoditas perkebunan dan kehutanan yang sangat vital bagi Indonesia, seperti kakao, kopi, karet, produk kayu, dan minyak sawit. Selain itu, kebijakan tersebut juga menafikan berbagai upaya Indonesia yang telah dilakukan terkait isu perubahan iklim hingga perlindungan biodiversitas sebagaimana dalam konvensi multilateral, seperti Perjanjian Paris 2015.
”Negara anggota CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) secara ketat sudah mengimplementasikan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan. Bahkan, level deforestasi di Indonesia turun 75 persen pada periode 2019-2020. Indonesia juga sukses mengurangi wilayah yang terdampak kebakaran hutan menjadi 91,84 persen,” ujar Airlangga dalam acara jamuan makan malam bersama perwakilan Civil Society Organisations (CSOs) dan Non-Governmental Organisations (NGOs), Selasa (30/5/2023), di Brussels, Belgia.
Kunjungan tersebut merupakan tindak lanjut dari tindak lanjut dari keputusan Bilateral Ministerial Meeting CPOPC pada 9 Februari 2023 di Jakarta. Indonesia berkunjung dengan Wakil Perdana Menteri serta Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia YAB Dato’ Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof.