Kepercayaan Investor Asing terhadap Pasar SBN Diyakini Meningkat
Kepemilikan asing di pasar surat utang negara ibarat pedang bermata dua. Kendati aliran dana asing belakangan meningkat, porsi kepemilikan SBN yang didominasi oleh domestik perlu dijaga demi stabilitas perekonomian.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Suasana di Global Market Bank Permata, Jakarta, yang memantau pergerakan pasar uang dan obligasi, beberapa waktu lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Porsi kepemilikan asing di pasar surat berharga negara mulai mengalami kenaikan secara bulanan. Dengan kondisi fundamental ekonomi yang sejauh ini terjaga, pemerintah meyakini kepercayaan investor asing terhadap pasar surat utang negara kembali pulih. Meski demikian, demi perekonomian yang lebih stabil, ketergantungan pada investor asing diharapkan tidak setinggi dahulu.
Beberapa bulan terakhir, aliran dana asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) Indonesia menunjukkan peningkatan kendati masih tipis. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, total dana investor asing di SBN Rupiah pada 29 Mei 2023 adalah Rp 829,98 triliun atau menyentuh porsi 15,31 persen dari total kepemilikan SBN Rupiah.
Jumlah investor asing di pasar SBN itu naik sebesar Rp 8,15 triliun dibandingkan posisi per akhir April 2023, yaitu Rp 822,69 triliun atau dengan porsi 14,86 persen. Sebelumnya, pada akhir Maret 2023, porsi kepemilikan asing di pasar SBN rupiah sebesar 14,69 persen dengan nilai Rp 805,1 triliun.
Porsi kepemilikan asing di SBN sebenarnya sudah tercatat mengalami penurunan besar-besaran sejak pandemi Covid-19. Sebelum pagebluk, pada tahun 2019, porsi kepemilikan asing pada SBN rupiah tercatat masih 38,75 persen. Per tahun 2020, porsinya menurun menjadi 25,2 persen dan per Januari 2023 berada di kisaran 14 persen.
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, kepemilikan asing di pasar surat utang negara (SUN) ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, kepemilikan SBN oleh investor asing adalah pertanda bahwa pasar obligasi pemerintah dan perekonomian RI secara umum masih menarik bagi investor asing.
Di sisi lain, kepemilikan asing yang terlalu besar di pasar obligasi negara juga membuat pasar SBN lebih rapuh terhadap risiko arus modal keluar (capital outflow) ketika terjadi sentimen atau guncangan eksternal, seperti saat pandemi.
”Pandemi membuat confidence investor turun, apalagi di saat-saat susah seperti itu ada persepsi bahwa cash is the king. Akhirnya banyak investor asing tidak yakin dengan perekonomian Indonesia dan memutuskan keluar,” kata Suahasil dalam wawancara di kantornya di Kementerian Keuangan, Rabu (31/5/2023).
Kepemilikan asing di pasar surat utang negara (SUN) ibarat pedang bermata dua.
Meski demikian, Indonesia termasuk satu dari segelintir negara yang ekonominya bisa cepat bangkit pascapandemi. Berbagai indikator ekonomi fundamental sejauh ini masih terkendali dengan inflasi yang relatif rendah, kinerja perdagangan yang masih mencatatkan surplus, dan pertumbuhan ekonomi yang konsisten berada di atas 5 persen selama enam triwulan berturut-turut.
Suahasil meyakini, kondisi perekonomian RI yang masih relatif kuat itu membuat kepercayaan investor asing meningkat dan mendorong mereka untuk kembali berinvestasi di pasar SBN. ”Sekarang kegiatan ekonomi sudah kembali berputar, dan kalau investor asing masuk lagi, berarti demand untuk SBN kita semakin besar dan itu hal yang baik. Tetapi, ini semua berpulang lagi pada selera investor,” katanya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Penawaran investasi obligasi negara ritel seri ORI 016 dari laman Kementerian Keuangan, di Jakarta, Minggu (6/10/2019). Obligasi negara ritel merupakan salah satu instrumen surat berharga negara (SBN) yang ditawarkan pemerintah kepada individu atau perseorangan warga negara Indonesia melalui mitra distribusi di pasar perdana. Kupon obligasi negara ritel Indonesia (ORI) seri 016 ditetapkan 6,8 persen dan ditawarkan hingga 24 Oktober 2019.
Lebih stabil
Pemerintah tidak berencana mengembalikan porsi kepemilikan asing pada SBN setinggi kondisi prapandemi. Kepemilikan SBN yang saat ini lebih didominasi oleh investor domestik membuat kondisi pasar surat utang negara lebih stabil. Suahasil mencontohkan beberapa negara maju, seperti Jepang, yang porsi kepemilikan domestik pada surat utangnya mencapai 95 persen.
”Di Jepang, investor asing hanya 5 persen. Karena income masyarakatnya besar, mereka menabung di surat utang pemerintah, ini hal baik. Sekarang, meski kepemilikan asing di SBN kita rendah di 14-15 persen, kita tetap nyaman karena kepemilikan domestik yang lebih tinggi menunjukkan pasar dalam negeri kita cukup kuat,” katanya.
Sebelumnya, dalam rapat dengan Badan Anggaran DPR untuk membahas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, aliran dana asing di pasar obligasi pemerintah akan tetap mengalir kencang tahun depan meski di tengah dinamika pemilihan umum dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Masuknya aliran dana asing itu mendorong imbal hasil (yield) SBN yang lebih rendah. ”Capital inflow ini menopang yield yang lebih rendah, menunjukkan kalau fondasi ekonomi dan fiskal kita, serta daya tarik dari SBN masih sangat baik,” katanya.
KOMPAS/HENDRA SETYAWAN
Petugas menghitung mata uang dolar Amerika Serikat dan rupiah di kantor Bank CIMB Niaga, Jakarta, Senin (30/6). Pelemahan nilai tukar rupiah diproyeksikan akan membatasi penawaran obligasi atau surat utang negara pada pekan ini. Pasar keuangan juga menantikan rilis data ekonomi domestik terbaru seiring perkembangan politik terkait pemilihan presiden yang akan digelar pada 9 Juli 2014.
Secara terpisah, Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, kepemilikan asing yang tinggi pada investasi surat utang negara memiliki risiko capital outflow yang tinggi pula. Ia menilai, porsi kepemilikan asing 14-15 persen saat ini sudah cukup ideal sehingga Indonesia tidak perlu terlalu bergantung pada investor asing.
”Sebenarnya memang lebih aman bertumpu pada kepemilikan domestik dan SBN yang diterbitkan dengan denominasi mata uang rupiah karena risikonya lebih kecil. Ekspektasi investor juga masih bisa diatasi dan diantisipasi dengan cepat oleh pemerintah. Berbeda dengan investor asing yang ekspektasinya akan sangat bergantung pada kondisi ekonomi global, yang otomatis ada di luar kendali pemerintah,” kata Yusuf.
Porsi kepemilikan asing di pasar SBN 14-15 persen sudah cukup ideal sehingga Indonesia tidak perlu terlalu bergantung pada investor asing.
Secara umum, tren meningkatnya kepemilikan asing pada SBN beberapa bulan terakhir ini dinilai sebagai sinyal baik terhadap perekonomian Indonesia. Apalagi, mayoritas investor memilih instrumen SBN dengan tenor jangka menengah-panjang atau 5-10 tahun.
”Ini menunjukkan bahwa investor asing dan domestik masih memiliki kepercayaan dan ekspektasi kuat terhadap perekonomian Indonesia dalam jangka panjang,” ujarnya.