Saat ini dollar AS masih mendominasi sistem keuangan global. Namun, porsi cadangan devisa dalam mata uang ini turun signifikan, dari 71 persen menjadi 58 persen dua dekade terakhir. Apakah dedolarisasi akan berlanjut?
Oleh
CHAIRUL ADI
·4 menit baca
Isu dedolarisasi sedang hangat diperbincangkan di berbagai media terkemuka di luar negeri. Robert Kiyosaki, pengarang buku Rich Dad Poor Dad, mengatakan, dollar AS akan kehilangan nilainya dan hanya akan menjadi ”toilet paper”.
Sebaliknya, kolumnis New York Times sekaligus peraih Nobel bidang ekonomi, Paul Krugman, meyakini bahwa dedolarisasi belum akan menjadi ancaman terhadap dominasi dollar AS, setidaknya dalam jangka menengah. Pertanyaannya, apakah tren dedolarisasi akan mampu meruntuhkan hegemoni dollar AS? Serta bagaimana implikasinya terhadap pengelolaan utang pemerintah?
Pergeseran lanskap
Menghangatnya diskursus mengenai dedolarisasi, yaitu upaya menghilangkan/mengurangi penggunaan dollar AS oleh ekonomi suatu negara, dimulai sejak pertengahan 2022.
Strategi dollar weaponisation yang dilakukan AS—dengan membekukan lebih dari 300 miliar dollar AS cadangan devisa Rusia dan mengeluarkan negara tersebut dari jaringan perbankan global (SWIFT)—tidak berhasil menghentikan invasi Rusia ke Ukraina.
Sebaliknya, strategi tersebut direspons Rusia dengan menghentikan penggunaan mata uang dollar AS untuk transaksi bilateral dengan negara-negara pendukungnya, termasuk China, Brasil, dan India.
Tren dedolarisasi juga menjalar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia. Tingginya tingkat inflasi dan tumbangnya beberapa bank memicu kekhawatiran akan stabilitas pasar keuangan Amerika Serikat.
Dedolarisasi kemudian dianggap sebagai langkah yang perlu untuk meminimalkan efek rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.
Di Indonesia, Bank Indonesia dalam beberapa waktu terakhir terlihat cukup gencar mengakselerasi penggunaan local currency settlement (LCS) untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS.
Namun, tren dedolarisasi sepertinya belum mampu mengguncang supremasi dollar AS sebagai mata uang global. Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa porsi cadangan devisa dalam mata uang dollar AS hanya sedikit mengalami penurunan, dari 58,80 persen pada akhir triwulan IV-2021 menjadi 58,36 persen pada triwulan IV-2022.
Ilustrasi
Menariknya, penurunan ini tidak diimbangi dengan penguatan porsi mata uang utama lainnya. Porsi cadangan devisa dalam mata uang euro (mata uang terkuat kedua setelah dollar AS) justru mengalami penurunan sebesar 0,12 persen dalam periode yang sama.
Demikian halnya dengan porsi mata uang renminbi yang turun sebesar 0,11 persen dan yen yang turun 0,01 persen. Kenaikan terbesar dialami mata uang lainnya, yakni naik sebesar 0,34 persen. Data ini menunjukkan bahwa dominasi dollar AS masih belum tergoyahkan.
Dalam perspektif hegemonic stability theory, bertahannya dominasi Amerika Serikat (dan dollar AS) dalam sistem ekonomi global dianggap sebagai sebuah keniscayaan.
Teori ini meyakini bahwa kehadiran sebuah negara pemimpin (hegemon) dibutuhkan untuk menjaga stabilitas dan keteraturan tatanan ekonomi dunia. Dengan kata lain, ketiadaan kekuatan hegemon dapat melahirkan instabilitas dan kekacauan global.
Teori ini juga menjelaskan bahwa hegemoni dollar AS hanya akan berakhir ketika muncul kekuatan ekonomi baru yang mampu menggantikan peran Amerika Serikat sebagai polisi dunia. Hal yang sama terjadi sebelumnya ketika Amerika Serikat menggantikan Inggris menjadi pemimpin ekonomi dunia pasca-Perang Dunia II dan dollar AS kemudian menjadi mata uang global menggantikan pound sterling.
Lebih lanjut, pelemahan kekuatan hegemon akan mendorong terjadinya pergeseran lanskap ekonomi politik global yang ditandai dengan meningkatnya tensi geopolitik dan hubungan internasional yang semakin dinamis. Konfigurasi ulang kekuatan ekonomi politik global akan terjadi dan episentrum pertumbuhan ekonomi yang baru akan bermunculan.
Fenomena ini mulai terlihat dengan hadirnya China sebagai pusat pertumbuhan global dalam beberapa dekade terakhir.
Selain itu, interaksi yang semakin intens antara China dan negara-negara kelompok BRICS lainnya (Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan) yang secara kumulatif berkontribusi lebih dari 30 persen perekonomian dunia memberikan sinyal hadirnya penantang kuat atas hegemoni Amerika Serikat yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.
Data IMF menunjukkan bahwa kontribusi mata uang renminbi masih sangat kecil (2,69 persen dari total cadangan devisa global).
Namun, kondisi ini belum didukung menguatnya posisi renminbi dalam pasar keuangan global. Data IMF menunjukkan bahwa kontribusi mata uang renminbi masih sangat kecil (2,69 persen dari total cadangan devisa global).
Lemahnya posisi mata uang China dalam hierarki mata uang (currency hierarchy), antara lain, disebabkan stance kebijakan moneter China yang cenderung tertutup sehingga membatasi internasionalisasi renminbi.
Dampak terhadap pengelolaan utang RI
Lantas bagaimana perubahan dinamika ekonomi politik global tersebut akan berdampak pada pengelolaan utang pemerintah? Tren dedolarisasi berimbas pada meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Grafik GARCH volatility analysis dari New York University menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS mengalami kenaikan, khususnya sepanjang tahun 2023. Akibatnya, risiko ketidakpastian nilai tukar (currency exchange risk) atas utang pemerintah meningkat.
Untungnya, porsi surat berharga negara dalam denominasi valuta asing (SBN valas) relatif kecil (sekitar 19 persen dari total SBN outstanding) sehingga eksposur risiko nilai tukar terhadap pembayaran bunga utang pemerintah relatif rendah. Selain itu, sebagian besar SBN valas memiliki jatuh tempo relatif panjang sehingga currency exchange risk ataupun refinancing risk relatif terjaga.
Meski demikian, situasi geopolitik yang semakin dinamis memerlukan kewaspadaan dari pemerintah. Saat ini dollar AS masih mendominasi sistem keuangan global. Namun, porsi cadangan devisa dalam mata uang ini turun signifikan, dari 71 persen menjadi 58 persen dalam dua dekade terakhir.
Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun ke depan akan muncul mata uang baru yang mampu menggantikan supremasi dollar AS.
Sementara itu, meskipun komposisi SBN valas relatif kecil terhadap total SBN outstanding, porsi SBN valas dalam denominasi dollar AS masih cukup besar (82,4 persen dari total SBN valas). Upaya diversifikasi menjadi langkah strategis yang diperlukan untuk mengantisipasi perubahan konstelasi ekonomi politik global di masa depan.
Penerbitan Samurai Bond senilai Rp 11,3 triliun minggu lalu patut diapresiasi sebagai upaya mendiversifikasi portofolio. Namun, perluasan penerbitan SBN valas dalam mata uang lain selain dollar AS, yen, dan euro perlu terus diupayakan.
Tentu saja bukan hal mudah mengingat faktor incumbency di mana mata uang dollar AS telah digunakan di seluruh dunia. Perlu kerja keras dan sinergi berbagai pihak agar upaya perluasan basis investor asing bisa berjalan dengan baik. Selain itu, pengembangan dan pendalaman pasar domestik harus terus dilakukan secara paralel.
Chairul AdiAnalis Senior Strategi Pengelolaan Utang pada Kementerian Keuangan RI dan Kandidat Doktor Ekonomi Politik dari University of Sydney