Satelit Kecil Jadi Pilihan Alternatif Menjangkau Daerah Terpencil
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki tantangan memeratakan pembangunan jaringan terutama di wilayah-wilayah terpencil. Satelit kecil bisa jadi solusi alternatif atas ketimpangan tersebut.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Perkembangan telekomunikasi berupa satelit kecil atau smallsat dapat menjadi alternatif dalam menjangkau wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T. Pembangunan infrastruktur telekomunikasi perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi lapangan.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia menorehkan sejumlah catatan dalam mengembangkan satelit-satelit kecil, seperti Lapan-A-1, Lapan-A-2, dan Lapan-A-3. Selain itu, ada pula satelit kecil buatan mahasiswa Indonesia bernama Surya Satellite-1 (SS-1) yang diluncurkan pada Januari 2023.
Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Dahlian Persadha menjelaskan, telekomunikasi satelit telah berkembang, salah satunya berupa satelit kecil dengan bobot kurang dari 500 kilogram. Dengan demikian, biaya peluncuran yang selama ini selalu menjadi masalah utama dapat diminimalisir.
"Smallsat dapat memberikan konektivitas global tanpa bergantung pada infrastruktur darat sehingga cenderung memiliki ketahanan atas bencana alam seperti gempa bumi atau badai dan dapat menyediakan konektivitas yang andal dalam situasi darurat. Daerah terpencil atau wilayah yang tidak terlayani oleh base transceiver station (BTS) 4G dapat dijangkau oleh smallsat," katanya saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (27/5/2023).
Namun, satelit kecil memiliki beberapa kekurangan, seperti membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan yang sangat besar. Selain itu, satelit kecil juga tidak mampu menangani lalu lintas data yang besar atau melayani perangkat dalam jumlah banyak secara bersamaan lantaran kapasitasnya terbatas.
Pratama menambahkan, tingginya latensi satelit kecil berpengaruh terhadap aplikasi yang membutuhkan respons cepat. Jika dibandingkan dengan BTS 4G, jarak yang harus ditempuh oleh sinyal satelit dapat memengaruhi panggilan suara real-time atau permainan daring.
Oleh sebab itu, penggunaan satelit kecil di Indonesia harus disesuaikan dengan kebutuhan. Menurut Pratama, pemanfaatan infrastuktur telekomunikasi seluler menjadi pilihan untuk kebutuhan secara masif karena biaya implementasinya lebih rendah.
Indonesia seharusnya dapat mengembangkan dan mengoperasikan teknologi semacam ini untuk dapat memperbesar akses bagi penduduk di wilayah terpencil dan kepulauan.
"Infrastruktur smallsat lebih cocok untuk keperluan penanggulangan bencana. Smallsat juga lebih cocok untuk dipergunakan pada lokasi yang betul-betul terpencil dan insidentil seperti di posko pemantauan di perbatasan negara. Pasalnya, jangkauan satelit lebih luas dan dapat diimplementasikan dalam waktu cepat tanpa harus membangun infrastruktur darat seperti fiber optik," lanjutnya.
Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) menyatakan bahwa pada tahun 2023 akan meluncurkan tiga satelit, yakni Hot Backup Sattelite (HBS) buatan Boeing, Satelit SATRIA-1, dan High Throughput Sattelite (HTS). HBS dan SATRIA-1 direncanakan meluncur pada medio 2023 dan akan beroperasi pada triwulan IV-2023.
Pada tahap pertama, HBS akan digunakan untuk melayani 20.000 titik fasilitas layanan publik di seluruh Indonesia. Sementara SATRIA-1 yang memiliki nilai dari kontrak konstruksi sebesar 550 juta dollar AS atau setara Rp 8,1 triliun akan melayani sejumlah 150.000 titik layanan publik.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan di dunia telah mengembangkan teknologi smallsat, seperti Hiber, Planet dengan SkySat dan Planetscope-nya, Astrocat, Capella Space, dan SpaceX dengan Starlink-nya. SpaceX, misalnya, telah memasarkan akses satelit khusus untuk konsumen rumahan di wilayah terpencil dan laris dikonsumsi di Australia serta Selandia Baru.
Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kominfo mencatat, sedikitnya terdapat 12.548 desa/kelurahan di seluruh Indonesia yang belum terlayani oleh jaringan 4G. Dari 12.548 desa/kelurahan tersebut, 9.113 desa/kelurahan termasuk dalam kategori 3T dan 3.435 desa/kelurahan termasuk dalam kategori non-3T.
Untuk mengatasi hal itu, Kementerian Kominfo memiliki program pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung yang terdiri dari lima paket itu dikerjakan pada periode 2020-2024 dengan total nilai proyek mencapai Rp 28 triliun. Kemudian, pemerintah menurunkan anggaran sebesar Rp 10,2 triliun dengan catatan proyek diselesaikan pada 2021.
Namun, pada akhir 2021, target tersebut tidak tercapai sehingga Kemenkominfo meminta perpanjangan waktu hingga Maret 2022 dengan alasan pandemi Covid-19. Dari target sebanyak 4.200 menara, baru 1.100 unit yang dilaporkan terbangun dan setelah dilakukan pengecekan melalui satelit, menara yang terbangun baru 985 unit.
Menurut Pratama, kasus hukum korupsi proyek BTS 4G yang menjerat menteri Kominfo Johnny G Plate akan berdampak terhadap kegiatan implementasi program tersebut. Sebab, bisa saja pembangunan akan dihentikan sementara selama proses hukum sedang berjalan.
"Apapun hasil keputusan sidang nanti, diharapkan proyek Bakti Kominfo ini akan tetap dilanjutkan karena kebutuhan masyarakat terhadap akses telekomunikasi terutama untuk masyarakat yang tinggal di daerah 3T," ucap Pratama.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, adanya kasus tersebut juga menghambat perkembangan potensi pertumbuhan ekonomi baru. Padahal, pembangunan infrastruktur ini bertujuan memeratakan kesenjangan digital.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, lapangan usaha informasi dan komunikasi atas dasar harga berlaku (ADHB) berkontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 812,8 triliun sepanjang tahun 2022. Sementara penetrasi atau jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini telah mencapai 76,8 persen dan diproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia dapat mencapai 315 miliar dollar AS pada tahun 2030.