Menkominfo dan Masa Depan Telekomunikasi Indonesia
Perlu ada kedewasaan dalam menyikapi perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia. Tidak penting jargon seolah-olah heroik ”berbakti untuk negeri”, tetapi nyatanya lagi-lagi korupsi. Butuh orang-orang berintegritas.
Johnny Gerard Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek Bakti Kemenkominfo. Kerugian negara diprediksi Rp 8 triliun. Kasus ini menjadi ironi di tengah semangat Indonesia menjadi ”hub” telekomunikasi global.
Industri telekomunikasi Indonesia adalah salah satu yang mengalami perkembangan paling pesat di Asia. Sektor komunikasi dan informasi berkontribusi Rp 748,75 triliun terhadap produk domestik bruto (PDB).
Tidak mengherankan jika banyak pihak yang ingin menangguk keuntungan dari bisnis ini. Karut-marut implementasi kebijakan dan banyaknya pihak yang bermain dalam setiap tahapan perencanaan proyek telekomunikasi di Indonesia menjadi celah masuknya praktik kriminal.
Sebagai regulator dan operator kebijakan, tidak semestinya Menkominfo mengambil keuntungan dari situasi ini.
Baca juga : Pembangunan Menara BTS dan Jejak Korupsi Menteri Johnny G Plate
Kasus besar
Menkominfo terjerat kasus Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo, yaitu usaha percepatan pembangunan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Pada sebuah rilis Kemenkominfo tahun 2021, mengutip Menkominfo Johnny Plate, ”Merupakan tugas Bakti untuk berbakti kepada negeri di mana pembangunan ditargetkan akan tuntas pada awal 2023 melalui pembangunan base transceiver station (BTS).”
Dalam perencanaan, Kemenkominfo menargetkan membangun 4.200 menara BTS. Tampaknya program inilah yang mengantar masalah berikutnya. Hasil audit BPKP mengisyaratkan ada kerugian negara yang besar dari penggunaan dana Bakti Kemenkominfo yang terdiri dari penyusunan kajian pendukung, mark up (penggelembungan) harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun.
Jika terbukti bersalah, Menkominfo jelas telah mengkhianati semangat ”berbakti untuk negeri”. Lebih dari itu, Menkominfo juga telah menggembosi usaha peningkatan kualitas telekomunikasi Indonesia di tengah kompetisi teknologi komunikasi global yang masif.
Ketertinggalan Indonesia
Indonesia saat ini berusaha mengatasi ketertinggalan dalam pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dunia. Menurut analisis lembaga Global Monitor, terdapat ekspansi besar-besaran dalam investasi infrastruktur telekomunikasi di Indonesia pada rentang 2019-2023.
Peningkatan minat akses digital, terutama melalui perangkat bergerak, telah membuat operator telekomunikasi bergerak menambah jaringan nirkabel dan infrastruktur di wilayah-wilayah yang dahulu tidak terjangkau.
Besarnya investasi dan pembangunan infrastruktur masih perlu ditingkatkan. Indonesia adalah negara kepulauan yang penduduknya tidak hanya terkonsentrasi di pulau-pulau besar. Minat konsumen yang tinggi telah mengalahkan kesiapan sarana yang ada, terutama pada wilayah-wilayah yang tidak terjangkau, seperti pulau-pulau kecil yang tersebar di wilayah perairan Indonesia.
Karena tidak cukup dijangkau oleh BTS dan jaringan kabel serat optik, wilayah-wilayah pulau dan pedalaman menjadi blank spot. Seluruh wilayah Indonesia harus terhubung dengan baik melalui teknologi komunikasi yang tepercaya dan mampu melayani dengan baik.
Membangun BTS di wilayah 3T adalah solusi Kemenkominfo memastikan layanan telekomunikasi dapat diakses oleh semua orang.
Teknologi yang menunggu
Membangun BTS di wilayah 3T adalah solusi Kemenkominfo memastikan layanan telekomunikasi dapat diakses oleh semua orang. Kita juga mengetahui pada tahun-tahun sebelumnya Kemenkominfo juga mempunyai program Internet Masuk Desa. Usaha mengikuti tren telekomunikasi global dengan infrastruktur 5G juga telah dilakukan.
Pemanfaatan teknologi lain, yaitu dengan pemakaian satelit untuk pertukaran data digital, navigasi, pemantauan cuaca, lingkungan, serta surveilans wilayah perairan dan kehutanan, menjadi hal yang wajar dilakukan di Indonesia.
Sementara penggunaan small satellite (smallsat) menjadi bagian dari usaha komunitas global dalam memberikan akses komunikasi terhadap wilayah-wilayah terpencil. Sayangnya, Indonesia belum memanfaatkan dengan maksimal teknologi ini. Pemerintah menyiapkan operasional satelit besar HBS dan Satria pada 2023.
infografik halaman 10 satelit republik indonesia (satria)
Namun, peluang pemanfaatan smallsat di Indonesia masih jauh dari angan meski Indonesia telah sukses mengembangkan satelit-satelit kecil, seperti Lapan-A-1, Lapan-A-2, dan Lapan-A-3, serta secara independen telah dilakukan peluncuran satelit kecil oleh mahasiswa Indonesia pada Januari 2023 dengan nama Surya Satellite-1 (SS-1).
Dalam pertemuan PBB dengan tajuk ”UN Sub-committee on The Peaceful Use of Space (LSC-COPUOS)”, perwakilan Pemerintah Indonesia dengan bangga memperkenalkan smallsat ini dan menekankan bahwa Indonesia berkomitmen bekerja sama dalam pembuatan aturan internasional dalam operasional satelit kecil. Komitmen ini perlu dihargai sebagai usaha membuat telekomunikasi di Indonesia tumbuh dan melayani masyarakat.
Sementara secara komersial, teknologi smallsat sudah dikembangkan oleh perusahaan seperti Hiber, Planet (SkySat, Planetscope), Astrocat, Capella Space, dan SpaceX (Starlink). SpaceX bahkan secara agresif memasarkan akses satelit khusus untuk konsumen rumahan di wilayah terpencil yang laris dikonsumsi di Australia dan Selandia Baru.
Baca juga : Peluncuran Satelit Satria Mempercepat Transformasi Digital Indonesia
Starlink memanfaatkan smallsat yang mengorbit 550 kilometer di atas Bumi dan mengeklaim dapat mentransportasikan data lebih cepat daripada satelit besar yang berada lebih jauh di atasnya. Starlink melakukan konstelasi ribuan satelit kecil pada orbit dekat. Dengan begitu, Starlink dapat melayani wilayah-wilayah terpencil yang selama ini tidak mendapatkan akses.
Indonesia seharusnya dapat mengembangkan dan mengoperasikan teknologi semacam ini untuk dapat memperbesar akses bagi penduduk di wilayah terpencil dan kepulauan.
Kemauan politik
Namun, harapan untuk dapat terhubung di mana pun di Indonesia tampaknya masih harus menunggu. Tidak tampak diskusi yang bernas terkait penggunaan teknologi komunikasi di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun lembaga terkait. Yang ada malah Lapan diintegrasikan ke BRIN dengan tidak lagi terlihat peran sentralnya.
Ilmuwan antariksa dan satelit juga kesulitan menyampaikan ide-ide besar terkait telekomunikasi Indonesia yang lebih berdaya. Mungkin masalah telekomunikasi di Indonesia malah dijadikan materi bagi politisi untuk menakut-nakuti terkait keamanan data dan kedaulatan bangsa.
Akhirnya, teknologi komunikasi hanya menjadi sarana membangun nasionalisme semu yang menolak kehadiran teknologi ”asing” yang merusak identitas bangsa.
Perlu ada kedewasaan dalam menyikapi perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia. Tidak penting jargon seolah-olah heroik ”berbakti untuk negeri”, tetapi nyatanya lagi-lagi korupsi.
Masa depan telekomunikasi Indonesia perlu diurus oleh orang-orang yang berintegritas, yang sadar bahwa teknologi itu senantiasa berkembang dan setiap bangsa harus dapat beradaptasi dan memanfaatkan teknologi tersebut untuk kepentingan bersama.
Irfan WahyudiWakil Dekan III FISIP Universitas Airlangga Bidang Riset, Kerja Sama dan Internasionalisasi