Keberadaan kartel yang mengontrol harga minyak goreng tidak terbukti. Kenaikan harga saat periode kelangkaan minyak goreng merupakan respons perusahaan atas kenaikan harga bahan baku.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Polemik kelangkaan minyak goreng kemasan yang terjadi sejak tahun 2021 hingga pertengahan tahun 2022 akhirnya menemukan titik terang. Keberadaan kartel minyak goreng kemasan diputus tidak terbukti oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU. Meskipun demikian, putusan Majelis Komisi diwarnai perbedaan pendapat.
Kartel yang dimaksud adalah tindakan persekutuan antarpelaku usaha tertentu untuk mengendalikan produksi dan harga. Sebanyak 27 perusahaan produsen minyak goreng diduga terlibat dalam hal tersebut. Mereka diduga melanggar Pasal 5 Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Adapun Pasal 5 UU No 5/1999 menjelaskan hal terkait dengan penetapan harga. Dalam hal ini, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga suatu barang atau jasa yang harus dibayar konsumen pada pasar yang sama.
”Seluruh terlapor (27 perusahaan produsen minyak goreng) tidak terbukti melanggar Pasal 5 UU No 5/1999,” ujar Ketua Majelis Komisi Dinni Melanie saat membacakan putusan perkara 15/KPPU-I/2022 di Ruang Sidang I KPPU, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Saat membacakan putusan perkara, Dinni didampingi anggota Majelis Komisi, Guntur Syahputra Saragih dan Ukay Karyadi. Perkara ini merupakan inisiatif KPPU yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran 27 perusahaan produsen minyak goreng pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022.
Majelis Komisi menemukan harga bahan baku (input) dan harga produk (output) minyak goreng lebih besar saat periode pelanggaran ketimbang sebelum pelanggaran. Ini menunjukan bahwa kenaikan harga minyak goreng saat periode pelanggaran terjadi akibat adanya kenaikan harga bahan baku, sehingga margin keuntungan yang diperoleh menjadi semakin kecil.
Pada 2021, ke-27 perusahaan itu menjual 3,04 miliar kilogram minyak goreng secara nasional. Empat perusahaan atau kelompok usaha (CR4) di antaranya menguasai 71,52 persen pangsa pasar Indonesia. Pada kategori CR8 (delapan perusahaan atau kelompok usaha), bahkan mendominasi 95,09 persen pasar.
Margin keuntungan yang kecil memaksa perusahaan untuk menaikkan harga minyak goreng. Dalam pertimbangannya, KPPU tetap memperhatikan keberatan yang dilayangkan 10 perusahaan. Keberatan tersebut di antaranya pemeriksaan KPPU merupakan langkah yang cacat formil, prematur, dipaksakan, dan tidak disertai bukti kuat.
Selain itu, KPPU juga mempertimbangkan temuan investigator, keterangan saksi dan ahli. KPPU juga mengakui bahwa pihaknya tidak memiliki bukti langsung (hard evidence) dalam pemeriksaan. Meskipun demikian, bukti dapat dikumpulkan secara tidak langsung (indirect evidence) yang berasal dari bukti ekonomi dan komunikasi.
Guntur Syahputra Saragih menjelaskan, bukti ekonomi dikumpulkan melalui hubungan afiliasi antarperusahaan dengan analisis doktrin satu kesatuan ekonomi (single economic entity doctrine). Dalam konteks ini, KPPU melihat hubungan induk dan anak perusahaan. Selanjutnya, KPPU menghitung konsentrasi pasar dengan mempertimbangkan jumlah pelaku–bisa kelompok–usaha dalam pasar yang sama.
Pada 2021, ke-27 perusahaan itu menjual 3,04 miliar kilogram minyak goreng secara nasional. Empat perusahaan atau kelompok usaha (CR4) di antaranya menguasai 71,52 persen pangsa pasar Indonesia. Pada kategori CR8 (delapan perusahaan atau kelompok usaha), bahkan mendominasi 95,09 persen pasar.
”Majelis Komisi menyimpulkan bahwa struktur pasar dalam industri minyak goreng adalah oligopoli ketat dengan konsentrasi pasar tinggi. Mereka memiliki produk yang bersifat homogen dan pangsa pasar yang saling berkaitan,” ucap Guntur.
Dalam pengambilan keputusan perkara dugaan pelanggaran, Majelis Komisi tidak mencapai mufakat. Sebab, Ukay Karyadi berpendapat bahwa seluruh perusahaan produsen minyak goreng melanggar UU No 5/1999. Bagi dia, para pelaku usaha hanya memperhatikan kepentingan individu tanpa melihat dampak yang perlu ditanggung masyarakat.
Pada saat periode pelanggaran, para pelaku usaha dinilai menaikkan harga minyak goreng secara signifikan. Hal ini berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan penurunan daya beli. Terlebih, data Badan Pusat Statistik 2021 menunjukkan, minyak goreng berandil 0,31 persen pada inflasi atau tertinggi dalam konteks komoditas.
Selain itu, perilaku para pelaku usaha juga dianggap tidak terlepas dari struktur pasar oligopoli ketat–empat perusahaan/kelompok usaha menguasai lebih dari 60 persen pangsa pasar. Dalam hal ini, mereka tergabung dalam asosiasi sehingga saling mengenal dan cenderung menghindari persaingan agresif.
Kendati tidak terbukti melakukan penetapan harga secara bersama, tujuh perusahaan terbukti melanggar Pasal 19 huruf c UU No 5/1999. KPPU menganggap ketujuh perusahaan tersebut menurunkan volume produksi atau penjualan saat kelangkaan minyak goreng terjadi. Mereka didenda dengan total nilai Rp 71,28 miliar.