Dugaan Praktik Kartel, Korporasi Sawit di Hulu Dapat Ikut Diusut
Industri minyak goreng ibarat sungai yang sudah keruh dari hulu. Usaha menjernihkan air sungai di muara tidak akan efektif jika sumber mata air di hulu sudah keruh.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pengawas Persaingan Usaha melanjutkan pengusutan dugaan praktik kartel minyak goreng ke tahap penyidikan. Penguasaan lahan perkebunan sawit di hulu oleh segelintir kelompok usaha ditengarai ikut mendorong praktik kartel dan menghalangi upaya pengendalian harga minyak goreng di pasaran.
Untuk sementara ini, penyidikan oleh KPPU masih fokus pada dugaan praktik kartel di sektor hilir, yaitu oleh para produsen minyak goreng sawit. Namun, berhubung sejumlah pemain besar minyak goreng itu ikut menguasai sebagian besar lahan perkebunan sawit, upaya penegakan hukum dapat dilanjutkan ke sektor hulu.
”Industri minyak goreng ibarat sungai yang sudah keruh dari hulu. Bagaimanapun usaha kita menjernihkan air sungai di muara tidak akan efektif karena sumber mata airnya di hulu sudah keruh,” ujar Ketua KPPU Ukay Karyadi dalam diskusi virtual, Selasa (31/5/2022).
KPPU mencatat, ada ketimpangan besar atas penguasaan lahan perkebunan sawit di hulu. Pada tahun 2019, sebanyak 54,42 persen luas perkebunan sawit dikuasai oleh 0,07 persen korporasi sawit swasta. Lahan perkebunan sawit itu sebagian besar dikuasai oleh lima pemain besar.
Grup Sinar Mas memiliki 3 pabrik minyak goreng dan 21 usaha perkebunan sawit, Grup Wilmar memiliki 7 pabrik minyak goreng dan 11 usaha perkebunan sawit, Grup Royal Golden Eagle (RGE) memiliki 4 pabrik minyak goreng dan 30 usaha perkebunan sawit, Grup Musim Mas memiliki 8 pabrik minyak goreng dan 2 usaha perkebunan sawit, serta Grup Indofood memiliki 1 pabrik minyak goreng dan 24 usaha perkebunan sawit.
Ukay mengatakan, sektor hulu yang dikuasai segelintir kelompok usaha itu akan memunculkan entry barrier atau hambatan bagi pemain baru serta memperkuat indikasi permainan kartel. Oleh karena itu, KPPU mendorong agar perizinan penguasaan lahan perkebunan sawit dibatasi dan tidak dikuasai oleh kelompok usaha tertentu.
”Saat ini penegakan hukum baru sampai di industri minyak goreng, belum sampai ke industri CPO (crude palm oil/minyak sawit mentah). Tetapi, dalam perkembangannya, kalau di hulu juga ditemukan problem persaingan usaha, kami akan masuk ke wilayah itu juga,” kata Ukay.
Bagaimanapun usaha kita menjernihkan air sungai di muara tidak akan efektif karena sumber mata airnya di hulu sudah keruh.
Pembatasan izin
Menurut Direktur Kebijakan Persaingan KPPU Marcellina Nuring, belum ada regulasi yang tegas mengatur pembatasan izin penguasaan lahan perkebunan sawit di hulu. Undang-undang yang ada saat ini justru saling bertolak belakang.
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan sebenarnya mengamanatkan adanya pembatasan kepemilikan untuk tanah. Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 (turunan UU Cipta Kerja) tidak mengatur pembatasan luasan atas hak atas tanah, termasuk hak guna usaha (HGU).
Pengaturan pembatasan luas lahan perkebunan berdasarkan izin usaha sebenarnya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Izin Usaha Perkebunan, tetapi tidak dilaksanakan. Pasalnya, lima kelompok usaha yang menguasai industri minyak goreng saat ini memiliki luasan lahan sawit melebihi ketentuan yang diatur dalam peraturan menteri pertanian itu.
Pemerintah pun diharapkan segera merealisasikan rencana untuk mengaudit, menata, dan menertibkan penguasaan lahan sawit dari hulu-hilir. ”Perlu ada pengaturan pembatasan penguasaan lahan berupa HGU dan IUP (izin usaha perkebunan) oleh kelompok usaha. Jika tidak, akan muncul ketimpangan dan persoalan persaingan usaha terkait penguasaan lahan serta kontrol di sisi hilir produk,” kata Nuring.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan audit terhadap perusahaan minyak kelapa sawit dan akan meminta perusahaan di hulu untuk membangun kantor pusat di Indonesia. Audit akan dilakukan untuk mengidentifikasi bisnis sawit, dari luasan kebun, produksi, hingga lokasi kantor pusat.
Pada tahun 2019, sebanyak 54,42 persen luas perkebunan sawit dikuasai oleh 0,07 persen korporasi sawit swasta. Lahan perkebunan sawit itu sebagian besar dikuasai oleh lima pemain besar.
Pemanggilan
Terkait perkembangan penyidikan, Direktur Investigasi KPPU Gopprera Panggabean mengatakan, pada tahap penyelidikan, pihaknya sebelumnya sudah memanggil 41 pihak yang terdiri dari produsen minyak goreng, distributor, asosiasi, perusahaan pengemas, dan pemerintah (Kementerian Perdagangan). Sebanyak 27 pihak sudah memenuhi panggilan.
KPPU telah menjadwalkan pemanggilan ulang selama seminggu ke depan untuk mendalami dugaan pelanggaran Pasal 5, 11, dan 19 Huruf C UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pasal-pasal itu mengatur tentang praktik kartel, kesepakatan penetapan harga, perjanjian untuk memengaruhi harga dan pengaturan produksi, serta pembatasan peredaran dan penjualan barang/jasa.
Gopprera menyebutkan, KPPU masih memiliki waktu sampai 5 Juli 2022 untuk menjalankan penyidikan. Sejauh ini sudah terkumpul satu alat bukti. ”Kalau sudah ada minimal dua alat bukti, penyidikan bisa dilanjutkan ke tahap pemberkasan. Namun, kalau masih ada data yang diperlukan, penyidikan bisa diperpanjang,” katanya.
Ada beberapa perilaku yang menguatkan dugaan praktik kartel di kalangan produsen minyak goreng. Misalnya, pasokan minyak goreng yang timbul tenggelam di pasaran sebelum dan sesudah kebijakan harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan pada awal tahun ini.
Selain itu, harga minyak goreng curah yang tak kunjung mencapai HET meskipun program minyak goreng bersubsidi sudah dijalankan. Indikasi lainnya adalah harga minyak goreng curah yang tidak turun ke level HET meski harga CPO dan harga tandan buah segar menurun pascalarangan ekspor CPO tempo hari.
”Kami akan menyimpulkan setelah semua data terkumpul. Ada tidaknya indikasi pelanggaran akan tecermin dari laporan keuangan para pelaku usaha,” kata Gopprera.