Minyak Goreng: di Hulu Mereguk Untung, di Hilir Jadi ”Candu”
Krisis minyak goreng merupakan akumulasi dari sengkarut permasalahan di hulu yang memengaruhi kondisi di hilir. Selama ini tidak ada kontrol dan regulasi ketat terhadap industri minyak sawit di Indonesia.
Oleh
FADLY RAHMAN
·6 menit baca
Minyak goreng masih menjadi masalah yang terus diperbincangkan. Kehadiran kembali produk minyak berbahan kelapa sawit ini di pasaran dengan harga melambung tinggi setelah sempat langka memunculkan polemik siapa dalang di balik ini semua? Bagi kebanyakan kaum ibu, mereka tidak ambil pusing apakah kejahatan mafia pangan ini bakal terungkap atau tidak. Keinginan mereka tidak muluk-muluk: minyak goreng tersedia dengan harga kembali murah!
Ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap produk minyak goreng bahkan telah membuat seorang negarawan, seperti Megawati Soekarnoputri, angkat bicara. Ia sampai mengelus dada melihat para ibu yang mengantre minyak goreng tatkala bahan pokok rumah tangga ini sempat langka di pasaran. Sebagai sosok ibu yang mengerti urusan dapur, ia menganjurkan agar ibu-ibu mengolah makanan dengan cara direbus dan dikukus, alih-alih menggoreng makanan setiap hari.
Pernyataan Megawati itu memiliki kaitan historis dengan kebijakan politik ayahnya, Sukarno, yang mana pada periode 1950-an hingga 1960-an menaruh perhatian terhadap upaya memperbaiki kondisi pangan nasional. Namun, dalam konteks minyak goreng saat ini, pernyataan mantan presiden ke-5 itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Persoalan terkait minyak goreng lebih merupakan akumulasi dari sengkarut permasalahan di hulu (baca: industri pangan) yang memengaruhi kondisi di hilir (baca: konsumsi).
Hal yang minim disadari oleh publik dari tingginya kebutuhan terhadap minyak goreng adalah hubungan produk ini dengan kelapa sawit (Elaeis guineensis) sebagai bahan bakunya. Anggapan umum bahwa minyak goreng yang dijual di pasaran berasal dari bahan kelapa (Cocos nucifera L) merupakan sisa-sisa dari ingatan kolektif masyarakat Indonesia terhadap minyak berbahan kelapa (klentik/kletik) yang banyak digunakan dalam tradisi memasak sejak masa kuno.
Secara historis, bibit kelapa sawit berasal dari Afrika Barat dan Tengah. Tanaman palma ini mulai dibudidayakan di Indonesia pada medio abad ke-19 sebagai bagian dari eksperimen botani di Plantentuin Buitenzorg (kini Kebun Raya Bogor).
Eksperimen ini didukung oleh pemerintah Hindia Belanda karena melihat prospek profit yang besar dari tingginya permintaan para pengusaha industri di Eropa terhadap minyak sebagai efek dari Revolusi Industri pada akhir abad ke-18. Setelah beberapa kali gagal melakukan eksperimen penanaman di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera, barulah pada awal abad ke-20 kelapa sawit berhasil menjadi produk komoditas ekspor dengan ditandai pembukaan secara luas perkebunan tanaman ini di Sumatera Utara dan Aceh.
Pada masa pendudukan Jepang hingga awal kemerdekaan, industri kelapa sawit kurang mendapat perhatian. Baru pada masa jelang pemerintahan Orde Baru, kelapa sawit kembali bangkit. Kebangkitannya diiringi dengan pembukaan hutan untuk lahan tanam kelapa sawit.
Optimisme mulai muncul di kalangan segelintir pengusaha perkebunan yang menilai secara ekonomi kelapa sawit mempunyai prospek bagus. Dalam majalah Perusahaan Negara terbitan 1964, dalam artikel bertajuk ”Orang Indonesia Pertama, Buka Hutan dan Menanam Kelapa Sawit”, pengusaha kelapa sawit A Moeis Nasution mengatakan: ”… faedah kelapa sawit banjak sekali, terutama guna minjak2, sabun dan lain2 dan salah satu produksi jang baik sekali untuk eksport, terutama ke Eropah Barat”.
Apa yang dinyatakan pengusaha sawit pertama itu memang kian terasa pada dekade 1970-an. Kelapa sawit berkembang pesat menjadi komoditas primadona dan Indonesia kian menempatkan dirinya sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Dalam riset Tancrède Voituriez, Palm Oil and the Crisis: A Macro View (2001), sepanjang tahun 1978-1991 terjadi fluktuasi harga CPO dunia. Pemerintah Indonesia menetapkan harga domestik CPO demi melindungi konsumen dalam negeri.
Riset Voituriez membuka fakta betapa bisnis kelapa sawit telah memberikan banyak keuntungan di hulu bagi para pengusahanya.
Minyak sawit disalurkan melalui Bulog ke beberapa perusahaan besar pengolah yang diharapkan dapat menyediakan produk minyak goreng untuk pasar domestik dengan ”harga wajar, stabil, dan murah”. Tidak heran produk-produk minyak goreng membanjiri pasaran di seluruh negeri. Setelah pasokan untuk pasar domestik tercukupi, barulah CPO diekspor ke Eropa.
Riset Voituriez membuka fakta betapa bisnis kelapa sawit telah memberikan banyak keuntungan di hulu bagi para pengusahanya. Selain sebagai bahan biofuel, sumber keuntungan juga direguk dari minyak goreng sebagai jenis olahan sawit yang produknya mengalir luas ke hilir dan dalam setengah abad telah menjadi bahan pokok memasak di lingkungan rumah tangga Indonesia.
Di hilir
Suplai minyak sawit yang melimpah menyebabkan produk minyak goreng kian meramaikan pasar domestik sejak awal 1990-an. Iklan-iklan minyak goreng ternama banyak menampang di media massa. Para bintang iklannya adalah pesohor publik mulai dari artis hingga chef. Jika menilik tagline manis iklan-iklan minyak goreng yang penuh bujuk rayu (semisal bening, sehat, lezat, dan bergizi), setidaknya dapat dicerna bagaimana ke hilir industri minyak sawit begitu bebas bermain. Belum lagi berbagai promo dan undian berhadiah dari produk-produk minyak goreng ternama menggoda masyarakat yang tanpa sadar menjadikan minyak goreng sebagai pilihan utama dalam memasak.
Tidak adanya kontrol dan regulasi ketat dari pemerintah terhadap industri minyak sawit di Indonesia sebagai negeri yang memiliki kekayaan khazanah kuliner, jelas hal ini sungguh ironis. Dalam berbagai studi, seperti salah satunya dilakukan oleh Mark Lawrence, Food Fortification: The Evidence, Ethics, and Politics of Adding Nutrients to Food (2013), dinyatakan bahwa absennya kontrol dan longgarnya regulasi terhadap industri makanan jelas dapat mengganggu sistem makanan lokal dan tradisi kuliner dalam budaya masyarakat.
Hal tersebut sangat relevan dengan konteks yang terjadi dalam budaya kuliner Indonesia. Ketika telah menjadi ”candu”, minyak goreng sawit secara perlahan tetapi nyata telah ”mematikan” warisan kuliner yang selama berabad-abad lamanya mengandung berbagai khazanah teknik memasak alternatif tanpa menggunakan minyak (seperti mengukus, merebus, memepes, baceman, membakar, menyemur, memanggang, dan menyangrai).
Dari setiap liter minyak goreng yang dibeli dan digunakan sebagai kebutuhan memasak dalam rumah-rumah tangga di Indonesia nyaris tidak banyak disadari oleh masyarakat dampak kelapa sawit terhadap lingkungan. Dalam laporan Forest Watch Indonesia & Global Forest Watch (2002), jika dibandingkan dengan kondisi pada awal abad ke-20, luas kawasan hutan Indonesia masih 84 persen (atau berkisar 170 juta hektar) dari total luas daratan. Namun, sejak 1970-an lahan hutan Indonesia terus menyusut drastis akibat alih fungsi lahan yang di antaranya berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Hingga akhir abad ke-20, area hutan Indonesia kurang dari 100 juta hektar.
Ketika di hilir minyak goreng telah menjadi candu, di balik itu berbagai dampak yang terjadi di hulu sangat mencemaskan. Deforestasi telah menyebabkan berbagai pencemaran lingkungan serta terancam punahnya orangutan dan spesies lainnya. Selain kerusakan alam, ancaman terhadap kondisi sosial dan budaya juga sungguh serius. Akibat alih fungsi lahan, komunitas-komunitas adat terusir dari tanah ulayatnya serta terjadi konflik-konflik lokal disertai berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Memotong kebusukan
Isu krisis minyak goreng yang selama ini terlalu banyak mengalir di hilir hendaknya lebih banyak dinarasikan secara holistik oleh sejumlah pihak (mulai dari pemerintah, media, akademisi, hingga aktivis) dengan memperlihatkan hubungannya dengan kondisi di hulu. Selain perlu itikad serius dan kebijakan tegas pemerintah untuk menerapkan kontrol dan regulasi ketat terhadap industri kelapa sawit, program terpadu edukasi kuliner terhadap publik juga perlu diterapkan untuk secara bertahap mengurangi penggunaan minyak goreng dalam kebutuhan domestik sehari-hari.
Selama beberapa dekade, absennya edukasi terhadap konsumen tanpa disadari telah mereduksi kelestarian pengetahuan terhadap pangan dan kuliner Indonesia. Keresahan para ibu atas kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng adalah akumulasi dari telah membusuknya masalah mata rantai pangan kita di hulu. Dus, jika ingin membenahi kebusukan di balik masalah minyak goreng ini tidak cukup menasihati ibu-ibu yang sejatinya adalah korban kejahatan industri pangan.
Filsuf Cicero pernah berkata: ”Piscis primum a capite foetat”, ikan membusuk mulai dari kepala. Pun untuk membenahi masalah minyak goreng ini, harus memotong segala kebusukan di hulunya.
Fadly Rahman, Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran