Transisi Energi Jadi Momentum Pemerataan Pembangunan
Transisi menuju energi bersih sebagai upaya mencapai ”net zero emission” diharapkan dapat dinikmati masyarakat luas. Melalui pendekatan ”bottom-up”, transisi tersebut bisa dilakukan secara merata.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Para pembicara dalam forum diskusi bertajuk "Identifikasi Tantangan dan Peluang Aspek Regulasi Nasional dan Daerah dalam Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia”, di The Habibie & Ainun Library, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Masa transisi dari energi fosil menjadi momen krusial bagi pemerintah dalam menentukan arah kebijakan. Proses menuju energi baru dan terbarukan atau EBT diharapkan dapat mensejahterakan masyarakat dalam pemerataan pembangunan.
Dalam mencapai net zero emission (NZE) atau nol emisi karbon pada tahun 2060, pemerintah menekan emisi yang dihasilkan dari berbagai aktivitas. Salah satunya dengan transisi dari energi fosil ke energi bersih. Pada tahun 2022, tingkat bauran EBT mencapai 12,3 persen dari target yang harus dicapai sebesar 15,7 persen.
Direktur Eksekutif The Habibie Center Mohammad Hasan Ansori menyebut, masa transisi energi adalah momentum krusial sekaligus strategis untuk mulai mendesain ekosistem EBT secara bottom-up atau dari bawah ke atas. Dengan konsep pembangunan tersebut, kebutuhan masyarakat dapat terakomodasi melalui partisipasi aktif dalam menentukan arah kebijakan pembangunan.
"EBT tidak hanya sebagai komoditas yang menguntungkan private sector atau pengusaha untuk mengakumulasi modal seperti pada energi fosil. Oleh sebab itu, pemerataan di daerah-daerah perlu dipastikan sehingga masyarakat bisa menikmatinya dengan mendapat energi yang murah. Itulah konsep desentralisasi atau demokrasi energi, tidak lagi jawasentris," ujarnya di The Habibie & Ainun Library, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023).
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Truk mengangkut tanah untuk menguruk area rawa dan tambak menjadi lahan pembangunan pabrik di kawasan industri, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (22/5/2023).
Menurut Ansor, energi selama ini hanya untuk kepentingan kapitalisme. Padahal, energi harus dikembangkan untuk perbaikan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33. Pasal tersebut berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pada triwulan I-2023, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,03 persen. Selain disokong oleh tingkat konsumsi rumah tangga, pertumbuhan ekonomi turut ditopang oleh nilai ekspor yang tumbuh sebesar 11,68 persen pada triwulan I-2023 atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor pada triwulan IV-2022 sebesar 9,26 persen.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS) Moh Edy Mahmud mengatakan, peningkatan ekspor terutama disebabkan oleh permintaan global yang masih tinggi terhadap komoditas nonmigas, seperti bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, besi baja, serta nikel (Kompas.id, 5/5/2023).
Masyarakat itu jangan dijadikan obyek tapi subyek pembangunan. EBT secara ekonomi juga dapat meningkatkan masyarakat kelas bawah, bukannya dijadikan sebagai komoditas untuk memperkaya kapital.
Asnor menjelaskan, pencapaian tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang saja sehingga terciptalah gap antara kelas menengah ke bawah dan kelas menengah atas. BPS mencatat, Kontribusi pembentukan PDB nasional dengan nilai PDB atas dasar harga berlaku pada tahun 2022 sebesar Rp 19.588,4 triliun yang separuh lebih disokong oleh Pulau Jawa sebesar 56,48 persen disusul dengan Sumatera sebesar 22,04 persen.
"Kita harus memastikan supaya tidak terjadi gap seperti itu lagi. Segala keputusan terkait EBT harus melibatkan masyarakat. Inilah semangat transisi berkeadilan sekaligus tantangan besar untuk wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Selain itu, transisi energi diharapkan berjalan secara inklusif dan transparan. Inklusif artinya, proses pengembangan EBT harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Sementara transparan harus jelas arah tujuannya, pendanaan, dan ditujukan untuk siapa.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Teknisi merawat panel surya yang terpasang di atap gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (5/5/2023).
Salah satu penerapan kebijakan secara bottom-up, lanjut Ansor, adalah dengan melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan. Menurut Ansir, pemerintah kini mulai sadar untuk menerapkan kebijakan tersebut dengan mulai melakukan analisis lingkungan, analisis sosial, dan dampak terhadap masyarakat.
"Masyarakat itu jangan dijadikan objek tapi subjek pembangunan. EBT secara ekonomi juga dapat meningkatkan masyarakat kelas bawah, bukannya dijadikan sebagai komoditas untuk memperkaya kapital," lanjut Ansor.
Indonesia memiliki potensi yang besar untuk mengembangkan EBT, yakni sebesar 3.689 giga watt (GW). Dari jumlah tersebut, potensi yang dimanfaatkan baru sekitar 12.602 mega watt (MW) atau sekitar 2 persen.
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan, masih tersedia potensi yang besar untuk dimanfaatkan. Untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2025, diperlukan kolaborasi antarpemangku kepentingan.
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mempresentasikan tantangan transisi energi dalam forum diskusi bertajuk "Identifikasi Tantangan dan Peluang Aspek Regulasi Nasional dan Daerah dalam Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia”, di The Habibie & Ainun Library, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023).
"Persoalan di seluruh dunia adalah bagaimana akses terhadap teknologi dengan pemberian akses yang merata. Tidak membuat negara berkembang, seperti Indonesia, dimanfaatkan oleh negara maju untuk hanya jualan teknologi. Termasuk juga dalam hal investasi, yakni keterbukaan akses terhadap pendanaan," ujarnya dalam forum diskusi bertajuk "Identifikasi Tantangan dan Peluang Aspek Regulasi Nasional dan Daerah dalam Mendukung Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia”, di The Habibie & Ainun Library, Jakarta Pusat.
Sebelumya, Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Trois Dilisusendi, dalam diskusi daring pada Rabu (17/5/2023), menyebut, nilai investasi yang dibutuhkan untuk mencapai NZE pada 2060 sebesar 1.108 miliar dollar AS atau rata-rata per tahun 28,5 miliar dollar AS. Namun, realisasi per tahun 2022, baru di angka 1,55 miliar dollar AS.
Sustainable Energy Researcher dan Program Manager Renewable Energy Trend Asia Beyrra Triasdian menyebut, pendanaan terhadap energi fosil masih lebih tinggi dibandingkan dengan pendanaan EBT. Di sisi lain, rencana untuk memensiunkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara pada tahun 2050 perlu diperlakukan secara menyeluruh.
"Sebaiknya kebijakan tersebut juga berlaku untuk PLTU milik swasta. Meski dibilang sudah ada yang dipensiunkan, tapi kita tidak tahu ada berapa yang dibangun atau kontraknya diperpanjang," ujarnya.