Transparansi kontrak jual beli listrik perlu didorong agar ada kepastian mengenai jangka waktu, khususnya yang bersumber dari energi fosil. Akses yang terbuka membuat upaya transisi energi Indonesia terpantau baik.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Petugas dari Tim Recovery PLN memulihkan jaringan listrik di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (18/1/2021). PLN secara bertahap memenuhi kebutuhan pasokan listrik di beberapa lokasi vital hingga posko pengungsian dan penerangan jalan umum di lokasi yang terdampak gempa.
JAKARTA, KOMPAS —Keterbukaan informasi skema jual beli listrik di Indonesia diperlukan agar perkembangan transisi energi menuju energi terbarukan dapat dipantau dengan baik. Minimnya akses juga dapat menghambat upaya pendanaan yang berpotensi masuk ke Indonesia.
Peneliti energi terbarukan Damar Pranadi menjelaskan, skema jual beli listrik yang umum digunakan di Indonesia adalah pembelian listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) selaku penyalur listrik ke masyarakat, dengan produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). Kegiatan usaha dilakukan berdasarkan kontrak perjanjian jual beli listrik (PJBL) antara kedua pihak.
Dalam pembuatan kontrak PJBL, terdapat beberapa klausul, seperti harga listrik yang dibeli, hak kewajiban, alokasi risiko, jangka waktu operasional pembangkit, kapasitas produksi, dan juga klausul teknis maupun legal dan komersial. Secara lengkap hal tersebut terdapat pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik dan Peraturan Direktur PLN No 62/2020 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Asap membubung dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Barat 2 atau yang dikenal dengan PLTU Pelabuhan Ragu yang terletak Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023).
Akan tetapi, terdapat hambatan untuk memantau isi klausul PJBL, terutama yang berkaitan dengan kepentingan publik, karena terbatasnya akses informasi. Padahal, keterbukaan informasi ini penting agar masyarakat dapat mengetahui sejauh mana perkembangan kelistrikan di Indonesia, khususnya mengenai upaya mencapai bauran EBT sebesar 25 persen di tahun 2025.
Menurut dia, diperkirakan dari 540 PJBL hanya 20-50 yang bisa diakses informasinya lewat kanal publik. Dari puluhan kontrak itu, di antaranya juga belum memuat informasi yang lengkap.
”Informasi mengenai PJBL ini bisa memberikan informasi bagi kita, untuk nantinya memberikan masukan kepada pemerintah soal transisi energi kedepannya,” ucapnya di Jakarta, Rabu (26/4/2023).
Minim transparansi PJBL, dikhawatirkan membuat upaya memensiunkan dini PLTU batubara terhambat, karena berpotensi diperpanjang terus kontraknya.
Salah satu muatan kontrak yang perlu menjadi perhatian publik adalah terkait harga listrik, total investasi, mekanisme transaksi, sumber pendanaan, proses pengadaan dan jangka waktu operasional pembangkit listrik terutama dari sumber fosil. Kejelasan mengenai hal tersebut diperlukan untuk menghindari adanya upaya perpanjangan kontrak yang tidak sesuai aturan, khususnya di tengah upaya pemerintah menghentikan operasi lebih dini beberapa pembangkit listrik tenaga fosil.
Berdasarkan aturan pemerintah, PJBL dilaksanakan untuk jangka waktu paling lama 30 tahun. ”Transparansi yang minim ini bisa membuat upaya untuk coal phase out bisa terhambat, karena khawatirnya kontrak bisa terus di-extend,” ucapnya.
Informasi yang tidak utuh mengenai PJBL ini juga bisa menghambat upaya pendanaan transisi energi Indonesia, salah satunya lewat Just Energy Transition Partnership sebesar 20 milliar dollar AS. Pemerintah diharapkan membuat inisiatif keterbukaan informasi agar target emisi nol bersih di tahun 2060 bisa tercapai.
Asas kerahasiaan
Pada awalnya, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030, Indonesia masih akan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebesar 13,8 gigawatt. Namun, rencana ini sudah dihapuskan oleh PLN.
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menerangkan diperlukan adanya fleksibilitas kontrak soal kemampuan pembangkit menghasilkan listrik, khususnya agar adanya kesetaraan antara sumber energi fosil dan EBT. Namun, hal ini sulit dilakukan karena menyangkut aspek hukum, akibat adanya perjanjian yang mengikat mengenai tingkat proporsi listrik yang wajib dibeli PLN.
Dengan masih adanya isu ini, pemerintah memerlukan upaya luar biasa apabila ingin mencapai target tahun 2060, atau lebih awal.
”Biasanya perjanjiannya 80 persen listrik harus dibeli PLN, harapannya bisa dibuat fleksibel jadi 50-60 persen, sisanya bisa diambil dari EBT. Di Jerman praktiknya seperti ini, kapasitasnya bisa di ramping up dan ramping down dengan mudah sesuai kebutuhan,” jelasnya.
Konsultan hukum dari UMBRA Strategic Legal Solutions Kirana Sastrawijaya, berdasarkan Undang-Undang No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, informasi klausul dalam kontrak PJBL tidak dikategorikan sebagai informasi yang bisa dibuka kepada masyarakat luas. Mengenai adanya kesempatan untuk merevisi isi kontrak, hal tersebut dimungkinkan jika adanya persetujuan di antara kedua belah pihak.
Terkait potensi perubahan isi PJBL akibat adanya perubahan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikkan oleh pemerintah, Kirana menyebut, pihak PLN ataupun swasta sudah membuat klausul untuk mengantisipasi perubahan itu.
”Dalam pembuatan kontrak memang ada asas kerahasiaan. Namun, bisa saja klausul di dalamnya dibuka jika ada kesempatan pendanaan. Si pendana nantinya juga akan terikat dengan asas kerahasiaan itu,” ucapnya.