Indonesia dapat memfokuskan hasil dari penerapan mekanisme NEK untuk proyek-proyek pembangunan rendah emisi, seperti energi terbarukan.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan jumlah instrumen nilai ekonomi karbon atau NEK beserta pendapatannya di dunia belum optimal dalam mengompensasi emisi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan kesenjangan infrastruktur dan regulasi dalam menerapkan mekanisme NEK di setiap negara masih menjadi persoalan.
Laporan Bank Dunia berjudul State and Trends of Carbon Pricing 2023 yang dipublikasikan Selasa (23/5/2023) waktu setempat menunjukkan, instrumen NEK (carbon pricing) di dunia yang tercatat per 1 April 2023 mencapai 73 mekanisme. Mekanisme NEK tersebut terdiri dari pajak karbon dan sistem perdagangan emisi (ETS). Pencatatan itu turut mencakup mekanisme yang dijadwalkan akan diimplementasikan pada 2023. Pada tahun lalu, jumlahnya mencapai 68 mekanisme.
Seiring dengan bertambahnya jumlah mekanisme, pendapatan dari instrumen NEK turut meningkat 13,09 persen menjadi sekitar 95 miliar dollar AS pada 2022. Sebanyak 69 persen dari pendapatan itu berasal dari mekanisme ETS dan 31 persen dari pajak karbon. Berdasarkan wilayahnya, pendapatan tersebut paling tinggi berasal dari kawasan Uni Eropa (UE). Peningkatan itu lebih lambat dibanding tahun sebelumnya yang melejit 58,49 persen menjadi sekitar 84 miliar dollar AS.
Selain peningkatan pendapatan yang melambat, laporan tersebut juga menyatakan jumlah cakupan karbon yang dikompensasi oleh instrumen NEK di dunia juga tumbuh terbatas. Sebanyak 73 instrumen NEK tersebut dapat mencakup sekitar 23 persen dari emisi gas rumah kaca di dunia. Kenaikan angka itu tak sampai 1 persen dibanding tahun sebelumnya.
Menurut peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dhenny Yuartha Junifta, pertumbuhan cakupan emisi yang tak signifikan itu mencerminkan kesenjangan infrastruktur dan kerangka regulasi yang masih terjadi antara negara maju dan negara berkembang. ”Negara berkembang menghadapi tantangan terkait keterbatasan infrastruktur dan regulasi (mengenai NEK). Imbasnya, masih banyak sumber emisi yang sulit tercakup (dalam instrumen NEK yang ada),” katanya saat dihubungi, Rabu (24/5/2023).
Selain itu, lanjutnya, data tersebut juga menunjukkan adanya tantangan dalam harmonisasi mekanisme ETS dan pajak karbon antarnegara yang berkaitan dengan permintaan. Apabila permintaan terhadap karbon tinggi, kelebihan kuota karbon di tingkat perusahaan akan semakin sedikit. Dampaknya, harga karbon akan meningkat.
Jumlah instrumen NEK yang sudah beroperasi dan berada di Koridor Harga Karbon 2030 pada laporan 2023 juga lebih rendah. Ada sembilan mekanisme yang harganya berada di rentang koridor tersebut yang berkisar 61-122 per ton karbon dioksida ekuivalen berdasarkan pantauan pada 1 April 2023. Pada pantauan 1 April 2022, terdapat 10 instrumen NEK yang berada di rentang koridor yang berkisar 50-100 per ton karbon dioksida ekuivalen.
Laporan Bank Dunia tersebut juga mencatat rencana perdagangan karbon Indonesia, khususnya di sektor energi, sebagai tambahan instrumen NEK dunia pada aspek ETS. Bank Dunia menilai, sistem perdagangan karbon tersebut mirip dengan yang telah berlangsung di China, yakni berorientasi pada kinerja pembangkit listrik berbasis batu bara beserta emisi yang ditimbulkan. Meskipun demikian, Bank Dunia juga mencatat ditundanya penerapan pajak karbon di Indonesia.
Dhenny menilai, Indonesia dapat memfokuskan hasil dari penerapan mekanisme NEK untuk proyek-proyek pembangunan rendah emisi, seperti energi terbarukan. Selain itu, dalam penyusunan bursa karbon, Indonesia perlu meninjau negara yang struktur perekonomiannya mirip agar tidak mempengaruhi daya saing komoditas ekspor nasional.
Pelaku usaha dan industri turut memprioritaskan pembangunan dengan prinsip-prinsip kelestarian demi mencapai cita-cita emisi nol bersih (net zero). Prioritas itu tercermin dari inisiatif-inisiatif yang diluncurkan ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) yang tengah diketuai Indonesia, seperti pembentukan ASEAN Net Zero Hub dan ASEAN Carbon Center of Excellence.
Ketua ASEAN-BAC sekaligus Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid menyatakan, pembangunan berkelanjutan di ASEAN perlu dilakukan selaras dengan upaya yang tengah berjalan di tingkat global. Langkah ini penting demi menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. ”ASEAN menyumbang sekitar 8 persen emisi karbon global dan termasuk dalam kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim sehingga kita harus ambil tindakan dari sekarang,” tuturnya melalui siaran pers.
Legacy Lead untuk ASEAN Carbon Center of Excellence Dharsono Hartono mengatakan, proyek yang dipimpinnya memfasilitasi pertukaran pengetahuan dan praktik terbaik mengenai perdagangan karbon serta solusi-solusi berbasis alam. Dengan membangun jaringan yang kuat antarpelaku pasar, implementasi ekonomi hijau pun dapat dipromosikan.