Aral Terjal Proyek Telekomunikasi Rural
Dugaan korupsi proyek-proyek pembangunan infrastruktur telekomunikasi untuk daerah rural bukan pertama kali terjadi. Padahal, visi program itu amat mulia, yakni memeratakan akses telekomunikasi ke seluruh wilayah.

Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate meninggalkan Gedung Bundar, Kejaksaan Agung, Jakarta, seusai diperiksa oleh jaksa penyidik, Selasa (14/2/2023).
Proses hukum dugaan korupsi proyek menara pemancar 4G untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar atau 3T berlanjut. Terbaru, kasus ini menyeret mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate sebagai tersangka. Guna menjamin proyek terus berjalan, Pelaksana Tugas Menteri Komunikasi dan Informatika Mahfud MD menyatakan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kini diberi akses mengawasi proyek setelah tidak pernah diberi izin.
Proyek pembangunan menara pemancar telekomunikasi (BTS) 4G untuk daerah 3T itu merupakan gagasan pemerintah. Ketika pandemi Covid-19 memaksa pembatasan sosial, aktivitas masyarakat harus dilakukan secara daring. Kondisinya makin tak mudah bagi masyarakat di sejumlah daerah yang belum atau kurang terjangkau jaringan internet.
Pemerintah lalu berinisiatif mempercepat pembangunan. Kemenkominfo mengeluarkan data bahwa ada 12.548 desa di Indonesia belum menikmati layanan jaringan 4G. Dari jumlah itu, 9.113 desa di antaranya berada di wilayah 3T yang pembangunan infrastruktur pemancar 4G jadi tanggung jawab Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo. Adapun 3.435 desa sisanya jadi tanggung jawab operator telekomunikasi seluler.
Dari 9.113 desa tanggung jawab Bakti, 4.200 desa jadi prioritas. Pembangunannya dibagi menjadi lima paket yang dikerjakan Bakti pada 2020–2024. Nilai proyeknya Rp 28 triliun. Setelah disetujui pada 2020, pemerintah mengucurkan anggaran Rp 10,2 triliun. Catatannya, proyek selesai pada 2021. Namun, Kemenkominfo minta perpanjangan waktu sampai Maret 2022 karena alasan pandemi. Dari target 4.200 menara BTS, baru 1.200 unit yang dilaporkan terbangun. Namun, setelah dicek dengan satelit, jumlah menara terbangun 985 unit. Audit BPKP menemukan, dari total anggaran Rp 10,2 triliun yang keluar, jumlah yang diduga dikorupsi Rp 8,2 triliun (Kompas, 20/5/2023).
Baca juga : Pembangunan Infrastruktur Digital Perlu Dikelola Transparan

Daerah rural, seperti 3T, sering kali terpisah dari infrastruktur dasar yang ada karena jarak yang jauh dan medan yang menantang. Akibatnya, menghubungkan internet ke daerah itu biasanya jauh lebih sulit dan mahal daripada menghubungkan ke daerah perkotaan.
Daerah rural juga memiliki kepadatan penduduk yang lebih rendah daripada daerah perkotaan. Hal itu berarti jumlah pelanggan potensial di daerah tersebut lebih kecil. Hal ini diyakini oleh operator telekomunikasi akan menyulitkan bisnis mereka. Mereka juga harus mengeluarkan investasi besar untuk menyebarkan infrastruktur.
Keyakinan seperti itu sudah berlangsung lama, jauh sebelum pemerintah akhirnya memutuskan mempercepat pemerataan jaringan internet melalui proyek menara pemancar 4G yang sekarang tersandung dugaan korupsi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O Baasir di Jakarta, Rabu (24/5/2023), mengatakan, kebutuhan investasi yang harus dikeluarkan untuk membangun infrastruktur di daerah rural relatif mahal. Biaya mobilisasi tenaga kerja hingga perangkat menara pemancar ke satu titik lokasi pembangunan bisa sekitar Rp 250 juta. Biaya ini belum menghitung harga perangkat menara pemancar, operasional sehari-hari, risiko keamanan, dan pemeliharaan.
Baca juga : Lima Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Menara BTS Kemenkominfo Siap Disidangkan

Puluhan mobil pusat internet kecamatan (MPLIK) terparkir di Jalan Usaha Bersama, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, Jumat (20/5/2016).
Kebijakan yang diambil pemerintah biasanya melalui dana pelayanan universal (universal service obligation/USO). Setiap operator telekomunikasi jaringan dan jasa dipungut setoran USO sekitar 1,25 persen dari audited gross revenue dalam setahun. Lalu, Bakti Kemenkominfo (dulu sebelum 2017 bernama Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika/BP3TI) akan menggunakannya.
Marwan menceritakan, pada periode 2017–2019, Bakti Kemenkominfo membangun infrastruktur pasif, seperti sambungan listrik, genset, dan menara di daerah rural, seperti 3T. Operator telekomunikasi seluler kemudian membangun infrastruktur aktif yang berupa pemancar. Pendapatannya disimpan oleh operator telekomunikasi seluler.
Setelah periode itu, lanjut Marwan, mekanismenya berubah. Kemenkominfo yang sudah berbekal data jumlah desa belum terlayani 4G memutuskan pembagian tanggung jawab mana desa yang dibangun oleh Bakti dan operator telekomunikasi seluler. Untuk desa yang jadi tanggung jawab Bakti, pembangunan infrastruktur pasif dan aktif dilakukan oleh konsorsium perusahaan pembangun menara /perangkat jaringan yang menang lelang di Bakti. Konsorsium tersebut adalah Konsorsium Infrastruktur Bisnis Sejahtera-ZTE Indonesia, Konsorsium Lintasarta-Huawei, dan Konsorsium Fiberhome-TelkomInfra-MTD.
Operator telekomunikasi seluler tinggal menyambungkannya ke jaringan inti (core network) mereka. Bakti terlebih dulu meminta operator telekomunikasi seluler memasukkan dokumen proyeksi pendapatan, lalu lelang (bidding). Operator yang memiliki nilai proyeksi pendapatan tinggi dinyatakan sebagai pemenang dan langsung menyambungkan jaringan intinya ke infrastruktur menara pemancar yang sudah dibangun Bakti. Marwan menyebut pemenangnya adalah XL Axiata dan Telkomsel.
Baca juga: Sektor Informasi dan Telekomunikasi Tumbuh Melambat ke Level 7,19 Persen

”Kami harus melakukan survei lokasi menara pemancar 4G yang sudah dibangun Bakti. Kami benar-benar tidak tahu kriteria basis data desa sasaran pembangunan yang mereka gunakan. Kalau kami (biasanya) bangun menara pemancar, kami selalu mengacu ke jumlah kepala keluarga di suatu desa,” ujar Marwan.
Manajemen
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, mengatakan, pembangunan infrastruktur jaringan internet untuk daerah rural kerap berujung menjadi masalah yang pelik, termasuk yang jadi cakupan program USO. Dia memandang akar masalahnya adalah tata kelola program yang buruk dan manajemen pengendalinya tidak kokoh.
Hampir satu dekade lalu, proyek pengadaan mobil pusat layanan internet kecamatan (MPLIK) tahun 2010–2012 juga tersandung korupsi. Kala itu, Kejaksaan Agung menduga proyek MPLIK yang diadakan berdasarkan peraturan Menkominfo Nomor 48/PER/M.KOMINFO/11/2009 tidak sesuai peruntukannya. Pucuk pimpinan BP3TI ditetapkan sebagai salah satu tersangka. Komisi I DPR sempat menyarankan proyek MPLIK dimoratorium pembayarannya hingga audit investigasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai.
Pada saat itu pula, sesuai rekapitulasi Kemenkominfo, ada target-target pengerjaan proyek USO yang belum terpenuhi. Realisasi Desa Berdering, yang ditargetkan 33.184 desa, realisasi hanya 31.092 desa. Realisasi Desa Pintar baru mencapai 100 dari target tahap I sebanyak 131 desa dan mencapai 98 dari target tahap II (1.330 desa). Pusat layanan internet kecamatan (PLIK) yang ditargetkan 5.748 kecamatan, realisasinya mencapai 5.939 kecamatan.
Baca juga: Pelanggan Layanan Seluler Cenderung Menurun

Anak-anak memanfaatkan layanan internet gratis dari mobile-pusat layanan internet kecamatan (M-PLIK) di halaman kantor Kelurahan Kelapa Lima, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (4/7/2013).
Berangkat dari permasalahan yang pernah atau sedang terjadi, Agung memandang, pemerintah harus kembali ke tujuan awal program pembangunan infrastruktur jaringan internet untuk daerah rural. Kedua, kolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan evaluasi program USO. Ketiga, letakkan titik lokasi yang akan dibangun infrastruktur secara cermat.
”Total dana USO yang terkumpul memang terbatas sehingga pemerintah perlu membuat program prioritas/redefinisi program. Strategi penggelaran infrastruktur harus ke tempat warga yang banyak berkumpul. Jika pembangunan menggunakan basis data titik lokasi di desa yang ngawur, ini menandakan perencanaan program tidak tepat,” kata Agung.
Ketua Umum Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (MAKPI) Riant Nugroho, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, berangkat dari dugaan korupsi yang kerap mewarnai proyek pembangunan infrastruktur jaringan untuk daerah rural, sudah saatnya pendekatan program diubah. Pertama, pemerintah perlu mengevaluasi perkembangan daerah yang pernah dianggap rural atau 3T. Ada kemungkinan daerah itu sudah tidak masuk cakupan rural atau 3T. Evaluasi seperti ini penting untuk mengarahkan proyek agar tepat sasaran.
”Kedua, pemerintah bisa memakai opsi memberikan insentif kepada operator telekomunikasi yang mau membangun infrastruktur jaringan internet di daerah rural. Misalnya, insentif berwujud monopoli dalam jangka waktu tertentu. Cara ini tidak akan mengurangi pendapatan operator telekomunikasi,” kata Riant yang pernah menjadi anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia atau BRTI (BRTI sekarang sudah dibubarkan).

Mengutip laporan Rural Broadband Policy Framework:Connecting the Unconnected yang diproduksi oleh Alliance for Affordable Internet/A4AI tahun 2020, sekitar setengah dari populasi dunia masih offline dan hanya sekitar 19 persen dari populasi negara-negara tertinggal yang memiliki akses ke internet. Laporan ini juga menyarankan agar pembangunan infrastruktur jaringan internet di daerah rural memakai pendekatan multi-kebijakan, mulai dari operator telekomunikasi diperbolehkan berbagi jaringan (network sharing) di tataran wholesale hingga mengeliminasi beban pajak operator telekomunikasi yang bersedia membangun di daerah rural.
Dalam laporan yang sama, A4AI juga menekankan, pengelolaan USO dapat mengadopsi dan menerapkan praktik transparansi data, seperti data pencairan berkala, informasi proyek, dan penggunaan dana. Di luar USO, sumber dana yang bisa dipakai membiayai pembangunan infrastruktur telekomunikasi di daerah rural yang belum atau kurang terlayani seharusnya datang dari mana saja.
Baca juga: Konsumsi Internet Tak Sejalan dengan Belanja Paket Data