Hadapi Perkembangan AI, Penilaian Analitis Jadi Keterampilan ”Mahal”
Keterampilan pekerja perlu terus diperbarui untuk menyikapi pesatnya perkembangan inovasi teknologi kecerdasan buatan. Salah satu keterampilan yang mendesak diasah adalah penilaian analitis (”analytical judgement”).
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan teknologi kecerdasan buatan diperkirakan akan semakin hidup berdampingan dengan pekerja. Dengan demikian, pekerja perlu terus meningkatkan keterampilan penilaian analitis, kecerdasan emosional, evaluasi kreatif, dan keingintahuan intelektual.
Direktur Marketing dan Operasional Microsoft Indonesia Lucky Gani saat ditemui di kantor Microsoft Indonesia, Jakarta, Selasa (23/5/2023), menilai, keterampilan penilaian analitis tersebut tergolong ”mahal”. Pengembangan teknologi kecerdasan buatan akan sukar menyamai.
”Teknologi kecerdasan buatan saat ini sudah mampu membuat ringkasan. Dalam laporan riset Work Trend Index 2023 yang baru saja kami rilis, 90 persen pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan bahwa karyawan akan butuh keterampilan baru untuk menyikapi kemunculan teknologi kecerdasan buatan. Keterampilan penilaian analitis (analytical judgement) paling banyak disebut dan ini adalah keterampilan yang mahal,” tuturnya.
Laporan riset Work Trend Index 2023 diolah dari hasil survei terhadap 31.000 orang dari berbagai latar belakang industri di 31 negara, termasuk Indonesia. Sumber data lainnya adalah triliunan sinyal dari aplikasi surel, pertemuan, dan percakapan yang dimiliki oleh produk Microsoft 365 serta tren ketenagakerjaan di LinkedIn.
Dalam laporan, 48 persen responden yang berlatar belakang karyawan di Indonesia mengaku khawatir bahwa keberadaan kecerdasan buatan akan menggantikan pekerjaan mereka. Namun, porsi responden yang lebih banyak menyatakan akan mendelegasikan sebanyak mungkin pekerjaan kepada teknologi kecerdasan buatan guna mengurangi beban kerja mereka.
Terkait teknologi kecerdasan buatan yang mampu menambah produktivitas, bukan mengganti pekerja, tingkat kepercayaan diri responden berlatar belakang pemimpin bisnis di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan global. ”Kami juga menekankan bahwa teknologi kecerdasan buatan merupakan kopilot kita, bukan autopilot. Manusia-lah yang memiliki kontrol dan tanggung jawab atas data-data yang dikeluarkan kecerdasan buatan,” kata Lucky.
Microsoft saat ini telah menerapkan teknologi kecerdasan buatan di setiap fitur ataupun solusi, mulai dari mesin pencari Bing, produk Microsof 365, hingga power platform. Untuk rangkaian produk Microsoft 365, seperti Outlook (surel), Microsoft Power Points, dan Microsoft Office, Microsoft telah menanamkan teknologi kecerdasan buatan. Hal ini membuat siapa pun pengguna akan bisa memerintahkan teknologi kecerdasan agar membantu menyusun presentasi, ringkasan, sentimen prioritas surel, dan membuat gambar.
”Visi perusahaan adalah #responsibleAI. Maka, teknologi kecerdasan yang kami tanamkan di Microsoft 365 tidak akan terhubung dengan media sosial karena itu ranah privat. Inovasi yang kami kembangkan selalu transparan dan inklusif,” kata Surat yang sekarang memiliki lebih dari 27.000 tanda tangan itu singkat. Bahasanya luas dan beberapa nama di balik surat itu tampaknya memiliki hubungan yang bertentangan dengan AI. Tuan Musk, misalnya, sedang membangun AI start-up, dan dia adalah salah satu donor utama organisasi yang menulis surat itu.
Berdasarkan working paper penelitian yang dilakukan oleh peneliti OpenAI (perusahaan rintisan bidang teknologi di belakang ChatGPT) dan Universitas Pennsylvania bertajuk GPTs are GPTs: An Early Look at the Labor Market Impact Potential of Large Language Models (27 Maret 2023), 80 persen angkatan kerja Amerika Serikat akan mendapati 10 persen dari tugas mereka dipengaruhi oleh model bahasa besar (large language model/LLM). Sebanyak 19 persen angkatan kerja melihat setidaknya 50 persen dari tugas mereka terkena dampak.
Sementara itu, mengutip The New York Times, pada akhir Maret 2023 lebih dari 1.000 pemimpin teknologi, peneliti, dan pakar lainnya yang bekerja di dalam dan di sekitar kecerdasan buatan menandatangani surat peringatan terbuka bahwa teknologi kecerdasan buatan menghadirkan risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan. Kelompok tersebut, termasuk Elon Musk, mendesak laboratorium kecerdasan buatan untuk menghentikan pengembangan sistem mereka yang paling kuat selama enam bulan sehingga mereka dapat lebih memahami bahaya di balik teknologi tersebut.
Surat yang sekarang ditandatangani lebih dari 27.000 itu singkat. Bahasanya luas. Beberapa nama di balik surat itu tampaknya memiliki hubungan yang bertentangan dengan isi surat. Musk, misalnya, merupakan salah satu orang yang mendanai pengembangan kecerdasan buatan.
”Kemampuan kami untuk memahami apa yang salah dari betapa kuatnya sistem kecerdasan buatan adalah sangat lemah. Jadi, kami harus berhati-hati,” ujar Yoshua Bengio, profesor dan peneliti kecerdasan buatan di Universitas Montreal.