Transformasi Digital, Kecerdasan Buatan, dan Hal-hal yang Tidak Pernah Selesai
Transformasi digital bukanlah soal teknologi semata, melainkan lebih pada soal urusan budaya. Sumber daya manusia yang mendukung dan adopsi teknologi yang tepat akan menjadi kunci kesuksesan transformasi digital.
Seiring perkembangan zaman, transformasi digital menjadi keniscayaan di semua bidang kehidupan. Masalahnya, bagaimana agar transisi menuju transformasi digital tersebut berjalan mulus dan lancar?
Pada dasarnya, transformasi digital bukanlah soal teknologi semata, melainkan lebih pada soal urusan budaya, seperti dikatakan Stephen Braim, Vice President IBM untuk Government & Regulatory Affairs wilayah Asia Pasifik dan Jepang, saat diwawancarai beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dengan begitu, tantangannya adalah bagaimana menyusun strategi, antara lain untuk mengubah pola pikir pelaku yang terlibat, seperti pegawai. Dengan demikian, yang perlu disiapkan selain soal adopsi teknologi adalah soal mengubah cara pikir karyawan karena cara bekerja akan sangat berbeda.
Pada dasarnya, transformasi digital bukanlah soal teknologi semata, melainkan lebih pada soal urusan budaya.
”Pengalaman saya selama 25 tahun bekerja di IBM, tentu saja beberapa kali terjadi perubahan seiring perkembangan teknologi. Misalnya, cuti yang dulu untuk memintanya harus menghadap manajer, setelah ada perubahan, cukup mengajukan secara online. Orang yang semula terbiasa dengan satu metode kerja harus berubah karena semuanya menjadi serba digital,” kata Braim.
Pelatihan dan pembiasaan diperlukan seiring dilakukannya transformasi digital karena akan berdampak pada hasil akhir berupa produk atau jasa. Ini akan menciptakan budaya baru, yakni budaya digital. Pegawai yang semakin terampil dan terbiasa dengan cara kerja digital akan tecermin pada kinerjanya yang semakin baik.
Hal ini senada dengan artikel berjudul ”What are Industry 4.0, the Fourth Industrial Revolution, and 4IR?” yang diterbitkan di laman resmi McKinsey&Company pada Agustus 2022. Artikel itu menyebutkan, teknologi hanya setengah porsi dalam perjalanan Revolusi Industri 4.0. Untuk menggenapinya, perusahaan mesti memastikan SDM memperoleh peningkatan keterampilan atau pelatihan ulang (Kompas, 26/4/2023).
Baca juga: Menelaan Transformasi Digital UMKM
Soal sumber daya manusia (SDM) memang menjadi isu tersendiri. Kecerdasan buatan sebagai salah satu elemen utama transformasi digital dianggap dapat mengancam hilangnya pekerjaan tertentu. Kabar baiknya, perkembangan mahadata diharapkan dapat memunculkan jenis pekerjaan baru. Baik kecerdasan buatan maupun mahadata menjadi kata kunci penerapan transformasi digital yang diperkirakan akan mendorong terjadinya revolusi industri.
Laporan The Future of Jobs Report 2023 oleh World Economic Forum memprediksi 85 juta pekerjaan akan tergantikan oleh mesin, tetapi 97 juta jenis pekerjaan baru akan bermunculan. Secara umum di kawasan regional ASEAN, 56 persen pekerjaan terancam tergantikan otomatisasi, 35 persen pekerjaan menempati risiko medium, dan hanya 9 persen pekerjaan yang berisiko paling rendah tak tergantikan otomatisasi. Sumber daya manusia seperti apa yang kemampuannya tidak tergantikan?
Untuk menciptakan SDM demikian, perlu ada transformasi pendidikan yang memenuhi kebutuhan transformasi digital. Dengan demikian, SDM yang dihasilkan sesuai dengan permintaan dunia kerja, seperti dikatakan Shinta Widjaja Kamdani, Wakil Ketua Umum Apindo, dalam artikelnya di Kompas, 26 Januari 2023.
Masih berdasarkan laporan ”The Future of Jobs Report 2023”, mahadata menempati peringkat teratas pada jenis teknologi digital yang dipandang bisa menciptakan lapangan kerja. Sebanyak 65 persen dari 803 perusahaan yang disurvei mengharapkan pertumbuhan pekerjaan terkait mahadata.
Pekerjaan analis dan ilmuwan data, spesialis mahadata, spesialis pembelajaran mesin kecerdasan buatan, dan profesional keamanan siber diperkirakan tumbuh rata-rata 30 persen pada 2027. Perdagangan secara elektronik atau e-dagang dipercaya mencetak untung besar. Dengan demikian, ada kebutuhan besar, diperkirakan mencapai 2 juta peran baru terkait itu, seperti spesialis e-dagang, spesialis transformasi digital, serta spesialis pemasaran dan strategi digital.
Sebaliknya, peran yang diperkirakan paling cepat menurun karena dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital ialah juru tulis atau sekretaris, teller bank, kasir, dan petugas entri data.
Meski ekspektasi perpindahan pekerjaan fisik dan manual ke mesin telah menurun, sifat yang jadi keunggulan komparatif manusia diperkirakan lebih dapat diotomasi di masa depan. Kecerdasan buatan diharapkan terpakai oleh 75 persen perusahaan yang disurvei (Kompas, 8 Mei 2023).
Baca juga: Perlukan Bersiap Menghadapi Bencana Dunia Maya?
Demikianlah, teknologi selalu menjadi pisau bermata dua yang memerlukan kebijaksanaan dalam penggunaannya. Meskipun dalam hal kecerdasan buatan dan mahadata, pemanfaatannya sudah tak terbendung dan tak bisa ditawar-tawar lagi.
Menyiapkan SDM yang sesuai kebutuhan adalah salah satu kunci untuk menghadapi transformasi digital dan dampak ikutannya. Yang tidak kalah penting adalah SDM tersebut mampu beradaptasi dengan cepat. Terlebih dengan tantangan perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang menjadi salah satu elemen terpenting transformasi digital. Belum lagi aspek keamanan siber, mengingat ranah ”bermain” sudah berpindah ke dunia digital.
Jangan sampai, transformasi digital yang sebenarnya bertujuan untuk mengejar tuntutan ekonomi global justru ”memakan korban”. Misalnya, pekerja manual yang kehilangan pekerjaannya dan tidak bisa mencari pekerjaan lain karena keterampilannya tidak sesuai dengan kebutuhan baru di dunia digital. Tenaganya diganti oleh robot, sistem otomasi, atau kecerdasan buatan.
”Belum lama ini kami membuka Hybrid Cloud Academy di Batam. Tujuannya untuk menghasilkan lulusan tenaga terampil, antara lain di bidang pemrograman open source. Ini bentuk mitigasi dengan berinvestasi di bidang SDM dengan memberikannya keterampilan baru,” kata Braim.
Tindakan sesederhana mengakses Wi-Fi umum yang belum jelas keamanannya, mengunduh file sembarangan, atau mengeklik tautan asing dari media sosial atau surat elektronik, dapat berakibat fatal.
Demikian pula dengan keamanan siber. Pengabaian terhadap aspek ini dapat berakibat fatal, seperti serangan ransomware yang belum lama ini dikabarkan menimpa sebuah bank di Tanah Air. Namun, keterampilan saja tidak cukup, tetapi perlu ditambah dengan kepedulian dan perilaku bersih digital. Tindakan sesederhana mengakses Wi-Fi umum yang belum jelas keamanannya, mengunduh file sembarangan, atau mengeklik tautan asing dari media sosial atau surat elektronik, dapat berakibat fatal.
Ini lagi-lagi menyangkut budaya, seperti disebutkan Braim di awal tulisan. Perkembangan dunia digital bukan lagi sekadar menuntut perubahan budaya manual ke budaya digital, melainkan juga cara pandang dan perilaku. Ini agar manusia mampu bertahan dan tidak tergilas oleh perkembangan teknologi yang merupakan hasil akal budinya sendiri. Pendek kata, jangan sampai menjadi ”senjata makan tuan”.
Pada akhirnya, ini seperti perjalanan yang belum jelas ujungnya karena perkembangan teknologi setelah ini barangkali justru akan mengalami ”ledakan” kemajuan yang entah akan mengarah ke mana. Sikap adaptif, terbuka, dan mau belajar diperlukan untuk menghadapi perkembangan teknologi yang belum selesai dan tak akan pernah selesai.