Indonesia memiliki potensi yang besar dalam hal energi baru dan terbarukan. Namun, transisi energi dalam rangka mencapai bebas dari emisi karbon dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki membutuhkan biaya yang besar.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Teknisi merawat panel surya yang terpasang di atap gedung Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (5/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS - Kebutuhan investasi Energi Baru dan Terbarukan atau EBT untuk mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada tahun 2060 membutuhkan biaya sekitar 1.108 miliar dollar AS. Sampai saat ini, potensi EBT yang baru dimanfaatkan oleh Indonesia masih mencapai 2 persen.
Hal itu disampaikan oleh Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Trois Dilisusendi, dalam diskusi Peluang dan Tantangan Investasi Sektor EBT, di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
"Bicara soal investasi yang dibutuhkan berkisar 1.108 miliar dollar AS atau rata-rata per tahun 28,5 miliar dollar AS. Realisasi per tahun 2022, baru di angka 1,55 miliar dollar AS yang artinya masih masih jauh dari investasi yang dibutuhkan," kata Trois.
Diketahui, Indonesia telah menargetkan nol emisi karbon pada tahun 2060 sebagaimana tercantum dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah ditingkatkan (enhanced) kemampuan sendiri sebesar 31,89 persen dan dengan dukungan internasional sebesar 43,20 persen pada tahun 2030. Untuk mencapai ambisi tersebut, pemerintah telah menyusun peta jalan mengenai EBT sebagai upaya merealisasikan nol emisi karbon 2060.
TANGKAPAN LAYAR
Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Trois Dilisusendi, dalam diskusi Peluang dan Tantangan Investasi Sektor EBT, di Jakarta, Rabu (17/5/2023).
Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, EBT ditargetkan dapat mencapai 23 persen dari bauran pembangkit listrik pada tahun 2025. Namun, pada tahun 2022, capaian EBT baru mencapai 12,3 persen yang seharusnya ditargetkan 15,7 persen.
Trois menjelaskan, EBT terdiri atas dua entitas, yakni energi baru dan energi terbarukan. Energi baru meliputi, batubara tercairkan, gas metan batubara, batubara tergaskan, nuklir, metana, dan hidrogen. Sementara energi terbarukan antara lain, panas bumi, air, bioenergi, surya, dan laut.
"Potensi yang dimiliki Indonesia sangatlah besar besar. Namun, penggunaan EBT masih sangat kecil, yakni sekitar 2 persen atau sekitar 12.602 megawatt. Sementara kita memiliki potensi sebesar 3.689 gigawatt. Jadi, ruang untuk EBT terus berkembang ini masih sangat besar," lanjut Trois.
Keterbatasan sumber pendanaan sektor EBT baik bagi pemerintah maupun pihak swasta. Lalu, kebijakan khusus lembaga pembiayaan dalam membiayai proyek masih minim. Ke depannya, diharapkan agar lembaga keuangan bisa memberi bunga yang mudah untuk mengembangkan EBT.
Menurut Trois, dari subsektor EBT berupa bioenergi sudah dapat menggantikan seluruh energi fosil. Pada triwulan I-2023, listrik yang dihasilkan oleh EBT mencapai 12,7 giga watt dan biofuel yang dihasilkan mencapai 3,3 juta kiloliter.
Trois menambahkan, pada tahun 2023, pendanaan subsektor EBT yang meliputi konservasi energi, aneka EBT, bioenergi, dan panas bumi ditargetkan mencapai 1,8 miliar dollar AS. Sementara pada triwulan 1-2023, pendanaan baru mencapai 0,206 miliar dollar AS.
Salah satu pendanaan EBT dalam bentuk kemitraan antara pemerintah dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) adalah melalui proyek Market Transformation for Renewable Energy and Energy Efficiency (MTRE3). Kerja sama selama lima tahun yang dimulai sejak tahun 2017 ini turut didanai oleh Global Environment Facility (GEF) Trust Fund sebesar 8 juta dollar AS.
National Project Manager Proyek MTRE3 UNDP, Boyke Lakaseru, menyampaikan, dalam mengembangkan sektor EBT di Indonesia, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi. Tantangan tersebut sekaligus menjadi pembelajaran kunci bagi pemerintah dalam mengembangkan sektor EBT.
TANGKAPAN LAYAR
Ketentuan penerapan Tax Holiday kepada industri pionir
"Pertama, keterbatasan sumber pendanaan sektor EBT baik bagi pemerintah maupun pihak swasta. Lalu, kebijakan khusus lembaga pembiayaan dalam membiayai proyek masih minim. Ke depan diharapkan lembaga keuangan bisa memberi bunga yang mudah untuk mengembangkan EBT," ujarnya.
Selain itu, produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) dan lembaga keuangan secara teknis juga masih terbatas dalam menilai proyek. Kemudian, jumlah studi kelayakan mengenai proyek EBT juga masih masih terbatas.
Melalui kerja sama pemerintah dengan lembaga internasional tersebut, sebanyak 327.667 rumah tangga telah memiliki akses atas energi bersih. Selain itu, pemanfaatan dana Sustainable Energy Fund (SEF) sekitar 2,3 juta dollar AS telah menstimulus investasi dari publik sebesar 57 juta dollar AS.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, jumlah kapasitas listrik yang dihasilkan dari EBT masih belum berubah signifikan dari tahun lalu. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap pun selama lima bulan terakhir tidak berkembang banyak.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Fabby Tumiwa
"Selama dua tahun ini, kita perlu mengejar ketertinggalan dalam membangun pembangkit listrik berbasis EBT agar target bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 dapat tercapai. Dengan data bauran tahun 2022 yang baru mencapai sekitar 12 persen, kita harus membangun setidaknya 10 gigawatt hingga 12 gigawatt selama tiga tahun ke depan," kata Fabby saat dihubungi dari Jakarta.
Fabby menambahkan, pembatasan dan revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum justru membuat target yang telah ditetapkan akan semakin sulit dikejar. Di sisi lain, penonaktifan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbasis batubara sebaiknya diberlakukan secara menyeluruh, termasuk milik perusahaan-perusahaan swasta sehingga bauran EBT dapat semakin berkembang.