Pemerintah Kaji Penerapan Bioenergi untuk Perdagangan Karbon
Biogas diharapkan memberi nilai tambah bagi produsen. Saat ini, di sektor energi, yang telah terbit baru Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang tata cara penyelenggaraan NEK untuk pembangkit listrik.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pabrik kelapa sawit mengolah tandan buah segar menjadi minyak sawit mentah di PT United Kingdom Indonesia Plantations, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (28/9/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tengah mengkaji potensi bioenergi, termasuk biogas, agar bisa digunakan dalam perdagangan karbon. Apabila diwujudkan, hal itu akan memperkaya penerapan nilai ekonomi karbon yang saat ini baru pada pembangkit listrik.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi Bioshare Series 10 yang digelar Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara hibrida, di Pekanbaru, Riau, Kamis (13/4/2023). Biogas, yang memiliki potensi besar, diharapkan memiliki nilai tambah bagi produsen dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK).
Sebelumnya, terbit Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Nasional dan Pengendalian Emisi GRK dalam Pembangunan Nasional. Di sektor energi, turunan yang telah terbit adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan NEK Subsektor Pembangkit Listrik.
”Untuk bioenergi, kami masih mengkaji beberapa hal terkait biogas, misalnya sebagai bahan bakar. Sebab, NEK ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, saat produksi bahan bakar hijaunya. Kedua, saat peralihan (switching) bahan bakarnya, seperti menggantikan batubara atau gas,” kata Koordinator Investasi dan Kerja Sama Bioenergi Direktorat Bioenergi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Trois Dilisusendi.
Sebelumnya, pada Maret 2023, Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi juga telah meluncurkan perizinan biogas sebagai bahan bakar lain, yaitu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 35203. Dengan peluncuran itu, diharapkan investasi masuk untuk mendukung pengembangan biogas.
Guna terus memacu pengembangan bioenergi, regulasi terkait penyelenggaraan NEK untuk biogas pun dibahas agar nantinya dapat memiliki nilai tambah. ”Sedang dalam pembahasan di internal kami. Jadi, sedang identifikasi seperti apa regulasi turunan untuk bioenergi ini," ucap Trois.
Biogas, sebagai bagian dari bioenergi, memang tengah dipacu agar semakin berkontribusi pada energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional. Terlebih, dengan potensinya yang besar, realisasi atau produksi biogas nasional masih jauh dari target.
Menurut data Ditjen EBTKE Kementerian ESDM, produksi biogas pada 2022 baru 47,72 juta meter kubik. Angka itu jauh di bawah target Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang pada 2022 sebesar 222,9 juta meter kubik.
Terkait pemanfaatan langsung biogas, per Maret 2023, telah terbangun 52.313 unit biogas rumah tangga/komunal dengan produksi 7,2 juta meter kubik. ”Sementara itu, produksi biogas pada industri nonlistrik 810.329 meter kubik dan industri listrik sebesar 1,9 juta meter kubik. Jadi masih sangat besar potensi untuk bisa menambahnya," ucap Trois.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Limbah sawit diangkut untuk diolah menjadi biogas di PT United Kingdom Indonesia Plantations, di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (28/9/2022).
Trois menambahkan, ada empat sumber utama sumber bahan baku metana (biogas yang diolah lebih lanjut). Pertama atau potensi terbesar ialah limbah cair kelapa sawit (POME). Kemudian disusul tapioka, manure atau kotoran ternak, dan sampah perkotaan. Total potensinya 9,9 miliar meter kubik normal (Nm3).
”Khusus industri kelapa sawit, ada sekitar 800 pabrik kelapa sawit tersebar di Indonesia. (Sementara) 10 daerah dengan potensi sawit terbesar berada di Riau. Sejumlah kabupaten dengan potensi terbesar ialah Kampar, Pelalawan, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, Indragiri Hilir, hingga Kuantan Singingi,” lanjutnya.
Menurut Trois, sejumlah upaya yang telah dilakukan dalam pengembangan biometana adalah studi pasar di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, pembangunan CBG (biogas terkompresi) Plant oleh swasta, dan Standar Nasional Indonesia (SNI) biometana yang sedang dalam proses.
Tak dimungkiri, ada sejumlah tantangan dalam pengembangan biometana tersebut. ”Seperti akses pendanaan. Oleh karena itu, di forum ini juga kami mengundang mitra seperti PT SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). (Tantangan) juga terkait teknologi, tata kelola, dan investasi," ucap Trois.
Key Advisor for Bionergy, RE Policy & RE Finance Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH ExploRE Ardian Candraputra mengatakan, sebanyak 82 persen potensi produksi biometana berada di delapan provinsi. Kedelapannya adalah Riau, Sumatera Utara, Kalbar, Kalteng, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Lampung, dan Jambi.
”Dapat dikatakan, provinsi-provinsi di Sumatera dan Kalimantan ini cocok untuk menjadi lokasi pengembangan lebih lanjut terkait biometana,” kata Ardian.
Dari sisi demand (permintaan), pihaknya juga telah memetakan untuk sektor industri dan komersial. Pada sektor industri misalnya, terdapat 105 titik potensial. ”Kami melihat, (permintaan) datang dari industri yang menggunakan elpiji, gas alam terkompresi (CNG), atau masih menggunakan bahan bakar diesel. Itu yang kemungkinan bisa digantikan biometana,” ujarnya.