Pelaku Industri Siapkan Dua Langkah Hadapi Regulasi Deforestasi UE
Pelaku industri akan mengajukan keberatan karena Regulasi Deforestasi Uni Eropa dinilai sulit diterapkan negara berkembang. Harapannya, keberatan tersebut sampai ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Parlemen Eropa mengesahkan Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa yang akan diberlakukan pada Mei 2023. Oleh karena aturan itu dinilai berdampak pada ekspor sejumlah komoditas yang diproduksi Indonesia, pelaku industri di dalam negeri berencana mengajukan keberatan sekaligus bersiap menyesuaikan produk dengan ketentuan.
Pengesahan Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (UE) itu berlangsung pada Rabu (19/4/2023). Naskah regulasi itu akan diterbitkan dalam EU Official Journal dan akan berlaku (enter into force) pada 20 hari setelah pengesahan. Aturan yang akan meregulasi komoditas pertanian dan turunannya tersebut mendapatkan persetujuan dari 552 suara, sementara 44 suara tidak setuju dan 43 suara abstain.
Komoditas yang diatur dalam regulasi mencakup sapi, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, kayu, serta produk-produk turunannya. Dalam proses pengesahan, anggota parlemen Eropa menambahkan komoditas arang, karet, dan produk kertas yang sudah dicetak. Parlemen Eropa juga memperluas definisi degradasi hutan yang turut melingkupi konversi hutan atau hutan yang beregenerasi secara alami menjadi hutan tanaman (plantation forest) atau lahan berhutan lainnya.
Menanggapi pengesahan aturan itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gappmi) Adhi S Lukman menilai, pelaku industri saat ini belum siap mengikutinya, khususnya terkait mekanisme ketertelusuran (traceability) untuk membuktikan bahan baku produk makanan-minuman yang diekspor tidak menyebabkan deforestasi. ”Ada dua langkah yang kami siapkan. Pertama, kami akan mengajukan keberatan karena aturan ini sulit diterapkan negara berkembang. Harapannya, keberatan ini sampai ke WTO (Organisasi Perdagangan Dunia),” tuturnya saat dihubungi, Selasa (25/4/2023).
Kedua, pelaku industri akan mempelajari dampak dari aturan tersebut dan berupaya menyesuaikan. Adhi menambahkan, aturan tersebut menuntut pelaku industri makanan-minuman menunjukkan bukti sertifikasi dan verifikasi bahwa produknya tidak berdampak pada deforestasi. Oleh sebab itu, pelaku industri membutuhkan kejelasan lembaga resmi yang dapat melakukan verifikasi dan menerbitkan sertifikat yang diakui oleh UE.
Menurut dia, Regulasi Bebas Deforestasi UE dapat menggerus ekspor produk makanan-minuman ke kawasan Eropa. Pelaku industri cenderung mengekspor bahan setengah jadi ke Eropa, seperti bubuk kakao, cacao butter, kopi sangrai, dan aneka tepung. Eropa masuk ke dalam lima besar tujuan ekspor bahan makanan-minuman setengah jadi.
Regulasi Bebas Deforestasi UE mengamanatkan Komisi Eropa untuk mengklasifikasikan negara atau bagiannya ke kelompok risiko rendah, standar, dan tinggi terhadap deforestasi. Klasifikasi itu diperoleh dari penilaian yang transparan dan obyektif selama 18 bulan setelah aturan berlaku. Produk dari negara-negara berisiko rendah akan dikenakan prosedur uji tuntas yang lebih sederhana.
Adapun proporsi pemeriksaan pada produk dari negara berisiko tinggi sebesar 9 persen, berisiko standar 3 persen, dan berisiko rendah 1 persen. Otorita dari UE akan meminta akses informasi mengenai lokasi koordinat geografis yang akan dicek melalui peralatan pemantauan satelit serta analisis DNA bahan baku produk untuk mengetahui asal-muasalnya. Terdapat sanksi terhadap ketidakpatuhan dan denda minimal 4 persen dari total omzet di kawasan UE.
Parlemen Eropa menggarisbawahi, perusahaan hanya boleh menjual produk yang tercakup dalam Regulasi Bebas Deforestasi di kawasan UE apabila pemasoknya telah menerbitkan pernyataan uji tuntas. Pernyataan itu berisi konfirmasi produk yang dijual tidak berasal dari lahan deforestasi atau tidak menyebabkan degradasi hutan sejak 31 Desember 2020. Selain itu, parlemen Eropa juga meminta perusahaan memverifikasi produk yang dijual mematuhi aturan dari negara asal yang berkaitan dengan hak asasi manusia, termasuk masyarakat adat yang terdampak. Dengan ketentuan ini, tidak ada negara atau komoditas yang dilarang untuk dijual di kawasan UE.
Dalam dokumen berjudul ”Towards deforestation-free commodities and products in the EU” yang dipublikasikan European Parliamentary Research Service pada April 2023, ada tiga tahap dalam uji tuntas tersebut. Ketiga tahap itu terdiri dari pengumpulan informasi, penilaian risiko, dan mitigasi risiko. Operator harus mengulas dan melaporkan sistem uji tuntas yang diterapkan kepada publik secara tahunan.
Christophe Hansen, anggota Parlemen Eropa, menilai, Regulasi Deforestasi UE dapat memberikan keterbukaan pada konsumen di Eropa bahwa mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi saat membeli produk-produk yang tercakup dalam aturan. ”Hingga saat ini konsumen belum mengetahui produk-produk yang berada di supermarket ternyata berkontribusi dalam pembakaran hutan hujan yang menghabisi kehidupan masyarakat adat. Aturan baru ini tak hanya menjadi kunci dalam menghadapi perubahan iklim dan kehilangan keanekaragaman hayati, tetapi juga memperdalam relasi dagang dengan negara-negara yang memiliki ambisi dan nilai lingkungan yang sama,” tuturnya melalui siaran pers.
Di sisi lain, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Musdhalifah Machmud menyatakan, pemerintah sudah berdialog dengan negara-negara konsumen produk-produk pertanian Indonesia, termasuk anggota UE. Bahkan, pemerintah juga kerap mengundang delegasi untuk melihat perkebunannya secara langsung. Namun, delegasi tersebut sering berganti sehingga Indonesia mesti memulai dialog dari awal.
Pada Maret lalu dia mengatakan hadir dalam pertemuan The FACT (Forest, Agriculture and Commodity Trade) Dialogue. Dalam forum itu, Indonesia bersama negara produsen lainnya seperti Ghana dan Brasil turut menyampaikan keberatan terhadap Regulasi Bebas Deforestasi UE. Pada Mei mendatang Indonesia akan berdialog lagi dengan perwakilan sejumlah negara UE dalam Amsterdam Declarations Partnership.
Dalam dialog yang digencarkan Indonesia, dia menyatakan kepada perwakilan UE untuk reforestasi atau menanam hutan kembali, bukan membuat aturan mengenai deforestasi di negara lain. Dengan demikian, kebijakan akan lebih adil kepada negara berkembang.