Potong Rantai Distribusi Daging untuk Efektifkan Stabilisasi
Rantai distribusi daging sapi/kerbau dinilai perlu disederhanakan guna mengefektifkan upaya stabilisasi harga. Tanpa hal itu, impor daging dinilai tidak akan efektif meredam harga.
Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO, MUKHAMAD KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perum Bulog mulai mengedarkan 18.000 ton daging kerbau beku impor dari India ke pasaran. Daging secara bertahap didistribusikan ke ritel modern dan pasar tradisional untuk menstabilkan harga daging sapi sekaligus memberikan pilihan kepada konsumen daging dengan harga lebih murah.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan, daging kerbau beku impor itu mulai didistribusikan secara bertahap ke 88 ritel modern di Jakarta. Daging tidak disalurkan secara serempak karena setiap pengelola ritel menerapkan administrasi pembelian yang berbeda-beda.
Selain ke ritel modern, daging kerbau beku impor juga akan dipasok ke pasar-pasar tradisional. Bulog menyediakan lemari pembeku (freezer) mengingat stok yang ada berbentuk daging beku.
Sesuai penugasan pemerintah, harga penjualan daging kerbau impor ditetapkan Rp 80.000 per kilogram (kg). Jika ada koreksi harga, harga jualnya maksimal Rp 85.000 per kg. Selain itu, agar penyaluran daging impor bisa dilakukan secara merata, pembelian dibatasi hanya 2 kg per pembeli.
”Ke depan, stok daging itu akan disalurkan ke ritel modern lain. Intinya dari Bulog sudah siap, tinggal mengedarkan,” kata Budi Waseso dalam peninjauannya di salah satu ritel modern di Jakarta, Jumat (14/4/2023).
Dengan adanya harga acuan tersebut, konsumen diharapkan bisa membeli daging dengan harga terjangkau. Budi berharap harga jual daging bisa ditekan karena penyaluran dilakukan secara langsung dari Bulog ke ritel modern. Terobosan ini yang membuat harga jual daging impor bisa diturunkan dari kisaran Rp 95.000 per kg menjadi Rp 80.000 per kg.
Terobosan itu juga bisa membantu Bulog mengurangi biaya distribusi, seperti untuk penyewaan gudang pendingin, yang membuat badan usaha milik negara ini merugi ratusan miliar rupiah beberapa tahun lalu. Bersama Satgas Pangan Polri, Bulog juga memantau penyaluran dan penjualannya agar konsumen bisa mendapatkan daging dengan harga sesuai aturan.
Upaya menekan harga jual daging sapi perlu dilakukan dengan menyederhanakan tata niaga yang panjang. Stabilisasi harga daging sapi dengan cara mengimpor daging kerbau hanya solusi sementara.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyatakan, kedatangan daging kerbau impor dari India sudah sesuai dengan perhitungan neraca pangan yang ditetapkan pada setiap awal tahun. Perhitungan lebih awal membuat pengadaan impor daging kerbau bisa dilakukan sejak jauh hari sehingga kedatangannya bisa diatur sesuai kebutuhan per bulan selama satu tahun.
Pemerintah juga berupaya memotong rantai pasok dengan mengidentifikasi celah-celah perizinan impor yang memakan waktu lama. Selain untuk memenuhi kebutuhan Lebaran dan stabilisasi harga daging sapi, impor dilakukan untuk memenuhi cadangan pangan pemerintah (CPP) sebagai antisipasi kelangkaan akibat krisis iklim dan lainnya.
Soal akurasi data stok, kata Arief, pihaknya siap dikoreksi oleh pihak lain jika data yang dipaparkan tidak sesuai kondisi di lapangan. ”Bukan pro-impor karena kami tetap pastikan stok dari dalam negeri dahulu. Stok kami juga terbuka, supaya pihak lain bisa mengoreksi,” ujarnya.
Rantai pasok
Berdasarkan data Badan Pangan Nasional, per Jumat (14/4/2023), harga daging sapi murni di tingkat pedagang eceran berada di angka Rp 135.670 per kg. Harga daging sapi mulai naik pada April 2022, yakni dRp 132.050 per kg, lalu bertahan di atas Rp 130.000-an per kg hingga pertengahan April 2023.
Terlepas dari faktor pandemi Covid-19, harga tinggi daging sapi dinilai turut dipicu oleh panjangnya rantai distribusi. Board Members of Directors Center for Indonesian Policy Studies, Risti Permani, berpendapat, rantai bisnis daging sapi di Indonesia cukup panjang.
Pada tahap awal, importir mendatangkan sapi bakalan dari luar negeri, seperti Australia dan India. Sapi itu lalu digemukkan di tempat penggemukan (feedlot). Setelah itu, sapi akan dipotong. Selanjutnya, daging sapi dijual ke pedagang grosir skala besar atau tengkulak yang membantu rumah potong hewan (RPH) mendapatkan pembeli.
Dari RPH atau tengkulak, sapi dijual ke pedagang grosir skala kecil, lalu diedarkan lagi ke pasar tradisional dan ritel modern hingga sampai di tangan konsumen. ”Proses ini lama dan membutuhkan biaya besar. Kenaikan harga logistik dan transportasi akan signifikan menaikkan harga jual. Perlu ada pembenahan tata kelola dan modernisasi peternakan untuk meningkatkan kapasitas peternak lokal,” ujarnya.
Harapan peternak
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Nanang Purus Subendro berharap strategi distribusi terbatas daging kerbau impor oleh Bulog bisa terealisasi. Sebab, apabila tidak, peternak sapi domestik akan sulit bersaing karena harga jual daging lokal Rp 130.000 per kg atau di atas harga eceran daging kerbau impor.
Selain itu, kalangan peternak berharap pedagang mencantumkan pemberitahuan ”Menjual Daging Kerbau” di kiosnya. Satgas Pangan wajib mengawasi penjualan itu dan menindak tegas pedagang yang mengoplos daging kerbau impor dengan sapi ataupun menjualnya dengan harga di atas ketentuan.
Selama ini, distribusi daging kerbau impor di lapangan sering bermasalah. Dengan selisih harga yang relatif besar dengan daging sapi segar, daging kerbau impor diperebutkan. Tak jarang pedagang mengaburkan dengan menjualnya sebagai daging sapi segar dengan harga lebih tinggi. Ironisnya, konsumen kesulitan membedakannya.
Kebijakan impor daging kerbau juga menuai polemik karena justru dinilai melemahkan industri peternakan sapi di dalam negeri. Hasilnya, selain belum berhasil meredam harga daging sapi di pasaran, impor dianggap menggerus produksi daging sapi nasional. Berdasarkan pengamatan Litbang Kompas atas data tahunan, harga daging sapi di Tanah Air justru kian tinggi seiring dengan volume impor yang kian meningkat.
Pada tahun 1983 harga daging sapi Rp 2.536 per kg, sementara pada tahun 2015 harganya telah naik menjadi Rp 100.000 per kg. Merujuk publikasi Kementerian Pertanian dan Bank Indonesia, kini, harga daging sapi sudah lebih dari Rp 130.000 per kg. Kenaikannya bahkan melampaui inflasi. Persentase perubahan harga daging sapi dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi ketimbang inflasi.
Jika dirata-rata, inflasi sepanjang 1983-2022 mencapai 8,6 persen. Sementara itu, rata-rata perubahan harga daging sapi pada periode yang sama mencapai 11,5 persen.