Simalakama Robot-robot China
Realitas otomasi terasa kontras dengan problem minimnya lapangan kerja yang sedang dihadapi China, khususnya bagi para pekerja muda yang baru lulus sekolah.
Dua puluh tiga tahun yang lalu, Cao Wan Long (42) datang ke Guangzhou, Provinsi Guangdong, China bagian selatan, untuk mencari kerja. Kota bersejarah yang dulu merupakan pelabuhan terbesar bagi rute perdagangan laut Jalur Sutra itu selama bertahun-tahun menjadi magnet bagi pencari kerja dari seluruh China. Ibarat Jakarta yang juga selalu menarik perantau dari Sabang sampai Merauke untuk mengadu nasib.
Awalnya, tidak mudah bagi Long untuk mencari kerja karena dirinya yang lahir dan besar di Provinsi Shaanxi terbiasa berbahasa Mandarin, tidak fasih berbahasa Kantonis, dialek yang dipakai di Guangzhou.
”Sempat susah karena kendala bahasa saja. Tapi, Guangzhou menawarkan banyak kesempatan, tidak butuh waktu lama untuk saya akhirnya dapat kerja,” tutur Long yang kini sudah puluhan tahun menjadi pramuwisata bagi turis asing dan berbagai tamu penting yang berkunjung ke Guangzhou.
Baca juga : Semilir Angin Segar dari Boao
Guangzhou terkenal sebagai kota komersial dan perdagangan China, setara Beijing dan Shanghai, serta menjadi salah satu pusat manufaktur terbesar di ”negeri tirai bambu” itu. Reputasi sebagai tempat mengadu nasib juga didapat karena Guangzhou adalah salah satu kota pertama yang membuka diri pada dunia saat China melakukan reformasi ekonomi besar-besaran, 40 tahun lalu.
Namun, pascapandemi Covid-19 yang menguji perekonomian China, Guangzhou, seperti kota pusat manufaktur lain di China, tak lagi sama. Meski tetap dilirik pencari kerja, persaingan di pasar kerja kini jauh lebih berat seiring dengan berkurangnya lowongan pekerjaan, tawaran upah yang kian rendah, dan resistansi pekerja untuk bekerja dengan bayaran minim.
Awal tahun ini, dua bulan setelah restriksi pandemi dicabut, pekerja berbondong-bondong lagi menyambangi Guangzhou untuk berburu kerja. Namun, mereka menghadapi kenyataan pahit bahwa jumlah lowongan kerja semakin minim. ”Mencari kerja di Guangzhou sekarang jauh lebih kompetitif, apalagi Guangzhou kini sudah jadi kota metropolis utama di China,” kata Long.
Kondisi itu juga tergambar lewat data terbaru. Meski China sudah tiga bulan membuka ekonominya pascapandemi, data Caixin China Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Maret 2023 menunjukkan, rekrutmen pekerja belum pulih, bahkan turun. Ini dikarenakan perusahaan memilih berhemat dan memangkas ongkos pekerja.
Pascapandemi Covid-19 yang menguji perekonomian China, Guangzhou, seperti kota pusat manufaktur lain di China, tak lagi sama.
Di tengah kondisi sektor ketenagakerjaan yang lesu itu, tren otomasi semakin gencar di Guangzhou dan kota-kota besar di China. Hal ini sejalan dengan cita-cita Presiden China Xi Jinping untuk menjadikan China garda terdepan inovasi teknologi global serta pionir otomasi industri dunia dalam lima tahun ke depan.
Selama mengunjungi Guangzhou dan Beijing, pekan lalu, kami mendatangi sejumlah perusahaan yang sepenuhnya telah terotomasi. Di antaranya APT Electronics, produsen lampu LED, sektor yang biasanya bersifat padat karya, tetapi di China diproduksi oleh robot. ”Proses produksi di mana-mana sekarang sudah sangat terotomasi, kita tidak butuh banyak pekerja,” kata staf yang memandu kunjungan.
Sejak berdiri, APT Electronics sudah sepenuhnya terotomasi. Perusahaan itu hanya mempekerjakan total 1.500 pekerja yang umumnya berketerampilan tinggi. Selain bisa menghemat biaya, tingkat produktivitas diklaim jauh lebih tinggi.
”Kami bekerja sama dengan sejumlah sekolah dan universitas setiap tahun untuk memasok pekerja dari lulusan baru. Jadi, suplai tenaga kerja berkeahlian tinggi untuk mengimbangi otomasi ini bukan masalah,” kata Direktur Departemen Pemasaran APT Electronics Chen Zena.
Baca juga : Pengembangan Kecerdasan Buatan Memunculkan Dilema Baru
Tidak sulit menjumpai penggunaan robot di China. Selain lingkup pabrik yang tertutup, di tempat umum seperti gerai minimarket dan supermarket, robot sudah digunakan untuk tugas sederhana, seperti petugas kebersihan dan kasir. Transportasi publik di Guangzhou, Beijing, Shanghai, dan kota besar lain pun mulai terotomasi. Sebagian armada taksi dan bus sepenuhnya disetir oleh kecerdasan buatan (AI).
Liang Fei, Public Relations Pony AI, satu dari sekian banyak perusahaan penyedia teknologi robo-taxi di Beijing, mengatakan, berhubung skala operasional taksi robot masih kecil, kehadirannya belum sampai mengancam pekerjaan sopir taksi dan bus. Ia tidak menampik, ke depan, robo-taxi bisa mengambil alih pekerjaan sopir. Bagi dia, otomasi hanya masalah waktu. Cepat atau lambat akan terjadi.
”Mungkin setelah robo-taxi semakin banyak, sopir taksi bisa mencari pekerjaan lain. Lagi pula, sopir itu pekerjaan melelahkan, saya yakin banyak orang sebenarnya tidak mau jadi sopir,” ujarnya.
Daniel Zhang, Direktur Bidang Proyek Strategis dan Urusan Pemerintahan Cloudwalk Digital, perusahaan rintisan pengembang jasa AI di Guangzhou, mengatakan, semakin banyak perusahaan dari berbagai sektor yang mulai menggunakan AI. ”Teknologi kami hadir untuk menyediakan solusi bagi masalah unik yang dihadapi setiap industri,” katanya.
Menurut dia, otomasi tidak akan mengancam ketersediaan lapangan kerja. AI hadir untuk mendampingi manusia agar pekerjaan lebih efektif dan efisien, bukan untuk menggantikan para pekerja. ”Ini sangat berbeda dari skenario film fiksi ilmiah di mana robot-robot akan menggantikan manusia,” ujarnya.
Bagi dia, otomasi hanya masalah waktu. Cepat atau lambat akan terjadi.
Dilema
Realitas otomasi itu terasa kontras dengan problem minimnya lapangan kerja yang sedang dihadapi China, khususnya bagi para pekerja muda yang baru lulus. Isu ini bahkan menjadi salah satu sorotan utama dalam sidang legislatif tahunan China, The Two Sessions, yang digelar awal Maret lalu.
Pemerintah China berjanji membuka 12 juta lapangan kerja baru tahun ini untuk mengatasi problem pengangguran. Perdana Menteri China Li Qiang secara khusus menyoroti isu ketenagakerjaan sebagai tantangan terbesar. Ia mengakui itu sebagai tugas berat yang harus ia emban.
Mengutip kajian yang dimuat di Harvard International Review pada 31 Maret 2023, otomasi di China ibarat dua sisi mata koin. Di satu sisi, maraknya tren otomasi di berbagai sektor di China adalah solusi rasional atas problem jangka panjang turunnya populasi penduduk usia kerja China hingga 260 juta orang pada tahun 2050. Kehadiran robot pun bisa menjadi penyelamat kekuatan ekonomi China.
Namun, untuk jangka pendek, otomasi yang kian gencar dapat memperparah pengangguran, khususnya bagi sekitar 70 persen pekerja berketerampilan rendah di China yang sampai 20 tahun ke depan masih akan berjibaku di pasar kerja. Untuk mereka, otomasi bukan jawaban, melainkan ancaman.
Realitas otomasi itu terasa kontras dengan problem minimnya lapangan kerja yang sedang dihadapi China.
Dilema itu mengingatkan akan kondisi di Tanah Air. Meski laju otomasi Indonesia masih jauh dari China, investasi padat karya mulai menurun. Salah satu faktor adalah maraknya otomasi, yang membuat sektor padat karya berubah menjadi padat teknologi. Fakta bahwa China bergumul dengan kelangkaan lapangan kerja juga ikut menambah sengitnya perebutan lapangan kerja antara pekerja lokal Indonesia dan pekerja asal China yang diboyong para investor.
Baca juga : Investasi Belum Maksimal Ciptakan Lapangan Kerja
Direktur Eksekutif Israel Epstein Center for Global Media Study Tsinghua University Zhou Qingan mengatakan, pengangguran menjadi salah satu tantangan serius terhadap modernisasi China, khususnya setelah Covid-19. Otomasi pun bisa menambah risiko itu dan mengancam eksistensi sejumlah profesi. Meski demikian, ia meyakini otomasi akan menciptakan lebih banyak kesempatan baru.
Kehadiran AI, ujarnya, hanya akan menggantikan pekerjaan kasar, tetapi bukan jenis pekerjaan yang butuh inovasi dan kreativitas. Investasi pada pendidikan dan angkatan kerja baru yang lebih terampil pun kini menjadi prioritas Pemerintah China. ”Saya selalu bilang pada murid-murid saya, jangan takut pada AI. Selama kamu jadi yang terdepan di bidangmu, AI tidak bisa menyentuhmu,” katanya.
Zhou membenarkan, ada kelompok lain yang perlu diperhatikan, yaitu angkatan kerja lama yang berketerampilan rendah. Untuk mereka, masih ada beberapa sektor yang belum terotomasi. Pekerjaan konstruksi untuk pembangunan infrastruktur di dalam negeri ataupun proyek infrastruktur dan investasi yang sedang digarap China di negara lain pun menjadi alternatif untuk menyerap pekerja.
”Paling tidak, untuk sekarang, itu yang bisa dilakukan untuk menciptakan pekerjaan padat karya,” ujar Zhou.