Perlu Strategi untuk Dongkrak Produksi dan Ekspor Udang
Serangan penyakit udang memicu produktivitas dan menurunkan nilai ekspor udang. Padahal, Indonesia tengah mengejar kenaikan produksi mencapai 2 juta ton dan pertumbuhan nilai ekspor 250 persen hingga tahun 2024.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya saing produk udang Indonesia dinilai menurun di tengah persaingan pasar yang semakin ketat. Target mengejar kenaikan ekspor udang periode 2020-2024 sebesar 250 persen dikhawatirkan tidak tercapai. Langkah strategis diperlukan untuk mendongkrak daya saing.
Udang merupakan komoditas unggulan ekspor perikanan yang terus digenjot pemerintah. Kontribusi ekspor udang mencapai 30-40 persen dari total ekspor perikanan. Pada periode 2020-2024, nilai ekspor udang ditargetkan mencapai 4,25 miliar dollar AS atau tumbuh 250 persen, sedangkan produksi ditargetkan 2 juta ton. Guna mencapai target itu, setiap tahun volume ekspor diharapkan tumbuh 15 persen dan nilai ekspor naik 20 persen.
Meski diunggulkan, sepanjang tahun 2022 tren produksi dan volume ekspor udang cenderung melemah. Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2022 volume ekspor udang tercatat 240.000 ton atau turun dibandingkan tahun 2021 sejumlah 250.700 ton. Adapun nilai ekspor udang tercatat 2,16 miliar dollar AS atau turun dibandingkan tahun sebelumnya 2,23 miliar dollar AS.
Ketua Forum Udang Indonesia Budhi Wibowo menilai, problem penyakit udang menjadi pemicu penurunan produksi. Salah satu penyakit yang merebak adalah bintik putih (WSSV) yang menyebabkan tingkat hidup (SR) udang menurun. Lebih dari itu, penggunaan pakan semakin tidak efisien. Hal ini ditandai dengan nilai perbandingan jumlah pakan dan bobot udang yang dihasilkan (FCR) yang semakin tinggi. Biaya produksi pun naik sehingga menurunkan daya saing udang Indonesia di pasar global.
Budhi meragukan target kenaikan nilai ekspor udang Indonesia sebesar 250 persen akan tercapai pada tahun 2024. Persoalannya bukan pada pasar, melainkan produksi dan daya saing yang menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan penuh pemerintah untuk meningkatkan daya saing produksi dengan menggerakkan tambak-tambak tradisional rakyat menjadi tambak tradisional plus.
”Target ekspor udang tidak akan bisa tercapai pada tahun 2024. Kondisi budidaya udang Indonesia tidak sedang baik-baik saja, daya saing di tingkat global semakin menurun,” kata Budhi saat dihubungi, Sabtu (1/4/2023).
Kondisi budidaya udang Indonesia tidak sedang baik-baik saja, daya saing di tingkat global semakin menurun.
Senada dengan itu, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia Haris Muhtadi menyebutkan, dampak serangan bintik putih menyebabkan banyak panen udang dipercepat. Produksi udang Indonesia juga menghadapi persaingan ketat dengan negara-negara produsen pesaing, seperti Ekuador, Vietnam, dan India.
Selain itu juga muncul calon pesaing baru negara-negara produsen udang yang gencar berekspansi, seperti Arab Saudi, negara-negara Timur Tengah, dan Afrika Utara. Sebagai contoh, Arab Saudi terus berekspansi tambak udang dengan dukungan teknologi dan pakan dari China.
Menurut Haris, pembenahan produksi udang nasional mendesak dilakukan melalui efisiensi produksi serta menggarap pasar-pasar baru yang potensial, seperti China, Eropa, dan Eropa timur.
Budhi menilai, pengembangan tambak tradisional plus menjadi jalan pintas peningkatan produksi udang nasional. Tambak tradisional saat ini mendominasi luas tambak udang nasional, yakni mencapai 250.000-300.000 hektar. Jika dikelola menjadi tambak tradisional plus, produksi udang dipastikan meningkat.
Tambak tradisional plus dengan padat tebar rendah sekitar 10 ekor per meter persegi tambak juga dipandang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan karena tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan dan meningkatkan branding Indonesia di pasar global. Perubahan dari tradisional menjadi tradisional plus juga tidak memerlukan modal besar untuk biaya tambahan pakan dan aerator dalam jumlah terbatas.
Persoalannya, salinitas dan irigasi tambak udang tradisional masih rendah, ditandai banyaknya saluran mampat akibat endapan di muara sungai. Akibatnya, penyakit udang merebak. Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus melakukan perbaikan irigasi tambak tradisional, termasuk pengerukan muara sungai.
”Pemerintah diharapkan mengalokasikan anggaran untuk tambak-tambak tradisional sebesar anggaran untuk shrimp estate,” ujar Budhi.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meresmikan tambak budidaya udang berbasis kawasan (shrimp estate) di Kebumen, Jawa Tengah, pada tanggal 9 September 2023. Tambak udang ramah lingkungan ini ditetapkan menjadi percontohan pembangunan tambak udang modern di Indonesia. Pembangunan tambak budidaya udang berbasis kawasan itu dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggunakan APBN senilai Rp 175 miliar.
Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, beberapa waktu lalu, tambak budidaya udang berbasis kawasan di Kebumen menjadi model percontohan, sejalan dengan upaya Indonesia mengejar target produksi udang 2 juta ton pada tahun 2024.
”Bagaimana mencapai (target produksi) 2 juta ton? Kalau dengan jumlah luasan tambak yang ada masih, dengan penanganan tradisional, tidak akan bisa, (karena produksi) 0,6 ton per ha. Model (shrimp estate) ini sesuai best practice, yakni produksi 40 ton per ha. Kalau ini berhasil, maka kami usulkan ke Kementerian Keuangan untuk kemudian revitalisasi tambak-tambak udang yang ada menjadi seperti tambak di Kebumen,” ujarnya.
Tambak modern itu dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), pengelolaan air tambak, hingga ruang laboratorium.
Tambak berbasis kawasan di Kebumen seluas 60 hektar terdiri atas 149 petak tambak dengan produktivitas awal 40 ton per hektar per tahun. Tambak modern itu dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), pengelolaan air tambak, hingga ruang laboratorium. Tambak itu mengimplementasikan cara budidaya ikan yang baik untuk menjaga optimalisasi pertumbuhan udang.
Haris menilai, pengembangan tambak udang berbasis kawasan di Kebumen itu memiliki kelebihan, yakni produksi lebih tinggi, dilengkapi pengelolaan air dan IPAL, serta upaya transfer teknologi kepada petambak udang skala intensif. ”Namun, biaya investasi yang mahal membuat tidak banyak petambak mampu menirunya,” katanya.