Upaya peningkatan produksi udang nasional dinilai perlu berlandaskan usaha rakyat. Pengembangan tambak tradisional plus dinilai menjadi solusi untuk menggenjot produksi.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan tambak tradisional plus dinilai dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produksi udang yang berkelanjutan. Pada tahun 2024, pemerintah telah menargetkan produksi udang mencapai 2 juta ton.
Produksi udang Indonesia di pasar dunia tengah menghadapi persaingan ketat dari negara-negara pesaing utama, seperti India, Ekuador, dan Vietnam, yang terus membanjiri pasar dengan harga lebih efisien. Indonesia yang selama ini unggul dalam pasokan produk udang berukuran besar ke AS mulai tersalip oleh Ekuador dan India.
Dari laman Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional Perikanan (NOAA Fisheries), Kementerian Perdagangan AS, selama Januari-Desember 2022, pasokan udang India ke AS tercatat 303.574 metrik ton (MT), pasokan udang asal Ekuador tercatat 199,813 MT, dan pasokan udang asal Indonesia 166.954 MT.
Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Haris Muhtadi mengemukakan, pengalaman produksi udang di Ekuador memperlihatkan tradisional plus berkembang pesat. Indonesia memiliki tambak tradisional sangat luas, mencapai 300.000 hektar, dan berpotensi besar untuk ditingkatkan menjadi tradisional plus. Jika setiap tahun kapasitas produksi tambak tradisional berkisar 400-500 kilogram per hektar (ha), produksi tambak tradisional plus mencapai 2-3 ton/ha/tahun.
Ia menilai, potensi tambak tradisional plus merupakan raksasa tidur, yang bila ditangani dengan baik akan mampu mengejar target produksi udang nasional, bahkan mengejar produksi udang Ekuador. Tambak udang tradisional plus juga dinilai lebih efisien biaya produksi, relatif lebih rendah risiko, dan bisa dikerjakan oleh pengusaha skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Biaya investasi yang diperlukan sekitar Rp 15 juta-Rp 20 juta berupa pompa, dan perbaikan lahan tanggul pematang.
”Tambak tradisional yang didorong ke arah tradisional plus akan meningkatkan produksi udang nasional secara signifikan,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (30/3/2023).
Haris menambahkan, tambak tradional plus dinilai lebih berkelanjutan secara lingkungan karena tidak mengonversi lahan produktif, bisa mempertahankan area bakau, rendah jejak karbon, dan lebih ramah lingkungan sehingga bisa memiliki nilai jual premium. Selain itu, memberdayakan masyarakat dan ibu ibu rumah tangga.
Meski demikian, guna mendorong tambak tradisional menjadi tradisional plus diperlukan dukungan pemerintah dalam penyediaan infrastruktur dasar, seperti saluran air, akses jalan, dan listrik.
Tambak terintegrasi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meresmikan tambak budidaya udang berbasis kawasan (shrimp estate) di Kebumen, Jawa Tengah, pada 9 September 2023. Tambak udang ramah lingkungan ini ditetapkan menjadi percontohan pembangunan tambak udang modern di Indonesia. Pembangunan tambak budidaya udang berbasis kawasan itu dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menggunakan APBN senilai Rp 175 miliar.
”Kita harapkan ini akan menjadi sebuah contoh yang baik bagi budidaya udang vaname yang memerlukan kebersihan air, yang memerlukan betul-betul manajemen detail, dan kita harapkan ini menjadi contoh bagi kita semua,” ujar Presiden Jokowi.
Tambak di shrimp estate seluas 60 hektar terdiri dari 149 petak tambak dengan produktivitas awal 40 ton per hektar per tahun. Tambak modern itu dilengkapi instalasi pengelolaan air limbah (IPAL), pengelolaan air tambak, hingga ruang laboratorium. Tambak itu mengimplementasikan metode cara budidaya ikan yang baik (CBIB) untuk menjaga optimalisasi pertumbuhan udang.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menambahkan, selain di Kebumen, KKP juga merencanakan pembangunan tambak budidaya udang modern ramah lingkungan di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, seluas 1.800 hektar. Tambak ini direncanakan menjadi tambak udang terintegrasi hulu hingga hilir.
Haris menilai, pengembangan shrimp estate di Kebumen memiliki kelebihan produksi lebih tinggi, dilengkapi pengelolaan air dan instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Selain itu, ada upaya transfer teknologi pada petambak udang skala intensif. ”Namun, biaya investasi yang mahal membuat tidak banyak petambak mampu menirunya,” kata Haris.
Menurut Haris, pengembangan tambak udang skala intensif cukup diserahkan ke petambak besar yang sudah memiliki keterampilan dan modal. Terkait dengan itu, dukungan pemerintah yang diperlukan cukup itu berupa kemudahan perizinan dan jaminan keamanan. ”Bukan tugas KKP budidaya udang secara komersial. KKP cukup mengelola farm percontohan, sisanya serahkan ke swasta,” ujarnya.
Pengelolaan seluruh kawasan shrimp estate dinilai perlu melibatkan petambak dan swasta. Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada keuntungan jangka pendek, tetapi juga menjadi model tambak yang ideal di tengah tantangan yang terus berubah, seperti penyakit dan tuntutan pasar internasional yang kian mensyaratkan sertifikasi.