Alih-alih turun, harga daging sapi di pasaran justru naik sejak pemerintah membuka keran impor daging dari India, sementara peternak kian tertekan. Kebijakan itu justru menjauhkan Indonesia dari dua ”pulau” tujuan.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Tujuh tahun lalu, pemerintah menggulirkan kebijakan impor daging dari India. Tujuannya menurunkan harga daging sapi yang bergejolak di dalam negeri. Dengan harga yang murah, yakni kurang dari setengah harga daging asal Australia, langkah impor daging dari India diharapkan memberi masyarakat alternatif daging dengan harga lebih terjangkau.
Guna mendukung langkah itu, pemerintah menerbitkan payung hukumnya, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan atau Produk Hewan dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara Asal Pemasukan. Instrumen pelaksananya pun diterbitkan, yaitu lewat Peraturan Menteri Pertanian Nomor 17/2016 tentang Pemasukan Daging Tanpa Tulang dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara/Zona dalam Suatu Negara Asal Pemasukan.
Keputusan itu segera diprotes peternak dan pengusaha sapi potong di dalam negeri. Impor daging sapi/kerbau dari India dinilai bukan solusi yang tepat menekan harga daging. Sebab, selain berisiko membawa masuk penyakit mulut dan kuku (PMK) karena India belum bebas PMK, keputusan itu dikhawatirkan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi peternak dan pelaku industri peternakan sapi potong domestik.
Sejak saat itu, impor daging sapi/kerbau melonjak tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam ”Outlook Daging Sapi dan Kerbau 2022” yang diterbitkan Kementerian Pertanian menunjukkan, volume impor daging sapi Indonesia naik dari 52.782 ton tahun 2015 menjadi 148.964 ton tahun 2016. Selama kurun 1996-2015 volume impor berkisar 8.526-107.172 ton per tahun, tetapi sejak 2017 volumenya selalu di atas 150.000 ton per tahun dan cenderung naik. Pada tahun 2021, volume impor daging sapi telah mencapai 276.761 ton, sementara sepanjang Januari-September 2022 mencapai 227.266 ton.
Sejak itu pula harga daging sapi di tingkat konsumen selalu di atas Rp 100.000 per kilogram (kg). Tujuh tahun terakhir, harganya justru terus naik, yakni dari Rp 104.328 per kg tahun 2016 menjadi Rp 134.960 per kg tahun 2022. Padahal, impor daging dari India dimaksudkan sebagai kebijakan jangka sangat pendek guna menyediakan daging yang terjangkau, yakni dengan rentang harga Rp 65.000-Rp 85.000 per kg.
Belum tercapai
Dalam surat kepada redaksi, terbit di harian ini pada Oktober 2016, seorang pejabat di lingkungan Kementerian Pertanian memberi penjelasan terkait kebijakan impor daging asal India. Menurut dia, pemerintah tidak selamanya bergantung pada daging impor. Volume impor akan perlahan diganti dengan daging lokal. Produksi sapi didorong melalui program sapi indukan wajib bunting dengan inseminasi buatan serta program wajib rasio 5:1 impor sapi bakalan dan sapi indukan. Menurut dia, hasilnya akan dipetik 3-4 tahun.
Apakah harapan pemerintah itu tercapai? Target penyediaan daging sapi/kerbau dengan harga terjangkau jelas tak tercapai. Alih-alih turun, harga daging di pasaran tetap tinggi dan justru cenderung naik dari tahun ke tahun. Konsumen di pasar tradisional bahkan sering jadi korban. Mereka harus membayar daging lebih mahal karena daging kerbau impor diklaim dan dijual sebagai daging sapi.
Target menekan ketergantungan pada daging impor juga tak tercapai. Hal itu tecermin dari volume impor yang justru makin besar. Apakah peningkatan itu karena konsumsi naik? Jika mengacu data BPS, konsumsi per kapita naik 17,1 persen dari 2,1 kg tahun 2015 menjadi 2,46 kg tahun 2021, sementara volume impornya melonjak 85,8 persen selama kurun 2016-2021.
Apakah peternak lokal makin sejahtera dan berdaya? Oleh karena tertekan oleh keberadaan daging impor dengan harga lebih murah di pasaran, tak jarang peternak terpaksa menjual dan memotong sapi betina guna memenuhi kebutuhan hidup sekaligus menghasilkan daging dengan harga yang lebih kompetitif. Selain itu, margin usaha juga tertekan. Sejak impor daging makin masif, peternak sapi lokal hanya mengandalkan dua momentum saja sepanjang tahun, yakni ketika permintaan dan harga meningkat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Sebab, di luar momentum itu, harga jual sapi hidup sering tak masuk hitungan alias rugi jika mereka harus menjual sapi.
Dengan segenap kendala di hulu, seperti ketersediaan bibit sapi unggul serta keterbatasan modal dan lahan untuk pakan, peternak harus ”bertarung” di hilir. Mereka mesti bersaing dengan daging impor yang dijual dengan harga lebih murah. Selain peternak, para pelaku di rantai pasok pun terdampak kebijakan impor daging, terutama rumah pemotongan hewan.
Dengan segenap situasi itu, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan impor daging dan produksi sapi potong selama ini. Sebab, indikator harga daging di tingkat konsumen dan target produksi di hulu masih jauh dari tercapai. Ibarat mendayung, kebijakan impor daging bisa jadi justru menjauhkan Indonesia dari dua ”pulau” tujuan, yakni harga daging yang terjangkau di konsumen dan peternak sapi potong yang makin berdaya di hulu.