Dengan biaya produksi Rp 120.000 per kg daging sapi, peternak harus bersaing menghadapi daging impor asal India yang harga jualnya di tingkat konsumen Rp 80.000 per kg. Situasi dinilai tak menguntungkan peternak sapi.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
Peternak sapi potong Tanah Air menghadapi situasi yang serba sulit beberapa tahun terakhir. Dengan segenap keterbatasannya, mereka mesti menghadapi problem yang kompleks di hilir. Dengan desain kebijakan yang dinilai kurang mendukung pengembangan usaha di hulu, beternak sapi potong seolah jadi pekerjaan yang sia-sia. Peternak mesti siap dengan risiko rugi setiap saat.
Bayangkan, untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi segar di tingkat konsumen, pelaku industri sapi potong mesti mengeluarkan ongkos produksi Rp 140.000 per kilogram (kg). Namun, harga acuan penjualan di tingkat konsumen dipatok lebih rendah dari angka itu. Daging sapi lokal juga mesti ”bertarung” dengan daging kerbau impor yang harga jualnya jauh lebih rendah.
Harga acuan daging sapi di tingkat konsumen, menurut Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 11 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen Komoditas Kedelai, Bawang Merah, Cabai Rawit Merah, Cabai Merah Keriting, Daging Sapi/Kerbau, dan Gula Konsumsi, ditetapkan Rp 130.000 per kg untuk paha depan segar dan Rp 140.000 per kg untuk paha belakang segar.
Padahal, menurut Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia Nanang Purus Subendro, harga keekonomian daging sapi di tingkat konsumen berkisar Rp 140.000 per kg. ”Kebijakan harga (daging sapi) saat ini lebih berpihak ke konsumen,” kata Nanang dalam wawancara daring bersama Litbang Kompas, Selasa (14/3/2023).
Analisis data partisipasi konsumen Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, kelompok masyarakat kelas menengah ke atas dan rumah tangga di kota-kota besar mendominasi konsumsi daging sapi. Hal itu berarti, kata Nanang, peternak seolah sedang menyubsidi kelompok masyarakat yang mampu karena harga di tingkat produsen kerap tertekan.
Kalangan peternak sapi potong, kata Nanang, menyayangkan kehadiran daging kerbau impor yang turut menekan harga daging sapi hasil produksi peternak domestik. ”Dengan biaya pokok produksi daging sapi sekitar Rp 120.000 per kg, kami harus bersaing menghadapi daging kerbau beku impor dari India yang harga jual di tingkat konsumennya Rp 80.000 per kg. Kami juga kesulitan menjual lantaran ada rembesan dari daging kerbau impor di pasar daging sapi,” katanya.
Kebijakan impor daging asal India sejatinya dimaksudkan sebagai langkah jangka pendek untuk menekan harga daging sapi yang bergejolak di pasar domestik. Namun, impor terus berlangsung sejak tahun 2016 dengan volume yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Data BPS yang dikutip dalam ”Outlook Daging Sapi dan Kerbau 2022” menunjukkan, volume impor daging sapi Indonesia naik dari 52.782 ton tahun 2015 menjadi 148.964 ton tahun 2016. Selama kurun 1996-2015 volume impor berkisar 8.526-107.172 ton per tahun, tetapi sejak 2017 volumenya selalu di atas 150.000 ton per tahun dan cenderung naik. Pada tahun 2021, volume impor daging sapi telah mencapai 276.761 ton, sementara sepanjang Januari-September 2022 mencapai 227.266 ton.
Tahun ini, volume impor daging jenis lembu dari India belum menunjukkan tren turun. Pada Januari 2023, misalnya, volume impor mencapai 13.496 ton. Jumlah ini melonjak jika dibandingkan Januari 2022 yang tercatat 308 ton dan Desember 2022 yang sebesar 28 ton. Impor daging lembu dari India sepanjang 2022 mencapai 105.756 ton atau naik dari tahun sebelumnya yang tercatat 89.954,8 ton.
Redam harga
Selain masih berkutat dengan persaingan harga daging di pasar, kata Nanang, peternak kini menghadapi situasi yang sulit setelah merugi akibat wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) tahun lalu. Peternak yang mesti mengafkir dini sapinya menghadapi penurunan nilai produksi 40-50 persen. Sementara harga jual sapi sehat turun 10 persen dan sapi yang sembuh dari PMK turun sekitar 15 persen berat badannya.
Segenap situasi itu melemahkan motivasi peternak. Padahal, jika ada insentif usaha yang menjanjikan, setidaknya harga jual sapi menguntungkan, peternak akan tergerak untuk meningkatkan skala usaha serta produksinya. Dalam jangka panjang, situasi yang menguntungkan peternak itu akan mendongkrak produksi sapi sekaligus mengokohkan ketahanan pangan nasional.
Dalam jangka menengah dan panjang, menurut Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, impor daging kerbau beku efektif untuk memberikan pilihan daging kepada masyarakat. Dia menambahkan, impor daging kerbau hingga Lebaran 2023 diperkirakan bakal mencapai 17.000 ton.
Terkait dampak impor daging kerbau beku terhadap industri peternakan sapi potong di dalam negeri, Arief menambahkan, produksi domestik harus disiapkan dengan baik. ”Utamanya oleh seluruh komponen bangsa ini,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (22/3/2023).
Sementara itu, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menilai, impor daging kerbau sebaiknya untuk industri makanan yang memproduksi olahan daging, seperti bakso atau sosis, dan bukan untuk konsumsi langsung masyarakat. Dengan demikian, pelaku industri bisa mendapatkan bahan baku yang lebih murah, sedangkan pasar konsumen mendapatkan daging dari sapi yang dikembangbiakkan di dalam negeri.
Menurut Yeka, pengembangan sapi potong membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun sehingga tidak boleh bergantung pada keputusan politis. ”Pembibitan indukan unggul mesti diperkuat di balai peternakan yang dikelola profesional sehingga dapat menguntungkan peternak. Pengembangan lahan untuk pakan juga patut menjadi perhatian,” katanya.
Sejak Jumat (17/3/2023), Kompas telah menghubungi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nasrullah terkait upaya pemerintah meningkatkan populasi sapi potong dan kesejahteraan peternak. Dia meminta Kompas menghubungi tim hubungan masyarakat (humas). Namun, hingga berita ini diturunkan, tidak ada jawaban.