Pemerintah mendorong kementerian dan lembaga melakukan belanja berkualitas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendorong kementerian dan lembaga melakukan belanja berkualitas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran. Pelaksanaan belanja berkualitas sejalan dengan kebijakan automatic adjustment atau pencadangan belanja yang kembali harus dilakukan kementerian/lembaga pada tahun ini.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata mengatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran telah diundangkan pada 16 Februari 2023. PP No 6/2023 ini menggantikan PP No 90/2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
”Tujuan kami membuat PP No 6/2023 bersama kementerian/lembaga lain bukan untuk menghemat (anggaran), melainkan untuk membuat belanja berkualitas. Belanja berkualitas itu berarti tujuan tercapai, output (hasil) dan outcome (dampak/manfaat) tercapai dengan anggaran yang tidak berlebihan,” kata Isa di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Dengan PP No 6/2023, penyusunan anggaran oleh kementerian/lembaga tidak lagi untuk jangka pendek atau untuk satu tahun ke depan, tetapi disusun penganggaran jangka menengah. Selain untuk satu tahun ke depan, anggaran juga disusun untuk tiga tahun berikutnya. Hal itu untuk memastikan keberlanjutan berbagai kegiatan meski anggaran itu masih bisa direvisi atau diperbaiki.
”Seperti tahun ini, kita tidak hanya merencanakan Rancangan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun 2024, tetapi juga RAPBN tahun 2025, 2026, dan 2027. Ini mulai diperkuat perencanaan dan estimasi awal penganggaran, yang nanti masih bisa direvisi,” ujarnya.
Isa mengatakan, kementerian/lembaga harus mencoba membuat estimasi yang pas. Sebab, anggaran yang terlalu besar dan akhirnya tidak termanfaatkan menunjukkan adanya inefisiensi dalam proses penganggaran. Untuk itu, kementerian/lembaga harus berusaha mencari yang seimbang, yang tidak berlebihan ataupun berkekurangan.
”Akan lebih baik kalau bisa membuat estimasi yang akurat, tidak kurang atau lebih. Tetapi, kalau memang terpaksa, lebih baik melakukan koreksi atau meminta tambahan (anggaran) daripada anggarannya kebanyakan dan tidak digunakan,” katanya.
Menurut Isa, apa yang diharapkan dari PP No 6/2023 sebetulnya sudah mulai dijalankan kementerian/lembaga pada 2022 dengan adanya kebijakan pencadangan belanja. Tahun ini, total anggaran yang dicadangkan Rp 50,23 triliun. Nilai pencadangan belanja ada di kementerian/lembaga masing-masing dan tidak ditarik ke Kemenkeu.
”Automatic adjustment itu bukan pemotongan (refocusing) seperti yang dilakukan pada 2020-2021, tetapi ini adalah blokir untuk simpanan dalam rangka mengantisipasi kondisi-kondisi yang urgen atau darurat,” katanya.
Ia mencontohkan, pada 2022 Kementerian Pertanian meminta izin melakukan perubahan penggunaan anggaran karena harus menangani penyakit mulut dan kuku (PMK) pada hewan ternak secara cepat. Bahkan, karena kedaruratan pada waktu itu, di bulan Juni sudah dilakukan relaksasi anggaran di Kementan tanpa harus menunggu semester kedua.
”Kalau terjadi keadaan darurat, terpaksa ada perubahan tujuan penggunaan anggaran. Kalau tidak ada kondisi darurat, (anggaran yang diblokir) digunakan sesuai tujuan semula dan dijalankan pada semester kedua,” katanya.
Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu Robi Toni mengatakan, pencadangan belanja diprioritaskan untuk belanja pegawai yang dapat diefisienkan, belanja barang yang dapat diefisienkan, serta belanja modal yang dapat diefisienkan. Contohnya, belanja honor, perjalanan dinas, paket rapat atau pertemuan, belanja barang ataupun operasional.
Pencadangan belanja dikecualikan untuk belanja bantuan sosial yang permanen, seperti penerima bantuan iuran jaminan kesehatan, program keluarga harapan, bantuan bahan pokok, belanja terkait rapat pemilu, belanja Ibu Kota Negara Nusantara, pembayaran kontrak tahun jamak, dan belanja untuk membayar ketersediaan layanan.
”Ini adalah upaya pemerintah untuk memitigasi dampak ketidakpastian ekonomi global sehingga APBN masih mampu menahan gejolak. Pemerintah tetap mewaspadai risiko atau dampak dari ketidakpastian global, risiko fiskal dan komoditas, serta geopolitik,” kata Robi.
Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu Didik Kusnaini menyebutkan, ada lima indikator belanja kementerian/lembaga yang berkualitas, yaitu efisien, efektif, sesuai prioritas (mendukung prioritas pembangunan nasional), harus transparan, dan harus akuntabel. ”PP No 6/2023 mendorong belanja berkualitas untuk jangka menengah,” katanya.