Penerimaan negara di tahun 2023 berpotensi menjulang sepanjang pemerintah mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran target, yakni di atas 5 persen.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara
JAKARTA, KOMPAS — Kendati menanggung beban pembengkakan subsidi dan kompensasi energi tahun ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada tahun 2023 akan tetap konsisten di jalur konsolidasi fiskal. Menemukan titik keseimbangan antara instrumen pendapatan dan belanja menjadi prioritas pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara saat mengunjungi kantor Redaksi Kompas di Jakarta, Rabu (7/9/2022). Ia menegaskan, untuk mencapai target defisit fiskal 2,85 persen dari produk domestik bruto (PDB), pemerintah tidak akan sekadar menarik penerimaan sebanyak-banyaknya, tetapi berupaya agar operasi APBN bisa berdampak pada bergulirnya perekonomian.
”Kalau begitu artinya pemerintah harus gelontorkan insentif, subsidi, dan bansos, ya tidak masalah karena yang ingin kita lihat itu hasil pada tercapainya pertumbuhan dan pemerataan perekonomian,” ujarnya.
Untuk mencapai target defisit fiskal 2,85 persen dari produk domestik bruto, pemerintah tidak akan sekadar menarik penerimaan sebanyak-banyaknya, tetapi berupaya agar operasi APBN bisa berdampak pada bergulirnya perekonomian. (Suahasil Nazara)
Dalam asumsi makro Rancancangan APBN (RAPBN) 2023, proyeksi pertumbuhan ekonomi pada tahun depan berada pada level 5,3 persen. Suahasil mengatakan, proyeksi tersebut realistis mengingat sumber pertumbuhan ekonomi, yakni konsumsi dan investasi, telah pulih sejak akhir tahun 2021.
Suahasil menuturkan, salah satu upaya pemerintah untuk mencapai target defisit fiskal pada tahun depan adalah dengan memanfaatkan sumber penerimaan negara tidak berulang tahun ini, seperti windfall komoditas dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS), lalu mengonversikannya pada instrumen belanja negara yang dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi.
”Untuk mengejar target defisit fiskal, unsur penerimaan memang penting, tetapi tidak boleh sampai membuat pertumbuhan perekonomian berhenti. Kita mengalkulasi proyeksi penerimaan di level tertentu yang kemudian bisa mendorong perekonomian tetap bergulir,” kata Suahasil.
Dalam RAPBN 2023, jumlah pendapatan negara dicanangkan sebesar Rp 2.443,6 triliun terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 2.016,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 426,3 triliun, serta hibah sebesar Rp 400 miliar. Adapun proyeksi belanja negara sebesar Rp 3.041,7 triliun terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 2.230 triliun serta transfer ke daerah Rp 811,7 triliun. Dengan begitu, defisit atau selisih antara belanja dan pendapatan negara mencapai Rp 598,2 triliun.
Dihubungi secara terpisah, ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, penerimaan negara berpotensi menjulang sepanjang pemerintah mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran target yakni di atas 5 persen pada tahun depan.
”Penerimaan menjadi pendorong agar defisit anggaran berada pada kisaran target yang ditentukan oleh pemerintah. Optimalisasi penerimaan menjadi satu-satunya opsi yang ideal ditempuh oleh pemerintah untuk menjaga defisit selain mengupayakan agar distribusi subsidi lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) yang dilakukan dalam bentuk penataan ulang subsidi energi merupakan pijakan awal bagi pemerintah untuk menuju konsolidasi fiskal pada tahun depan.
”Meski begitu, adanya pengalihan beban dari APBN 2022 ke APBN 2023 juga perlu dicermati sehingga misi konsolidasi tetap aman,” kata Ajib.
Pada tahun ini, pemerintah berupaya mengompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi dengan aliran bantuan sosial yang diyakini lebih tepat sasaran ketimbang distribusi subsidi energi. Karena adanya keterbatasan kuota BBM bersubsidi bisa habis pada Oktober 2022 akibat peningkatan konsumsi masyarakat, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan harga pertalite dan biosolar.
Sebelum adanya keputusan kenaikan harga BBM bersubsidi, hingga akhir tahun anggaran subsidi dan kompensasi energi diperkirakan bisa mencapai Rp 698 triliun. Namun, dengan adanya kenaikan harga BBM bersubsidi, kebutuhan subsidi energi bisa ditekan menjadi Rp 650 triliun. Jumlah ini tetap meningkat dari penganggaran sebelumnya Rp 502,4 triliun.
Berdasarkan kalkulasi Kementerian Keuangan, kenaikan harga pertalite dan biosolar membuat 60 persen masyarakat kelas ekonomi atas, dari desil kelima hingga desil kesepuluh, harus menanggung Rp 42,2 triliun. Sementara itu, 40 persen masyarakat kelas ekonomi bawah, dari desil pertama hingga desil keempat, perlu menanggung Rp 8,1 triliun dari kenaikan harga BBM bersubsidi.
Berdasarkan perhitungan tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu menuturkan, pemerintah harus memberikan bantalan ekonomi yang lebih besar dari Rp 8,1 triliun kepada 40 persen masyarakat kelas ekonomi terbawah.
Pemerintah harus memberikan bantalan ekonomi yang lebih besar dari Rp 8,1 triliun kepada 40 persen masyarakat kelas ekonomi terbawah. (Febrio Kacaribu)
Untuk, itu hingga pengujung tahun ini pemerintah telah mengalokasikan anggaran bantuan langsung tunai (BLT), bantuan subsidi upah (BSU), serta penggunaan 2 persen dana transfer umum (DTU) daerah dengan total anggaran mencapai Rp 24,17 triliun untuk memitigasi dampak negatif kenaikkan harga BBM terhadap ekonomi masyarakat.
Secara rinci, BLT yang akan langsung menyasar mereka dianggarkan sebesar Rp 12,4 triliun. Sementara, kelompok masyarakat yang merupakan kelas pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan juga mendapatkan BSU yang nilainya mencapai Rp 9,6 triliun.
Di samping itu, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022 telah mengamanatkan 2 persen penggunaan DTU untuk bantuan sosial di daerah. Penggunaan bantuan sosial tersebut termasuk untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), nelayan, penciptaan lapangan kerja, dan subsidi sektor transportasi angkutan umum di daerah.
”Inilah yang akhirnya membuat pemerintah yakin bahwa bantuan yang didesain sebagai pengalihan dari subsidi energi akan bisa menahan beban yang ditanggung oleh masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan,” kata Febrio.