Peluang di sektor perumahan masih cukup tinggi berkaca pada rendahnya kontribusi kredit perumahan terhadap produk domestik bruto Indonesia.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang tahun 2022, PT Sarana Multi Finansial (Persero) atau SMF berhasil membukukan pendapatan sebesar Rp 2,1 triliun dan mencetak laba bersih Rp 418 miliar. Angka ini turun dari capaian tahun 2021 akibat gejolak di pasar pembiayaan primer. Perseroan menyiapkan sejumlah langkah agar tetap dapat tumbuh tahun 2023.
Di samping itu, peluang di sektor perumahan masih cukup tinggi berkaca pada masih rendahnya kontribusi kredit perumahan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Diperlukan perubahan terhadap tata kelola dan regulasi agar kredit perumahan bisa didongkrak.
Direktur Keuangan dan Operasional SMF Bonai Subiakto menjelaskan, tahun lalu SMF bersama Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) berhasil merealisasikan pembiayaan 226.000 unit rumah lewat skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). ”Kami berhasil memenuhi, bahkan melebihi target dari pemerintah sebesar 200.000 unit,” ucapnya di Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Meski mampu merealisasikan target, pendapatan dan laba bersih SMF tahun 2022 lebih rendah dibanding capaian tahun 2021. Pada 2021, SMF berhasil membukukan pendapatan Rp 2,1 triliun. Adapun perolehan laba bersih tahun tersebut sebesar Rp 460 miliar.
Penurunan tersebut diakibatkan kondisi likuiditas perbankan yang masih berlimpah di pasar primer. Hal tersebut membuat penyerapan dana dari pasar primer ke pasar sekunder terhambat sehingga mengganggu kinerja perseroan. Likuiditas tinggi dinilai terjadi akibat dana pihak ketiga (DPK) perbankan masih banyak yang belum tersalurkan.
”SMF yang berfokus di pasar sekunder terdampak kondisi likuiditas perbankan di pasar primer yang masih berlimpah. Sektor properti belum sepenuhnya pulih sehingga DPK masih belum tersalurkan dengan optimal,” kata Bonai.
Selain itu, sepanjang tahun 2022 SMFsudah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 11,2 triliun yang terbagi atas penyaluran ke kredit komersial sebesar Rp 5,2 triliun dan ke kredit FLPP sebesar Rp 6 triliun.
Penyaluran pinjaman ini naik dari capaian tahun 2021 yang sebesar Rp 8,8 triliun. Tahun 2023, SMF memasang target penyaluran yang sama di kisaran Rp 10 triliun-Rp 11 trilliun mengingat masih ada ancaman ketidakpastian ekonomi tahun 2023. Sejak berdiri tahun 2005 hingga kini, SMF telah mengalirkan pembiayaan sebesar Rp 89,75 triliun.
”Pembiayaan SMF naik 28 persen dari tahun 2021 ke tahun 2022. Di tahun 2023 targetnya kurang lebih sama di angka tersebut,” ujar Bonai.
Sepanjang 2022 SMF menyalurkan dana kepada 1.508.724 debitur. Perseroan juga terlibat dalam beberapa proyek pengembangan, yaitu pembiayaan pembangunan 152 homestay di beberapa daerah wisata dan merenovasi 373 rumah tidak layak huni di 16 lokasi kumuh.
Kondisi ekonomi yang masih bergejolak tahun 2023 membuat SMF perlu berhati-hati. Direktur Utama SMF Ananta Wiyogo menjelaskan, tahun ini pihaknya menyiapkan beberapa rencana kerja, seperti mengembangkan kegiatan usaha dan menawarkan beberapa produk yang salah satunya skema rent to own (RTO). Melalui skema RTO, masyarakat khususnya dari kelompok penghasilan tidak tetap bisa memiliki hunian dengan skema menyewa terlebih dahulu.
”Kami juga akan memperkuat pendanaan lewat kerja sama dengan beberapa lembaga dalam dan luar negeri,” ucapnya.
Selain itu, kerja sama antara berbagai pihak akan diintensifkan sejak kehadiran Sekretariat Ekosistem Pembiayaan Perumahan yang disepakati oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Keuangan pada Januari lalu. Kehadiran sekretariat ini diharapkan membuat kebijakan pembiayaan perumahan di Indonesia menjadi lebih terarah mengingat banyaknya kepentingan yang terlibat di dalamnya.
Chief Economist SMF Martin Daniel Siyaranamual menambahkan, sektor pembiayaan lewat kredit pemilikan rumah (KPR) di Indonesia belum tumbuh optimal. Hal ini didasarkan pada rasio KPR terhadap PDB yang masih rendah. Tercatat rasio KPR terhadap PDB di Indonesia masih di angka 2,99 persen, jauh tertinggal dari tetangga Malaysia yang 38,48 persen dan Singapura 34,58 persen.
Menumbuhkan peluang di sektor ini dinilai mampu memberikan efek pengganda perekonomian bagi 170 industri lain karena dekat dengan kebutuhan dasar masyarakat dan industri. Peluang juga tecermin dari tingkat backlog perumahan yang cukup tinggi di angka 12,1 juta unit.