Manfaat Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Ditingkatkan
Melalui Permenaker No 4/2023, pemerintah memutuskan menambah nilai manfaat ataupun meluncurkan manfaat baru jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memutuskan meningkatkan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan yang diterima oleh pekerja migran Indonesia, mulai dari sebelum berangkat hingga kembali pulang dari negara penempatan. Kebijakan ini perlu diikuti dengan tata kelola penempatan agar pekerja mendapat perlindungan yang optimal.
Keputusan meningkatkan cakupan manfaat jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja migran Indonesia (PMI) terangkum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Permenaker yang menggantikan Permenaker Nomor 18 Tahun 2018 ini diundangkan pada 22 Februari 2023.
Sama seperti Permenaker No 18/2018, Permenaker No 4/2023 mewajibkan PMI menjadi peserta jaminan kematian (JKM) dan jaminan kecelakaan kerja (JKK). Kedua permenaker ini tetap membebaskan PMI jadi peserta jaminan hari tua (JHT) atau tidak.
Terkait iuran, Permenaker No 18/2018 menyatakan iuran JKK dan JKM diseragamkan sebesar Rp 370.000 (apabila ditempatkan melalui pelaksana penempatan) dan Rp 332.500 (untuk PMI perseorangan). Namun, hal itu diubah melalui Permenaker No 4/2023. PMI yang ditempatkan melalui pelaksana penempatan dan bekerja 24 bulan harus membayar iuran JKK dan JKM tetap sebesar Rp 370.000, bekerja 12 bulan menjadi Rp 226.500, dan 6 bulan bekerja sebesar Rp 145.500.
Untuk PMI perseorangan, Permenaker No 4/2023 mengamanatkan iuran bekerja 24 bulan sebesar Rp 332.500, bekerja 12 bulan menjadi Rp 189.000, dan bekerja 6 bulan sebesar Rp 108.000.
Ada beberapa peningkatan manfaat yang ditawarkan Permenaker No 4/2023. Sebagai contoh, PMI yang mengalami kecelakaan kerja di negara penempatan tidak harus pulang ke Indonesia dulu untuk mendapatkan penjaminan biaya perawatan, tetapi bisa dibiayai perawatannya di negara penempatan dengan biaya maksimal Rp 50 juta per kasus kecelakaan kerja. Mereka pun mendapat pelayanan home care maksimal Rp 20 juta, diberikan kepada peserta paling lama satu tahun sejak direkomendasikan untuk perawatan di rumah. Permenaker sebelumnya menyatakan baru mendapatkan jaminan ketika mereka dipulangkan ke Indonesia dan tidak ada pelayanan home care.
Contoh lain, bantuan uang bagi calon PMI yang gagal berangkat bukan karena kesalahan mereka naik dari Rp 7,5 juta menjadi Rp 10 juta. Berikutnya, santunan berkala yang dibayarkan sekaligus apabila cacat total tetap akibat kecelakaan kerja naik menjadi Rp 12 juta.
Ada juga manfaat baru yang ditawarkan oleh Permenaker No 4/2023. Misalnya, bantuan uang bagi PMI yang mengalami PHK bukan akibat kecelakaan kerja dan bukan karena kesalahan PMI yang dilakukan sepihak oleh pemberi kerja. Dengan masa kerja terhitung sejak PMI mulai bekerja sampai dengan satu bulan sebelum perjanjian kerja berakhir, PMI diberikan sebesar Rp 1,5 juta.
Selain itu, ada beasiswa untuk maksimal dua anak jika PMI mengalami kematian akibat kecelakaan kerja atau kematian karena sakit dengan kepesertaan PMI minimal 3 tahun. Beasiswa diberikan mulai dari anak tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Perinciannya, untuk tingkat TK sebesar Rp 1,5 juta x 2 tahun, SD Rp 1,5 juta x 6 tahun, SMP Rp 2 juta x 3 tahun, tingkat SMA Rp 3 juta x 3 tahun, perguruan tinggi Rp 12 juta x 4 tahun.
”Kami melakukan evaluasi pelaksanaan Permenaker No 18/2018. Banyak masukan kepada kami maupun Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan agar ada perbaikan manfaat baik,” ujar Direktur Bina Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Rendra Setiawan, Kamis (2/3/2023), di Jakarta.
Dia menekankan, pemerintah mengupayakan agar terjadi kenaikan nilai manfaat yang sudah ada ataupun lahir manfaat baru. Namun, pada saat bersamaan, PMI diupayakan agar tidak dibebani kenaikan nilai iuran.
”Kami akan terus melakukan sosialisasi kebijakan baru ini sampai ke tingkat desa. Tujuannya, agar semakin banyak calon ataupun PMI sadar ada perubahan kebijakan jaminan sosial ketenagakerjaan,” kata Rendra.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Edy Wuryanto, mengapresiasi dikeluarkannya Permenaker No 4/2023. Dia menyarankan agar edukasi peraturan itu bisa masif. Pemerintah juga diharapkan meningkatkan penegakan hukum bagi perusahaan pelaksana penempatan yang tidak memastikan PMI jadi peserta wajib JKM dan JKK.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, saat dihubungi terpisah, berpendapat, kebijakan itu semestinya bisa diikuti dengan penambahan kepesertaan aktif PMI di BPJS Ketenagakerjaan. Menurut dia, jumlah PMI yang jadi peserta masih sekitar 200.000 orang dan ini diduga jauh di bawah jumlah PMI yang bekerja di negara penempatan.
”Negara tujuan memang memiliki kebijakan jaminan sosial/asuransi yang berbeda-beda. Ada negara yang menjamin setiap pekerja asing bisa ikut jaminan sosial/asuransi dan ada pula yang tidak menjamin,” katanya.
Sekretaris Jenderal SBMI Bobi Anwar Ma’arif berpendapat, tidak ada jaminan ketika manfaatnya ditambah akan meningkatkan jumlah kepesertaan. Sebab, hal ini berbanding lurus dengan capaian pemerintah dalam menempatkan PMI secara prosedural.
Jaminan sosial PMI hanya berlaku bagi PMI yang proses penempatannya prosedural. Sementara, rasio jumlah PMI legal dan nonprosedural hampir berimbang. Merujuk data Bank Dunia tahun 2016, misalnya, 4,3 juta PMI tidak memiliki dokumen resmi dan diduga penempatannya nonprosedural.
”Kritik kami terhadap Permenaker No 18/2018 adalah menghilangkan risiko yang khas dialami oleh PMI, seperti PHK sepihak, sakit bukan karena kecelakaan, dan bantuan hukum. Risiko seperti itu perlu jadi perhatian pemerintah,” ujar Bobi.