Dua Dekade Lebih Desentralisasi, Tata Kelola Dana Daerah Belum Efektif
Kemandirian fiskal di tingkat kabupaten/kota masih sangat rendah. Apabila dibiarkan, ini akan membebani pusat dan mengekang kapasitas pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonominya sendiri.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski desentralisasi fiskal sudah berjalan selama dua dekade lebih, pengelolaan dana di daerah belum efektif. Kemandirian fiskal daerah terpantau masih rendah dan sangat bergantung pada transfer dana dari pusat. Belanja daerah pun tidak efektif dan masih dibayangi problem klasik menumpuknya dana pemerintah daerah di perbankan dari tahun ke tahun.
Kemandirian fiskal dapat diukur dari perbandingan antara pendapatan asli daerah (PAD) dengan total pendapatan yang diterima daerah terkait dalam suatu waktu. Hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan, dengan perbandingan itu, tingkat kemandirian fiskal daerah tercatat masih sangat rendah meski desentralisasi fiskal sudah berlangsung selama 23 tahun.
Peneliti Center of Macroeconomics and Finance Indef, Riza Annisa Pujarama, mengatakan, otonomi fiskal kabupaten/kota terpantau paling rendah. Proporsi PAD terhadap total pendapatan kabupaten/kota yang di bawah 20 persen membuat daerah sangat bergantung pada dana transfer dari pusat.
Menurut Riza, sebenarnya ada indikasi kemandirian fiskal di kabupaten/kota mulai meningkat. Hal itu tampak dari tren kenaikan porsi PAD terhadap total pendapatan dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan itu, di periode yang sama, proporsi dana perimbangan atau transfer dana dari pusat ke daerah pun menurun.
”Tetapi, secara umum, kemandirian fiskal di tingkat kabupaten/kota masih sangat rendah. Kalau dibiarkan, ini akan membebani pusat dan mengekang kapasitas pemerintah daerah untuk mengembangkan ekonominya sendiri dan menghambat pemda melakukan tugas pelayanan publik,” kata Riza dalam diskusi publik ”Pengelolaan Dana Daerah, Efektifkah?” yang diselenggarakan Indef, Senin (30/1/2023).
Sementara itu, berbeda dari kabupaten/kota, otonomi fiskal di tingkat provinsi relatif lebih baik, dengan proporsi PAD terhadap total pendapatan di kisaran 50 persen. PAD provinsi paling banyak berasal dari pungutan pajak daerah, retribusi, serta deviden atau pajak dari badan usaha milik daerah (BUMD).
Namun, meski secara umum sudah lebih mandiri, terjadi tren perlambatan penerimaan PAD di tingkat provinsi. Hal itu membuat provinsi semakin bergantung pada dana perimbangan dari pusat. Mulai tahun 2016, proporsi dana perimbangan terhadap total pendapatan daerah melonjak dari 25,38 persen menjadi 41,27 persen.
Sejak saat itu, porsi dana perimbangan terus berfluktuasi di kisaran 44-46 persen. Sebaliknya, PAD anjlok dari awalnya di atas 50 persen menjadi berkisar 46-48 persen. ”Penurunan PAD sejak 2016 dan terus melambat lima tahun terakhir salah satunya karena sempat terdampak pandemi. Ini membuat proporsi dana transfer dari pusat meningkat karena capaian PAD melambat,” tuturnya.
Laporan Hasil Reviu atas Kemandirian Fiskal Pemerintah Daerah yang dikeluarkan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2020 menunjukkan hal yang sama. Laporan itu menyoroti, mayoritas Indeks Kemandirian Fiskal (IKF) dari 33 pemerintah provinsi yang dianalisis masih berstatus Menuju Kemandirian (16 pemda atau 48,49 persen), disusul status Belum Mandiri (10 pemda atau 30,30 persen), lalu status Mandiri (tujuh pemda atau 21,21 persen).
Tingkat kemandirian fiskal daerah tercatat masih sangat rendah meski desentralisasi fiskal sudah berlangsung selama 23 tahun.
Sementara itu, mayoritas IKF dari 378 pemerintah kabupaten yang dianalisis masih berstatus Belum Mandiri (369 pemda atau 97,62 persen), disusul status Menuju Kemandirian (delapan pemda atau 2,12 persen), dan status Mandiri (satu pemda atau 0,26 persen). Kabupaten Badung menjadi satu-satunya pemerintah kabupaten yang berstatus Mandiri pada 2020.
Riza mengatakan, rendahnya otonomi fiskal daerah itu diakibatkan oleh kapasitas penarikan pajak dan retribusi di daerah yang belum optimal. BUMD di daerah juga belum banyak membawa keuntungan sehingga kontribusinya pada pendapatan daerah masih sangat rendah.
Di sisi lain, ketidakmandirian itu disebabkan oleh pembangunan ekonomi yang belum merata antara Jawa dan luar Jawa. ”Ini kembali ke masalah sumber ekonomi. Memang pembangunan infrastruktur sudah gencar, tetapi kapasitas daerah menghasilkan ekonomi bernilai tambah masih kurang. Semoga hilirisasi yang sekarang sedang didorong-dorong bisa mendorong perbaikan,” katanya.
Dari sisi belanja, tata kelola keuangan di daerah juga belum optimal. Sepanjang 2010-2022, pola penempatan dana pemda di perbankan tidak banyak berubah. Peneliti Macroeconomics and Finance Indef, Abdul Manap Pulungan, mengatakan, selama kurun itu, dana pemda selalu akan menumpuk di perbankan sampai akhir tahun.
Polanya, dana pemda meningkat di perbankan pada Januari-Maret atau April, menurun tipis di setiap Mei, meningkat lagi di Juni-Juli, menurun tipis pada Agustus, meningkat di September-November, dan baru turun signifikan pada Desember setiap tahunnya. ”Pola ini bahkan terjadi di tahun 2020, padahal saat pandemi, kita membutuhkan realisasi belanja yang lebih cepat,” ujarnya.
Ia menilai, tingginya dana pemda di perbankan disebabkan oleh sejumlah hal, seperti target PAD yang sering kali ditetapkan jauh lebih rendah dari potensi yang sebenarnya. Di satu sisi, hal itu menjadi bentuk antisipasi pemda agar target pendapatan selalu tercapai. Di sisi lain, ketika realisasi PAD melebihi target, dana pemda pun meningkat drastis di perbankan.
Dari sisi target belanja, ada problem penetapan pagu belanja yang terlalu optimistis di awal, yang ternyata tidak bisa dieksekusi selama tahun berjalan. ”Ada pula faktor teknis, seperti masalah sumber daya manusia yang mismatch di daerah, birokrasi yang tidak efektif karena pejabat pemda yang sering berubah-ubah, juga faktor lain, seperti proses tender atau lelang yang tidak efektif,” tutur Abdul.
Hal ini juga berulang kali disoroti oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Pekan lalu, ia kembali meminta agar pemda dapat mengoptimalkan anggaran yang sudah dialokasikan. Per Desember 2022, dana pemda yang mengendap di perbankan sebesar Rp 123,74 triliun. Dana tersebut turun 48,4 persen dari bulan sebelumnya, tetapi naik 9,14 persen dari tahun sebelumnya.