Kementerian Keuangan mencatat dana pemerintah daerah yang mengendap di perbankan per akhir Oktober 2022 mencapai Rp 278,7 triliun atau naik 22,9 persen secara tahunan. Perbaikan struktural diperlukan untuk mengatasinya.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua bulan menuju pergantian tahun, dana pemerintah daerah yang ”diparkir” di perbankan semakin banyak, bahkan tertinggi sejak tahun 2019. Mengingat kondisi ekonomi ke depan diperkirakan semakin tidak menentu, perbaikan struktural dibutuhkan untuk mengatasi masalah menahun ini tanpa saling tuding antara pusat dan daerah.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), posisi dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan sampai akhir Oktober 2022 mencapai Rp 278,73 triliun, naik 24,52 persen atau Rp 54,89 triliun dari posisi September 2022. Secara tahunan, kenaikannya juga terhitung tinggi, yaitu 22,94 persen dibandingkan Oktober 2021.
Tumpukan dana pemda di bank pada bulan lalu itu menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya, saldo dana pemda yang disimpan di bank adalah Rp 261,23 triliun pada Oktober 2019, lalu Rp 247,45 triliun (Oktober 2020), dan Rp 226,71 triliun (Oktober 2021).
Daerah yang paling banyak memarkir dana di perbankan adalah Jawa Timur, disusul Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan DKI Jakarta. Penumpukan dana yang tinggi menunjukkan serapan belanja APBD yang belum optimal di daerah. Ini menjadi persoalan klasik yang terus berulang. Biasanya serapan belanja baru akan dikebut pada akhir tahun.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Jumat (25/11/2022), mengatakan, pemerintah pusat dan daerah selama ini kerap saling tuding mengenai persoalan menahun ini. Pusat menuding daerah lambat dan tidak becus membelanjakan anggaran, sementara daerah menuding pusat lambat mengeluarkan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) penyaluran anggaran.
Armand mengatakan, dana yang menumpuk itu selalu disebabkan oleh beberapa kendala teknis. Pertama, pembayaran kepada pihak ketiga atas pengadaan barang dan jasa yang baru dilakukan setelah proyek bersangkutan selesai dieksekusi. Aturan itu membuat alokasi dana yang sudah dianggarkan mau tidak mau disimpan sementara di bank.
”Jadi, bukan karena pemda tidak mau realisasikan atau menyalurkan anggaran, tapi karena persoalan teknis, kendala aturan yang terjadi hampir setiap tahun,” katanya.
Kedua, problem penerbitan juklak dan juknis dari pemerintah pusat yang lama sehingga pemda pun lambat mengeksekusi anggaran. Ia mengatakan, tahun ini ada juklak dan juknis di beberapa daerah yang baru keluar pada pertengahan tahun atau bulan Juni-Juli 2022. Artinya, sepanjang triwulan I dan II tahun berjalan, pemda tidak bisa menyalurkan anggaran apa pun.
Tumpukan dana pemda di bank pada bulan lalu itu menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Pembenahan struktural
Ke depan, menurut dia, pedoman juklak dan juknis sudah harus tersedia sejak Januari tahun berjalan agar proses penganggaran dan realisasi di daerah pun cepat. ”Ini jadi pertanyaan, sebenarnya, kan,ini selalu dibuat setiap tahun. Jadi, seharusnya sudah ada template-nya. Kenapa selalu lama?” ujar Armand.
Ia juga menyoroti faktor ketiga berupa tahapan proses perencanaan anggaran sejak musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang), penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD), sampai tahapan penyusunan APBD yang sering kali berjalan lambat dan mundur dari target.
Armand menilai, berbagai persoalan teknis itu butuh pembenahan yang bersifat struktural dan dimulai dari pusat. Selain mempercepat tahapan perencanaan anggaran dan menyegerakan penerbitan juklak dan juknis, dibutuhkan pula kebijakan atau landasan hukum baru untuk mempercepat kewajiban pembayaran kepada pihak ketiga untuk pengadaan barang dan jasa.
”Misalnya, proses pembayaran ke rekanan pihak ketiga itu bukan lagi dipatok berdasarkan selesainya suatu proyek, tapi berdasarkan termin tertentu, misalnya dua bulan sekali, atau berdasarkan penyelesaian kinerja tertentu. Ini perlu diatur dari pusat, terutama dari Kemenkeu dan Kementerian Dalam Negeri,” ujar Armand.
Adapun peningkatan endapan dana ini terjadi ketika pendapatan daerah sedang naik seiring dengan membaiknya aktivitas ekonomi daerah, khususnya dari sisi konsumsi. Per Oktober 2022, pendapatan APBD mencapai Rp 867,26 triliun, naik 0,7 persen secara tahunan dan memenuhi 76,5 persen dari APBD. Jumlah itu terdiri dari 66,3 persen dana transfer ke daerah (TKD) serta 28 persen pendapatan asli daerah (PAD).
Berbagai persoalan teknis itu butuh pembenahan yang bersifat struktural dan dimulai dari pusat.
Dipercepat
Menyikapi dana pemda yang menumpuk di bank itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendorong pemda untuk bisa lebih cepat membelanjakan dana yang sudah ada, terutama di tengah kondisi perekonomian yang mulai melambat akibat gejolak ekonomi global.
”Dana APBD yang ada di perbankan sampai Rp 278,73 triliun itu seharusnya bisa jadi faktor untuk mendorong pemulihan ekonomi lebih kuat lagi, terutama di triwulan terakhir ini. Apalagi, di saat lingkungan ekonomi makro saat ini sedang begitu volatil,” katanya.
Ia mengatakan, pemerintah juga akan mencermati dan mengevaluasi persoalan klasik yang terus berulang ini. Apalagi, mengingat tren dana pemda di bank yang semakin meningkat. ”Kami akan melihat lebih teliti lagi, di beberapa daerah yang jumlah (tumpukan) dananya cukup besar, apakah itu temporary saja atau sifatnya lebih permanen,” ujar Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman menambahkan, Kemenkeu akan terus mengawasi dan mendorong pemda untuk lebih cepat menyalurkan anggaran yang sudah dialokasikan. ”Kami optimistis sampai akhir tahun ini untuk TKD serapannya bisa mencapai 98-99 persen,” ujar Luky.