Pemerintah sedang merevisi tarif pungutan hasil perikanan pascaproduksi yang dikeluhkan pelaku usaha. Namun, kejujuran pelaku usaha dibutuhkan dalam pelaporan hasil produksi sebagai instrumen penetapan tarif.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah sedang merevisi tarif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP pungutan hasil perikanan pascaproduksi yang baru diberlakukan awal tahun ini. Penarikan pungutan hasil perikanan tersebut memberi kesempatan pelaku usaha kapal perikanan melaporkan sendiri hasil tangkapan ikan.
Direktur Perizinan dan Kenelayanan Kementerian Kelautan dan Perikanan Ukon Ahmad Furqon mengemukakan, mulai Januari 2023 pemerintah memberlakukan penarikan PNBP pungutan hasil perikanan (PHP) pascaproduksi bagi kapal-kapal penangkapan ikan yang memperoleh izin dari pemerintah pusat. Penarikan PNBP pungutan hasil perikanan pascaproduksi itu sejalan dengan pemberlakuan kebijakan penangkapan ikan terukur.
Pengaturan PNBP pungutan hasil perikanan pascaproduksi tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sebelumnya, sistem PNBP pungutan hasil perikanan dipungut praproduksi. PNBP praproduksi mewajibkan pelaku usaha membayar PNBP di awal untuk setahun ke depan.
PNBP pascaproduksi dikenakan untuk setiap volume ikan yang ditangkap pada setiap trip penangkapan ikan. Meski PNBP pascaproduksi itu baru mulai diterapkan tahun ini, pemerintah tengah merevisi tarif pungutan tersebut sebagai respons atas keluhan sejumlah pelaku usaha terhadap indeks tarif pungutan yang dinilai memberatkan.
Ukon menambahkan, revisi tarif itu merupakan upaya pemerintah menyerap keluhan pelaku usaha terkait penetapan indeks tarif sebesar 10 persen yang dianggap cukup besar di tengah kondisi ekonomi yang sulit dan kenaikan harga bahan bakar minyak. KKP terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan terkait revisi indeks tarif tersebut.
”Proses revisi sedang berjalan. Namun, karena levelnya (kebijakan) adalah peraturan pemerintah, pembahasan butuh waktu. Kami sudah melakukan koordinasi agar proses revisi secepatnya dilaksanakan,” ujarnya dalam Bincang Bahari ”Pengaturan PNBP Pasca Produksi” di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Hitung mandiri
Ukon menambahkan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota memberi kesempatan kepada pelaku usaha kapal penangkapan ikan untuk menghitung sendiri hasil produksi atau tangkapan ikan sebagai dasar penetapan tarif pungutan PNBP pascaproduksi. Di samping itu, metode pungutan PNBP juga dapat dilakukan oleh aparat KKP. ”Dua cara itu sah digunakan, tergantung mana yang paling aplikatif,” ujarnya.
Penghitungan sendiri hasil produksi oleh pelaku usaha dilakukan secara manual dengan metode penimbangan ikan ataupun pengukuran palka. Hasil penghitungan lalu dimasukkan oleh pelaku usaha kapal penangkapan ikan ke aplikasi penangkapan ikan terukur (e-PIT). Dari pendataan volume tangkapan, pelaku usaha akan mendapat hitungan tarif PNBP pungutan hasil perikanan yang wajib dibayarkan sebagai persyaratan untuk izin melaut berikutnya.
”Karena yang menghitung pelaku usaha sendiri, kami sangat berharap pelaku usaha melaporkan apa adanya sesuai hasil tangkapan ikan,” kata Ukon.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jawa Tengah Riswanto mengemukakan, penerapan PNBP pascaproduksi melalui e-PIT diharapkan tidak menyandera kapal perikanan untuk berangkat melaut jika pungutan PNBP belum bisa dibayar oleh pemilik kapal.
”Pemilik kapal menjual ikan hasil tangkapan ke bakul di pasar, tetapi belum tentu bakul langsung membayar. Sementara kapal ikan butuh berangkat lagi meski uang (hasil penjualan ikan) belum diterima pemilik kapal,” kata Riswanto.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Yudi Nurul Ihsan menambahkan, peralihan PNBP praproduksi menjadi pascaproduksi diharapkan mampu memotivasi nelayan agar lebih giat melaut. Indonesia memiliki potensi ikan melimpah, tetapi masih banyak problem dalam tata kelola dan tata niaga.
Di sisi lain, pelaku usaha juga diharapkan jujur dalam melaporkan hasil tangkapan ikan. ”Yang paling penting tidak ada dusta di antara kita,” ujarnya.
Sementara itu, Robani, pemilik kapal ikan di Karangsong, Indramayu, berpendapat, harga acuan ikan yang ditetapkan pemerintah sebagai instrumen penghitungan PNBP dikhawatirkan tidak sesuai dengan kondisi riil. Saat ini, nelayan dihadapkan pada kualitas ikan yang belum memadai. Dari hasil tangkapan, sebanyak 30-40 persen berkualitas buruk dengan harga jual di bawah standar.