Penangkapan Ikan Terukur Dinilai Rugikan Nelayan Kecil di Pantura
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dinilai memberatkan nelayan kecil di Jateng. Mereka yang menggunakan alat tangkap sederhana dipaksa bersaing dengan kapal industri yang lebih canggih.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
KRISTI DWI UTAMI
Kapal nelayan tradisional bersandar di Pelabuhan Muarareja, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Kamis (21/1/2021). Dua pekan terakhir, nelayan tradisional di Kota Tegal tidak berani melaut akibat cuaca buruk dan ombak setinggi 3,5 meter di perairan utara Jateng. Sembari menunggu cuaca membaik, nelayan memperbaiki kapal dan alat tangkap.
TEGAL, KOMPAS — Nelayan di pantura Jawa Tengah keberatan dengan rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menerapkan penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Kebijakan itu dinilai berpotensi menciptakan persaingan bebas antara pelaku usaha perikanan skala besar dan kecil di tengah lemahnya kapasitas koperasi nelayan saat ini.
Kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota tengah dimatangkan pemerintah. Melalui kebijakan itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor perikanan diharapkan bisa terdongkrak. Nantinya, hasil PNBP akan dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan Indonesia.
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Jateng Riswanto mengaku pihaknya belum mendapatkan penjelasan mendetail terkait kebijakan tersebut. Riswanto berharap kebijakan itu ditunda sampai ada pembahasan dengan para pelaku usaha perikanan, masyarakat lokal, ataupun adat yang terdampak.
”Masih banyak hal berkenaan dengan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang kami belum pahami. Salah satu yang belum jelas adalah terkait indeks tarif PNBP yang akan dibebankan kepada pelaku usaha perikanan,” kata Riswanto, Rabu (31/8/2022).
Menurut Riswanto, salah satu instrumen yang digunakan untuk menghitung indeks tarif PNBP adalah harga ikan. Patokan harga ikan yang digunakan pemerintah sangat tinggi, berbeda dengan harga ikan di pasaran yang cenderung murah.
Dalam penangkapan ikan terukur berbasis kuota, nelayan diminta berkoperasi agar memiliki daya tawar lebih kompetitif untuk mengakses kuota tangkapan ikan. Kondisi itu dikatakan Riswanto, meninggalkan kesan bahwa koperasi nelayan hanya untuk merespons kebijakan penangkapan ikan terukur. Di samping itu, Riswanto juga pesimistis, koperasi nelayan mampu bersaing dengan korporasi besar yang memiliki sumber daya lebih besar.
KRISTI DWI UTAMI
Para pengepul mencatat harga ikan yang mereka beli di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021) pagi. Setiap hari, paling tidak ada 30 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton yang bersadar dan membongkar muatannya di pelabuhan tersebut. Masing-masing kapal membawa hingga 40 ton ikan dari berbagai jenis.
Menempatkan nelayan kecil dengan kapal korporasi dalam satu wilayah pengelolaan perikanan disebut Riswanto menimbulkan persaingan yang tidak adil. Nelayan kecil umumnya menggunakan kapal kecil dengan alat tangkap yang sederhana. Sementara korporasi berpotensi menggunakan kapal besar dengan alat tangkap yang canggih.
”Saat ini saja, kondisi hasil tangkapan sudah cenderung menurun. Dengan adanya kebijakan ini, kami khawatir semakin susah mendapatkan hasil tangkapan,” katanya.
Sebelumnya, rencana penerapan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dikritik Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). Sekretaris Jenderal Kiara Susan Herawati mengatakan, kebijakan tersebut bertentangan dengan semangat keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan serta penyejahteraan nelayan tradisional. Menurut dia, kebijakan itu harus dihentikan dan dievaluasi secara penuh.
”Apakah kebijakan penangkapan ikan terukur ini sesuai dengan kebutuhan nelayan tradisional dan untuk menyejahterakan mereka atau malah kebijakan ini hanya menjadi karpet merah untuk memuluskan dan memastikan keberlanjutan usaha dari korporasi dan juga investor asing yang ingin mengeksploitasi sumber daya perikanan,” ujar Susan, dalam keterangannya.
KRISTI DWI UTAMI
Buruh mengangkut ikan menuju tempat pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari, Kecamatan Tegal Barat, Kota Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (14/8/2021) pagi. Setiap harinya paling tidak ada 30 kapal ikan berukuran di atas 30 gros ton yang bersadar dan membongkar muatannya di pelabuhan tersebut. Masing-masing kapal membawa hingga 40 ton ikan dari berbagai jenis.
Kritik juga datang dari para anggota Komisi IV DPR. Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi PDI-P, Yohanis Fransiskus Lema, mempertanyakan bagaimana kemampuan negara untuk menjaga ekosistem laut dan cadangan ikan jika kebijakan itu diterapkan. Fransiskus mengingatkan, Indonesia pernah melakukan kerja sama dengan Jepang yang disebut ”Banda Sea Agreement” pada periode 1969-1980, yang memberlakukan zonasi dan kuota penangkapan ikan di Laut Banda. Evaluasinya memperlihatkan Indonesia dirugikan sehingga kerja sama tersebut dihentikan. Ia berharap Indonesia tidak mengulang kesalahan pengelolaan perikanan yang sama dalam kebijakan penangkapan ikan terukur (Kompas, 31/8/2022).
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Alimin Abdullah, juga menilai Indonesia masih lemah dalam pengawasan laut. Sumber daya ikan Indonesia hingga kini terus dicuri nelayan asing, sedangkan nelayan Indonesia belum bisa sejahtera. Kebijakan penangkapan terukur dikhawatirkan akan sulit diawasi dengan pengawasan yang masih lemah.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengklaim kebijakan itu efektif. ”Penangkapan ikan terukur ini paling efektif karena kita hadirkan industri di wilayah (zona industri itu) dan hasilnya bisa buat membantu nelayan kecil yang tidak pernah sejahtera,” kata Trenggono.