Pertumbuhan bahan bakar nabati terbukti meningkatkan pasokan energi. Namun, perkembangan itu berulang dituding berkontribusi terhadap kenaikan harga pangan. Perbalahan antara pangan dan energi masih terjadi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Pemakaian bahan bakar nabati, baik bioetanol dari jagung dan tebu maupun biodiesel dari minyak kelapa sawit dan kedelai, telah meningkatkan pasokan energi sekaligus mengurangi dampak lingkungan dari bahan bakar fosil. Namun, tren itu beberapa kali dituding turut mendongkrak harga pangan. Penggunaan tanaman untuk energi mengundang perdebatan yang belum usai: prioritas untuk makanan atau bahan bakar.
Ketika krisis pangan melanda dunia pada 2007-2008, pertumbuhan biofuel dinilai turut berkontribusi pada kenaikan harga pangan. Dewan Gandum Internasional melaporkan pertumbuhan 32 persen penggunaan sereal untuk menghasilkan biofuel secara keseluruhan pada tahun 2007-2008. Selain itu, sebanyak 95 juta ton dari 100 juta ton jagung yang diperdagangkan dari total produksi 777 juta ton digunakan untuk biofuel.
Institut Riset Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI) memperkirakan bahwa permintaan etanol yang meningkat menyebabkan kenaikan harga pangan sebesar 30 persen selama tahun 2000-2007. Wakil Direktur Institut Ekonomi di Akademi Ilmu Sosial China, Ling Zhu, dalam artikel ”Where Food and Energy Compete” di laman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut, total produksi pangan dunia pada 2000-2007 yang lebih rendah dari permintaan global menyebabkan turunnya stok pangan.
Selain itu, perubahan iklim, kelangkaan sumber daya air, panen yang buruk di negara-negara penghasil pangan utama, dan pemotongan ekspor pangan memperburuk dan memperpanjang masalah. Ada pula faktor lain yang berkontribusi mendongkrak harga pangan, yakni pertumbuhan populasi, pendapatan yang lebih tinggi, serta industrialisasi dan urbanisasi mendorong orang beralih ke komoditas bernilai tinggi.
Tahun lalu, faktor pemicunya bertambah lagi, yakni perang. Gangguan akibat perang Rusia-Ukraina dan hambatan dagang mendorong naik harga pangan dan energi global. Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahkan menggapai level tertinggi sejak 1990, yakni mencapai 159,3 poin pada Maret 2022.
Lonjakan harga pangan dan energi telah meningkatkan tekanan pada produsen bahan bakar yang berasal dari tanaman. Perdebatan soal mana yang mesti didahulukan, apakah kebutuhan pangan atau energi, mengemuka lagi di tengah ancaman lonjakan angka kelaparan.
Program Pangan Dunia dalam ”Laporan Global tentang Krisis Pangan 2022” mencatat hampir 193 juta orang mengalami kerawanan pangan akut atau bertambah dari 40 juta orang tahun 2020. Selain perang, pandemi, gangguan rantai pasok, dan perubahan iklim berkelindan dan menghasilkan dampak yang ”sempurna”.
Di dalam negeri, situasi itu tecermin pada gejolak minyak goreng. Harga minyak goreng melonjak dari kisaran Rp 9.500-Rp 14.000 per liter menjadi Rp 18.000-Rp 23.000 per liter di tengah lonjakan harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global. Selain naik, minyak goreng beringsut dari rak-rak pedagang, sementara antrean pembeli pada titik-titik suplai minyak goreng curah bersubsidi makin panjang. Situasi itu terjadi di Indonesia, negeri penghasil bahan baku minyak goreng sawit terbesar di dunia! Ironi ini membuka lagi diskusi tentang pengembangan biodiesel di dalam negeri.
Diskusi serupa muncul ketika draf regulasi percepatan swasembada gula mencantumkan klausul penyediaan bioetanol berbahan tebu. Alih-alih untuk energi, Indonesia masih mengimpor gula dalam skala besar untuk kemenuhi kebutuhan konsumsi dan industri makanan minuman. Indonesia bahkan tercatat sebagai importir gula terbesar di dunia dengan volume 5,53 juta ton tahun 2021/2022.
Selain itu, target swasembada gula juga berulang kali meleset lima dekade terakhir. Kendati pemerintahan satu periode ke periode berikutnya mencanangkan target swasembada gula, Indonesia belum benar-benar mampu memenuhi kebutuhan gulanya sendiri. Volume impornya bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Upaya mengejar pertumbuhan produksi sawit juga menghadapi tantangan yang tidak mudah. Para pelaku industri sawit nasional harus berkejaran dengan kenaikan kebutuhan konsumsi dan bahan baku biodiesel. Jika makin produksi tertinggal oleh kebutuhan, ekspor sawit berisiko makin turun. Padahal, ekspor sawit dan segenap produk turunannya selama in menjadi andalah ekspor nonmigas Indonesia.
Dengan segenap situasi itu, usaha mengejar ketahanan pangan sekaligus mendorong energi bersih melalui bahan bakar nabati berbasis sawit dan tebu tentu bukan perkara gampang. Perencanaannya mesti matang, sementara pelaksanaannya tak bisa setengah hati. Jika tidak, perbalahan (perbantahan) tentang prioritas pangan atau energi bakal terus terjadi.