Harga Batubara Masih Tinggi, Lembaga Pungut-Salur Dinanti
Lembaga pungut-salur diharapkan menjadi solusi permanen dari penyediaan stok batubara dalam negeri untuk kelistrikan. Selama ini sudah dibahas berbentuk BLU, tetapi pemerintah menilai perlu mekanisme lain.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan lembaga pungut-salur dana batubara dinilai mendesak mengingat harga komoditas batubara hingga kini masih tinggi. Lembaga itu diharapkan menjadi solusi permanen terkait dengan pemenuhan ketersediaan stok batubara dalam negeri. Pemerintah sendiri memastikan, diperlukan mekanisme lain di luar badan layanan umum atau BLU yang selama ini dibahas.
Diperlukannya lembaga itu tidak terlepas kejadian pada akhir 2021, yakni seretnya pasokan batubara untuk kebutuhan bahan bakar pembangkit listrik. Sebab, ada disparitas antara harga internasional yang tinggi dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (DMO) yang dipatok 70 dollar AS per ton. Pada awal 2022, pemerintah sempat memberlakukan larangan ekspor batubara, yang kemudian dibuka bertahap.
Sejak itu, dibahas tentang pembentukan BLU batubara yang akan berfungsi untuk menghimpun dana dari perusahaan tambang batubara. Dengan demikian, saat harga batubara di pasar lebih tinggi dari harga DMO, selisihnya dibayar BLU. Kini, mengemuka bahwa yang akan dibentuk adalah mitra instansi pengelola (MIP).
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia, saat dihubungi Jumat (13/1/2023), di Jakarta, mengatakan, pada dasarnya BLU dan MIP sebenarnya sama dengan fungsi utama pungut-salur. Artinya, dari pengusaha dan nantinya kembali ke pengusaha sehingga tak ada penumpukan uang. Itu berbeda, misalnya, dengan pungutan ekspor.
”Prinsipnya, kami sepakat bahwa ini mendesak untuk dibentuk. Sebab, ini juga yang kami usulkan dan disepakati bersama pemerintah pada awal 2022 saat pelarangan ekspor batubara dilakukan. Kita membutuhkan solusi permanen untuk menyelesaikan permasalahan DMO di kala harga komoditas (batubara) sedang tinggi,” kata Hendra.
Sejak pertengahan 2021, harga batubara dunia terus menanjak seiring meningkatnya permintaan global, yang disusul konflik bersenjata Rusia-Ukraina pada Februari 2022. Catatan Trading Economics, puncak kenaikan harga batubara terjadi pada 5 September 2022 yang mencapai 457 dollar AS per ton. Sementara per 12 Januari 2023, harga batubara sebesar 377 dollar AS per ton, masih lebih tinggi dari 12 Januari 2022 yang 210 dollar AS per ton.
Hendra menjelaskan, lembaga pungut-salur tersebut nantinya hanya berfungsi saat harga komoditas (harga pasar) batubara di atas harga patokan DMO untuk sektor kelistrikan. Sementara saat harga pasar di bawah DMO, lembaga itu tak berfungsi. ”Karena sekarang harga sedang tinggi, maka urgen (mendesak dibentuk),” ujarnya.
BLU, lanjut Hendra, akan berbentuk lembaga dari pemerintah atau di bawah kementerian. Sementara MIP akan berbentuk lembaga nonpemerintah. Artinya, pihak swasta atau bisa juga oleh badan usaha milik negara (BUMN).
”Apa pun itu, kami mendukung. Namun, kami lebih memilih BLU. Sebab, jika oleh pemerintah, nantinya terkait sanksi jika pelaku usaha tidak menjalankannya. Bisa akan ada peringatan hingga larangan ekspor. Kami lebih menginginkan BLU yang melaksanakan fungsi pungut-salur itu karena keadilan bagi pelaku usaha hanya terjadi jika pemerintah turun tangan,” ucap Hendra.
Adapun pemerintah mengindikasikan batal membentuk BLU. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif di Jakarta, Jumat (13/1), mengatakan, yang digunakan ialah mekanisme di luar BLU yang selama ini dibahas. ”Harus mekanisme lain. Itu, kan, (BLU) memang usulan dari pengusaha. Mekanisme itu, (jika) dipakai untuk pemerintah, itu kurang pas. Jadi, memang harus pakai mekanisme lain. Itu yang sudah disampaikan,” katanya.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lana Saria, saat dikonfirmasi terkait bentuk lembaga pungut-salur dana batubara serta kepastian waktu pembentukannya, hingga Jumat (13/1) petang belum merespons.
Hendra mengemukakan, sebelum lembaga pungut-salur dibentuk, hal yang lebih mendesak untuk segera diselesaikan ialah revisi formula pembentuk harga batubara acuan (HBA). Formula yang berlaku saat ini dirasa tidak adil bagi petambang karena pada akhirnya membuat kewajiban royalti yang dibayarkan bisa nyaris dua kali lipat dari semestinya.
”Misalnya, satu perusahaan seharusnya membayar royalti 8 persen dengan kalori tertentu. Namun, jika dihitung dengan kewajiban royalti dengan formula HBA, bisa mencapai 14-15 persen. Ini sangat mendesak untuk diperbaiki. Sebab, di HBA kita, kan, memakai komponen indeks batubara Australia juga sehingga jika dibagi rata, jadinya tinggi. Sementara kita jualan pakai Indonesian Coal Index (ICI) yang umumnya lebih rendah,” kata Hendra.
Ia mencontohkan, jika pengusaha menjual 100 dollar AS per ton pada Januari, sedangkan HBA Januari 2023 sebesar 305 dollar AS per ton. ”Perlu dipahami bahwa HBA 305 dollar AS per ton (Januari 2023) itu rerata 4 indeks pada Desember 2022. Kenyataannya, dengan ICI, bisa saja sekitar 200 dollar AS per ton. Jadi, kami menjual 200 dollar AS per ton, tetapi kalau kita bayar pajak atau royatinya di angka 305 dollar AS per ton,” kata Hendra.
Pekan lalu, Arifin Tasrif mengemukakan, pihaknya tengah mengevaluasi formula HBA. ”Kami lagi evaluasi. Kenapa saat ada kenaikan harga, indeks ini naik, tetapi yang ini (lainnya) turun. HBA kita, kan, di tengah-tengah sebetulnya. Lagi dievaluasi apa yang terjadi di dunia perdagangan batubara,” ujarnya.