BLU batubara diyakini sejumlah kalangan dapat menjadi salah satu solusi dari disparitas harga antara harga batubara internasional dan harga DMO. Tingginya harga internasional membuat pengusaha cenderung mengekspor.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Badan Layanan Umum atau BLU Batubara masih dalam pembahasan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Keuangan, termasuk pola penghitungannya. Mengantisipasi keengganan perusahaan berkontrak dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) karena disparitas harga batubara, pemerintah mengandalkan penugasan kepada perusahaan produsen batubara.
Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batubara Irwandy Arif dalam diskusi publik ”BLU Batubara, Solusi Terbaik Pasokan Domestik?”, Kamis (4/8/2022), di Jakarta mengatakan, kondisi stockpile batubara saat ini masih aman. Namun, pihaknya tetap mengusahakan agar pasokan untuk PLN dapat dipenuhi.
”Solusi jangka pendek adalah dengan memberi penugasan kepada perusahaan-perusahaan yang belum memenuhi kewajiban pemenuhan kebutuhan pasar domestik (DMO)-nya secara baik. Larinya memang ke perusahaan menengah dan kecil karena perusahaan-perusahaan besar sudah lebih dari 25 persen (sesuai ketentuan DMO),” kata Irwandy.
Sebelumnya, dalam diskusi virtual tentang tantangan BLU batubara oleh Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Selasa (2/8), Executive Vice President Batubara PLN Sapto Aji Nugroho menyebutkan, adanya disparitas harga membuat sejumlah perusahaan enggan berkontrak dengan PLN karena risikonya besar.
”Sejak April, Mei, orang menunggu BLU keluar sehingga beberapa pemasok menunda. Kirimnya (batubara) menunggu BLU keluar. Ini yang makin mempersulit kondisi saat ini, ketika BLU tak segera keluar. Selama ini kami hidup dari Ditjen Minerba yang memberi penugasan baik ke kami, semen, maupun pupuk. Tetapi, kan, harus ada penyelesaian permanen,” ujar Sapto.
Menanggapi hal itu, Irwandy mengatakan, pihaknya akan terus mencari perusahaan mana yang belum memenuhi pasokan dan memberi penugasan. ”Harus diperhatikan juga oleh PLN. Kan, masih FOB (free on board), bagaimana pengapalan, transportasi ke sana agar tepat waktu. Jadi, harus dijaga terus,” ucapnya.
Mengenai solusi jangka panjang, BLU diyakini akan menjadi solusi. Menurut Irwandy, rapat di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sudah ada kesepakatan. Di Kementerian ESDM, ujarnya, progres sudah cukup baik dan mengajukan izin prakarsa untuk keputusan presiden (keppres).
”Namun, begitu kami bertemu dengan Kementerian Keuangan, kabarnya harus PP (peraturan pemerintah). Kalau PP, berarti harus dari awal lagi. Ada hal-hal yang sedang dibicarakan antara Kemenkeu dan Kementerian ESDM yang belum bisa disampaikan. Jadi, sedang dicari formulanya apakah tetap keppres atau tidak,” jelas Irwandy.
Solusi permanen
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menilai, pemerintah sebaiknya menyosialisasikan lebih dahulu BLU yang hendak dibentuk. ”Sosialisasi kepada user dengan melibatkan semua pemasok, tidak terbatas beberapa anggota saja. Diharapkan, nantinya BLU jadi solusi permanen,” katanya.
Secara terpisah, Presiden Direktur PT Adaro Energy Indonesia Tbk Garibaldi Thohir mengatakan, saat mekanisme pasar tak diberlakukan, situasinya pasti sulit. Dengan adanya distorsi pasar (akibat disparitas harga), hanya perusahaan-perusahaan yang berkomitmen saja untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, selebihnya akan berpikir business is business.
Namun, pihaknya mendukung pembentukan BLU. ”Kami serahkan saja kepada pemerintah bagaimana yang terbaik. Mungkin, BLU itu memang solusi paling fair. Tinggal bagaimana mencari titik temunya saja,” kata Garibaldi.
Garibaldi mengatakan, Adaro selama ini selalu memenuhi ketentuan DMO batubara sebesar 25 persen yang ditetapkan pemerintah, bahkan melebihinya.