Hilirisasi Batubara Memperkuat Ketahanan Energi Nasional
Batubara dapat diproses untuk menghasilkan ”output” produksi bernilai tambah tinggi. Di antaranya ”coal bed methane”, ”dimethyl ether”, ”direct coal liquefaction”, dan ”indirect coal liquefaction”.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F26%2F3c11c612-a224-43c5-acbd-60f80af28cce_jpg.jpg)
Kapal tongkang batubara merapat ke Pelabuhan Marunda di Jakarta Utara, Senin (26/12/2022). Pemenuhan permintaan energi seiring dengan pemulihan kegiatan ekonomi pascapandemi berdampak pada menurunnya bauran energi terbarukan dalam bauran energi primer.
Hilirisasi batubara menjadi solusi penting mengurangi ketergantungan impor LPG sekaligus optimalisasi produksi batubara di dalam negeri. Selain meningkatkan ketahanan energi nasional, upaya ini juga ramah terhadap lingkungan karena turut mereduksi emisi karbon. Implementasi regulasi yang menarik bagi investor menjadi langkah berikutnya yang dinanti dari pemerintah.
Selama ini, batubara produksi Indonesia berupa steam coal yang digunakan sebagai bahan bakar memanaskan boiler yang menghasilkan uap untuk berbagai keperluan. Penggunaan bahan bakar jenis ini relatif minim memiliki nilai tambah secara ekonomi. Pasalnya, diproses relatif sederhana di area tambang dan langsung siap dikirimkan untuk digunakan oleh konsumen (industri).
Padahal, batubara itu dapat diproses dengan berbagai teknik pengolahan sehingga menghasilkan output produksi yang beragam dengan nilai tambah yang tinggi. Ada sejumlah cara untuk mengembangkan pemanfaatan batubara agar lebih fungsional.
Salah satunya dengan coal bed methane (CBM) yang produk akhirya berupa gas alam. Gas ini dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti memasak di level rumah tangga dan juga industri. CBM ini termasuk dalam jenis energi baru yang menggunakan teknologi penambangan nonkonvensional dalam proses eksploitasinya.
Selain itu, ada juga proses gasifikasi batubara yang dapat mengonversi batubara muda menjadi syngas. Berikutnya, diproses lebih lanjut menjadi dimethyl ether (DME) yang berguna sebagai bahan baku liquefied petroleum gas (LPG). Produk ini dapat meningkatkan ketahanan energi nasional karena mengurangi beban negara terhadap impor LPG yang terus meningkat.
Ada sejumlah kelebihan dari gasifikasi batubara ini, yakni menghasilkan bahan bakar gas yang bersih dan mudah dipindahkan melalui pipa atau disimpan di dalam tabung. Gasifikasi batubara ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti minyak solar ataupun gas kota serta dapat digunakan sebagai bahan baku industri pupuk dan petrokimia lainnya.
Pemanfaatan lainnya lagi adalah dengan teknik pencairan batubara. Terdapat dua metode untuk proses ini, yakni direct coal liquefaction (DCL) dan indirect coal liquefaction (ICL). Perbedaan utama antara kedua proses tersebut terletak pada karakteristik produknya.
Baca juga: Kemandirian Energi Melalui Hilirisasi Batubara

Proses DCL menghasilkan bahan bakar cair dengan kandungan aromatik yang tinggi sehingga bagus untuk dijadikan gasoline (bensin) karena akan memiliki bilangan oktan yang tinggi. Hanya saja, bilangan oktan dari gasoline hasil pencairan batubara tidak akan melebihi bilangan oktan dari gasoline yang berasal dari pengilangan minyak bumi.
Sebaliknya, proses ICL lebih cocok untuk menghasilkan bahan bakar diesel karena akan memiliki bilangan cetane number yang tinggi. Bahkan, menghasilkan cetane number lebih tinggi dari proses pengilangan. Selain itu, bahan bakar cair produk ICL lebih ramah lingkungan sehingga sangat bermanfaat untuk menggerakkan mesin diesel yang identik dengan gas buang emisi karbon yang besar.
Ketiga teknik pengolahan batubara tersebut membutuhkan investasi teknologi yang relatif sangat mahal sehingga masih sangat minim implementasinya secara global. Tidak banyak investor yang tertarik berinvestasi pada hilirisasi batubara tersebut karena nilai keekonomisannya tidak sebanding dengan risiko kerugian apabila tidak diminati oleh banyak konsumen. Apalagi, saat ini masih banyak substitusi energi serupa yang biaya investasinya lebih murah, mudah, dan disukai oleh konsumen.
LPG dan DME
Dari ketiga metode pengolahan mutakhir batubara tersebut, pemerintah tampaknya akan merealisasikan pengembangan DME secara optimal di Indonesia. Pada akhir November 2022, Menteri ESDM Arifin Tasrif memaparkan bahwa proyek gasifikasi batubara perusahaan BUMN pertambangan PT Bukit Asam (PTBA) menjadi DME ditargetkan akan commercial operation date (COD) pada tahun 2027.
Apabila proyek PTBA tersebut terealisasi, diperkirakan akan mampu menekan impor LPG sekitar satu juta ton per tahun. Proyek DME ini berpotensi besar memperkuat ketahanan energi nasional karena mereduksi impor energi fosil dari asing secara signifikan. Laporan Kementerian ESDM menyebutkan, untuk memproduksi 1,4 juta ton DME per tahun dibutuhkan bahan baku batubara sebanyak 6 juta ton.
Dapat dibayangkan, apabila ekspor batubara nasional yang saat ini lebih dari 400 juta ton itu sebagian besar dialihkan untuk pengembangan DME, maka ketahanan energi nasional akan kuat. Terutama dari sisi penyediaan LPG yang saat ini lebih dari 70 persennya merupakan komoditas impor. Dengan pengembangan DME, substitusi untuk suplai LPG nasional akan terpenuhi. Bahkan, berpeluang besar mendorong Indonesia menjadi eksportir DME skala global.
Hanya saja, untuk mengembangkan komoditas pengganti LPG impor tersebut tidaklah murah. Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, proyek hilirisasi batubara menjadi DME PTBA berkisar 2,3 miliar dollar AS atau setara Rp 32,9 triliun. Proyek ini pun melibatkan investor dari asing, yakni Air Products and Chemical Inc dari Amerika Serikat.

Presiden Joko Widodo mendorong hilirisasi batubara. Diharapkan, pengolahan batubara menjadi dimetil eter (DME) akan mampu mengurangi impor elpiji dan menurunkan subsidi. Tak hanya itu, lapangan kerja tercipta dengan hilirisasi. Hal ini disampaikan sebelum meresmikan dimulainya pembangunan perusahaan pengolahan batubara menjadi DME di Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022).
Baca juga: Hilirisasi Batubara Tekan Beban Impor Elpiji
Oleh sebab itu, untuk mengakselerasi daya tarik investasi coal to DME, pemerintah harus menciptakan sejumlah terobosan agar banyak investor tertarik berivestasi. Salah satu terobosan yang diinisiasi pemerintah adalah ketentuan royalti atau iuran produksi ”nol” persen untuk perusahaan yang melakukan pengembangan atau hilirisasi batubara. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Kompas, 5/1/2023).
Melalui regulasi tersebut, pemerintah berupaya memberikan insentif kepada investor pertambangan agar tertarik mengembangkan hilirisasi batubara di Indonesia. Langkah ini diharapkan berdampak positif bagi upaya pengembangan produksi batubara agar memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Setidaknya ada dua keuntungan dari langkah kebijakan itu. Selain membawa modal relatif besar yang berdampak langsung bagi perekonomian nasional, para investor juga turut serta mengenalkan teknologi dan ilmu yang mutakhir terkait pengembangan DME. Dengan demikian, secara tidak langsung akan tercipta transfer ilmu dan teknologi dari proyek investasi asing tersebut dalam jangka panjang.
Efek lingkungan
Keuntungan lain dari pengembangan DME batubara adalah efek lingkungan yang lebih bersih. Menurut Kementerian ESDM, ada sejumlah keunggulan DME dari gasifikasi batubara itu, antara lain mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon, nyala api yang dihasilkan lebih stabil, dan tidak menghasilkan polutan particulate matter (PPM) dan nitrogen oksida (NOx). Selain itu, tidak mengandung sulfur serta pembakaran lebih cepat dari LPG.
Efek lingkungan yang lebih bersih dari konsumsi DME tersebut tentu berbeda jauh dengan pola konsumsi produksi batubara dalam negeri (domestic market obligation) yang cenderung belum ramah lingkungan. Hingga saat ini, konsumsi DMO sekitar 85 persen digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sekitar 15 persen selebihnya digunakan untuk bahan bakar proses industrialisasi, seperti pengolahan baja, besi, metalurgi, semen, tekstil, pupuk, kerta, briket, dan industri lainnya.
Pola konsumsi batubara yang belum ramah lingkungan tersebut berefek buruk bagi lingkungan karena prose pembakarannya menghasilkan emisi karbon yang sangat besar. Hingga saat ini, emisi karbon yang dihasilkan oleh PLTU merupakan yang terbesar di antara jenis pembangkit listrik lainnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F04%2F3d04ad8d-19df-4a2a-a3c0-4c4d9ce862a2_jpg.jpg)
Asap membubung dari cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jawa Barat 2 atau yang dikenal dengan PLTU Pelabuhan Ragu yang terletak Pantai Cipatuguran, Kelurahan Jayanti, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/1/2023). Pembangkit ini mempunyai kapasitas produksi 3x350 megawatt.
Baca juga: Pajak Karbon demi Kelestarian Lingkungan
Berdasarkan data dari World Nuclear Association, emisi karbon yang dihasilkan dalam memproduksi energi listrik per kilowatt hour (kWh) dari sumber batubara mencapai 800 gram CO2/kWh. Efek buruk ini kemungkinan besar juga tidak berbeda jauh dengan sumber bahan bakar industri yang juga menggunakan batubara. Apalagi, jika industri bersangkutan belum menerapkan teknologi tambahan untuk menangkap buangan emisi karbon (carbon capture) yang dihasilkan dari proses pembakaran.
Oleh karena itu, upaya pemerintah untuk mendorong hilirisasi batubara dengan mengonversi menjadi DME tersebut patut mendapat apresiasi. Maka, peran negara sangat penting untuk menarik investor hilirisasi batubara tersebut agar keekonomian investasi tercapai dengan berbagai kemudahan regulasi bisnis. Tanpa disertai kebijakan dari pemerintah itu, niscaya hilirisasi batubara akan tersendat dan bahkan tidak akan berkembang sama sekali.
Regulasi yang memberikan kemudahan insentif bagi industri perlu disikapi secara positif. Mahalnya investasi yang dibutuhkan dalam proses coal to DME itu memerlukan sejumlah kemudahan dan keringanan agar investor segera balik modal dan meraih keuntungan.
Namun, benefit tersebut sifatnya hanya sementara, bukan mutlak selamanya. Seiring dengan berkembangnya hilirisasi batubara dan meningkatnya permintaan DME pengganti LPG nanti, maka pajak, royalti, ataupun iuran produksi sektor industri bersangkutan patut dikenakan kembali secara proporsional.
Selain meningkatkan ketahanan energi nasional, langkah ini juga akan mendorong kemajuan iklim usaha menjadi kian kompetitif dan dinamis yang berperan besar memajukan perekonomian Indonesia. (LITBANG KOMPAS)