Permodalan usaha untuk UMKM perikanan mulai dibuka untuk pengadaan kapal-kapal besar. Kesiapan dan kemampuan operasional nelayan perlu menjadi perhatian.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan membidik pembiayaan untuk pengadaan kapal ikan berukuran 30 gros ton. Pembiayaan difokuskan bagi koperasi-koperasi perikanan agar turut memperoleh kuota tangkapan ikan di zona industri dalam implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur.
Direktur Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (BLU-LPMUKP) I Nengah Putra Winata, di Jakarta, Rabu (11/1/2023), mengemukakan, pihaknya menginisiasi skema pembiayaan untuk pengadaan armada penangkapan ikan berukuran besar. Pembiayaan itu ditargetkan menjangkau pengadaan 134 kapal ikan berukuran 30 gros ton (GT).
Pembiayaan untuk kapal perikanan besar sejalan dengan rencana penerapan program penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Koperasi-koperasi nelayan atau nelayan kecil yang bergabung dalam koperasi diharapkan bisa mendapat kuota tangkapan di zona industri seperti halnya pelaku industri perikanan. Pihaknya menargetkan pengadaan kapal-kapal berukuran 30 GT bagi koperasi mampu berkontribusi pada hasil tangkapan ikan hingga 20.000 ton per tahun.
Menurut Winata, salah satu kendala terbesar dalam pembiayaan kapal adalah agunan. Skema perlindungan asuransi mampu menjamin 70 persen dari nilai agunan, selebihnya atau 30 persen agunan wajib ditanggung koperasi.
Sementara itu, setoran aset koperasi untuk jaminan permodalan 134 unit kapal diprediksi tidak mencukupi nilai agunan yang harus ditanggung sebesar Rp 150 miliar. ”Kalau ada kekurangan (agunan) menjadi risiko BLU-LPMUKP,” katanya.
Pada tahun 2023, alokasi anggaran BLU-LPMUKP untuk permodalan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sektor kelautan dan perikanan mencapai Rp 700 miliar. Anggaran itu ditujukan, antara lain, untuk pembiayaan usaha penangkapan ikan sebesar Rp 400 miliar, usaha budidaya ikan Rp 95 miliar, pemasaran dan ritel Rp 90 miliar, serta pengelolaan aset Rp 34 miliar. Skema pembiayaan dikenakan suku bunga kredit sebesar 3 persen per tahun dan tenor pinjaman rata-rata 5 tahun.
Hingga saat ini, BLU-LPMUKP telah menyalurkan total pembiayaan sebesar Rp 636,99 miliar. Dari alokasi tersebut, jumlah kredit bermasalah atau tunggakan sekitar Rp 186,26 miliar, sedangkan nilai kredit bermasalah/NPL (netto) sekitar 8,25 persen.
Realisasi rendah
Sepanjang tahun 2022, realisasi penyaluran kredit oleh BLU-LPMUKP mencapai sekitar Rp 128 miliar. Penyaluran itu lebih rendah dibandingkan tahun 2021 yang mencapai Rp 270 miliar dan realisasi tahun 2020 yang mencapai Rp 192 miliar.
Winata menjelaskan, pada tahun lalu pihaknya sempat melakukan moratorium pinjaman. Hal itu disebabkan terjadi penumpukan pengajuan kredit sebanyak 3.100 proposal dengan nilai pinjaman Rp 1,2 triliun. Moratorium dilakukan untuk menganalisis dan menyelesaikan proposal kredit yang belum tersalurkan serta menginisiasi bisnis baru.
Kepala Divisi Keuangan dan Pengelolaan Risiko BLU-LPMUKP Darmawan Sidik menambahkan, dari hasil analisis terhadap 3.100 proposal kredit, hanya 900 proposal yang dinyatakan lolos seleksi dengan nilai kredit mencapai Rp 128 miliar untuk jumlah pemanfaat sekitar 1.800 nasabah. Kendala utama realisasi kredit, antara lain, manajemen bisnis dan laporan keuangan pelaku UMKM yang belum memenuhi kriteria.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyoroti skema kredit murah yang disediakan pemerintah melalui BLU-LPMUKP belum optimal menjangkau pelaku usaha kelautan dan perikanan skala kecil. Penyaluran kredit pada tahun 2022 bahkan tergolong paling rendah dalam kurun lima tahun terakhir.
Ia menyayangkan rendahnya penyaluran kredit di tengah besarnya kebutuhan pendanaan bagi nelayan kecil dalam menghadapi krisis. Kredit itu sangat dibutuhkan nelayan untuk permodalan dan perbekalan melaut. BLU-LMPUKP dinilai belum menemukan dan mengenali karakteristik usaha kecil kelautan dan perikanan sehingga penyaluran kredit belum optimal.
Kredit itu sangat dibutuhkan nelayan untuk permodalan dan perbekalan melaut.
”Tidak ada terobosan dalam formula maupun strategi penyaluran kredit murah. Padahal, pelaku usaha kecil perikanan termasuk kelompok yang serius untuk berusaha,” kata Abdi.
Peneliti DFW Indonesia, Imam Trihatmadja, menyampaikan, banyak daerah potensial perikanan di Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara yang sulit mengakses kredit LPMUKP karena masih minimnya informasi dan staf pendamping yang tidak tersedia pada level paling bawah. Pihaknya bahkan menemukan calon nasabah LPMUKP di Bitung, Sulawesi Utara, yang sudah tiga tahun mengajukan kredit tapi belum mendapatkan bantuan.
”Kami melihat masalah SDM dan pola kerja petugas lapangan serta aspek kehati-hatian yang sangat tinggi menyebabkan realisasi tahun lalu menjadi rendah,” kata Imam.
Ia menilai, LPMUKP perlu bekerja sama dengan penyuluh perikanan dan pendamping desa dalam melakukan pelayanan dan pendampingan teknis kepada pelaku usaha. ”Harapannya, kredit murah itu dapat di akses secara luas oleh pelaku usaha kecil di daerah”, lanjut Imam.