Pemerintah mengakui bahwa terdapat sejumlah permasalahan dalam proses perumusan kebijakan penangkapan ikan terukur, tetapi perbaikan akan terus dilakukan. Sejumlah kalangan meminta kebijakan ini ditunda.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadwalkan kebijakan penangkapan ikan terukur dan peralihan penerimaan negara bukan pajak dari praproduksi ke pascaproduksi mulai tahun 2023. Sejumlah pelaku usaha perikanan tangkap meminta pemerintah menunda kebijakan penangkapan berbasis kuota itu seiring beratnya beban operasional kapal.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi mengemukakan, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota diperlukan untuk pemerataan ekonomi. Kapal penangkap ikan wajib mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan pada zona perikanan yang ditentukan.
”Kebijakan penangkapan ikan terukur menjadi bagian dari upaya memeratakan pertumbuhan ekonomi wilayah di Indonesia,” ujarnya dalam acara Konsultasi Publik Rancangan Peraturan Perundang-undangan untuk Mendukung Penangkapan Ikan Terukur yang diselenggarakan secara daring, Rabu (14/12/2022).
Sejalan dengan kebijakan penangkapan ikan terukur, akan dilaksanakan penarikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pungutan hasil perikanan (PHP) pascaproduksi. Dengan penerapan PNBP pascaproduksi, tata kelola perikanan diharapkan menjadi semakin baik dan terukur.
Pelaksana Tugas Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furkon mengatakan, kebijakan penangkapan ikan terukur dan pungutan PNBP pascaproduksi merupakan satu kesatuan pengelolaan. Kuota tangkapan ikan diberikan bagi pelaku usaha perikanan tangkap dan nelayan, sedangkan negara memperoleh PNBP hasil perikanan pascaproduksi. Peralihan pungutan hasil perikanan praproduksi ke pascaproduksi itu akan terus dibarengi dengan perbaikan dan evaluasi.
Pungutan pascaproduksi diberlakukan untuk setiap kilogram jenis ikan yang ditangkap. Nilai pungutan itu mempertimbangkan harga pokok produksi, termasuk biaya perbekalan, serta variabel harga jual ikan. Besaran pungutan akan dievaluasi dan disesuaikan setiap tahun.
Ia mengakui, terdapat sejumlah permasalahan dalam proses perumusan kebijakan penangkapan ikan terukur, tetapi perbaikan akan terus dilakukan. ”Kalau tidak berani (memulai), kita akan stagnan dan ketidakmampuan melakukan manajemen perikanan akan berdampak ke kita semua,” kata Ukon.
Ketua Tim Percepatan Penangkapan Ikan Terukur KKP Agus Suherman menambahkan, pemerintah terus mengkaji sejumlah variabel dalam perumusan pungutan PNBP. Di antaranya adalah faktor harga bahan bakar serta faktor risiko dan kegagalan usaha. Penangkapan ikan terukur tetap memberikan peluang usaha tumbuh dengan baik, tetapi perlu ditata ketersediaan sumber daya ikan dibandingkan jumlah kapal. Apabila kapal perikanan lebih banyak dibandingkan sumber daya ikan, hal itu akan menjadi beban yang dibayarkan pelaku usaha.
Sebelumnya, pemberlakukan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota beberapa kali tertunda. Kebijakan itu mulai digulirkan pada akhir 2021 dan semula akan diterapkan pada tahun 2022.
Minta ditunda
Sementara itu, sejumlah pelaku usaha meminta pemerintah menunda pelaksanaan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota di tengah situasi pelaku usaha perikanan yang terbebani pembengkakan biaya operasional.
Wakil Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Pati Subaskoro menyampaikan, pelaku usaha perikanan di pantai utara Jawa menyoroti harga patokan ikan dan indeks tarif. Harga patokan ikan yang diusulkan pelaku usaha saat itu mengacu pada harga solar yang sekitar Rp 11.000 per liter. Namun, harga solar saat ini sudah menyentuh Rp 16.000 per liter.
Ia menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur terus dikonsultasikan, tetapi belum menghasilkan konsep yang terbuka bagi pelaku usaha perikanan yang akan terdampak kebijakan tersebut. Kebijakan ini belum mampu meyakinkan pelaku usaha, sementara pelaku usaha menghadapi ketidakpastian akibat beban biaya operasional sangat tinggi di tengah tangkapan yang tidak memadai.
Dari delapan bulan melaut dalam setahun, pelaku usaha hanya bisa optimal menangkap ikan selama sebulan. Oleh karena itu, pemerintah diminta menunda pemberlakukan kebijakan penangkapan ikan terukur dan fokus pada transisi pemberlakuan sistem penarikan PNBP pascaproduksi dan indeks tarif. Pemberlakuan penangkapan ikan terukur untuk mendukung ekonomi biru jangan sampai mengabaikan kesulitan bisnis perikanan saat ini.
”Kita jalankan dulu mekanisme pungutan pascaproduksi, sambil melihat produksi ikan secara nasional dalam 1-2 tahun ke depan. Setelah itu, KKP bisa mengonsep lagi secara terbuka kebijakan penangkapan ikan terukur,” kata Subaskoro yang juga Direktur Utama PT Tunas Bersaudara Juwana itu.
Secara terpisah, Sekretaris Asosiasi Tuna Indonesia DKI Jakarta Muhammad Bilahmar menyatakan, tantangan besar pemberlakuan kebijakan penangkapan ikan terukur adalah terjadinya penurunan stok ikan. Ia menilai, pemerintah perlu membuka data riil stok sumber daya ikan yang masih dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan oleh pelaku usaha perikanan hingga nelayan kecil dan nelayan tanpa perahu.
Dari data KKP tahun 2022, terjadi penurunan stok ikan akibat penangkapan ikan berlebih sebesar 35 persen dan penangkapan penuh (fully exploited) 54 persen. Sementara The Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) menyebut kerugian negara akibat penangkapan ikan ilegal sebesar 4 miliar dollar AS per tahun atau setara Rp 56,34 triliun per tahun.
Bilahmar menambahkan, rancangan peraturan terkait penangkapan ikan terukur seharusnya disosialisasikan kepada publik secara lengkap. Apalagi, pemberlakuan kebijakan itu direncanakan dalam waktu dekat. Di sisi lain, masa transisi menuju pemberlakuan PNBP pascaproduksi masih perlu diuji coba dengan melihat kesiapan pelabuhan.
Selain itu, ia mengingatkan, pembagian kuota tangkapan ikan harus memprioritaskan kapal-kapal industri perikanan dan kapal nelayan yang sudah ada. Oleh karena itu, diperlukan transparansi dalam penetapan kuota tangkapan ikan.
”Jangan sampai ada pihak-pihak pendatang baru yang belum memiliki kapal, tapi sudah mendapatkan kuota tangkapan ikan. Perlu adanya transparansi dalam penetapan kuota. Jadi, kuota benar-benar memihak pada nelayan dan pengusaha nasional yang sudah bertahun-tahun menjalankan usahanya di bidang perikanan,” katanya.