Ketentuan pekerjaan alih daya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja masih memicu perdebatan. Pemerintah dinilai perlu memberikan solusi yang memberi kepastian.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketentuan terkait pekerjaan alih daya dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja masih memicu perdebatan. Pemerintah dinilai perlu memberikan solusi yang bisa memberi kepastian dan perlindungan bagi pekerja alih daya.
Sesuai Pasal 64 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis. Selanjutnya, pemerintah akan menetapkan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan tersebut melalui peraturan pemerintah.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, adanya kewenangan untuk menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan melalui penerbitan PP berarti membuka ruang bagi pemerintah untuk merevisi aturan sebelumnya tentang pekerjaan alih daya. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian bagi pekerja dan pengusaha.
”Jika pemerintah tidak ingin substansi aturan pekerjaan alih daya kembali seperti UU No 13/2003, konsekuensinya adalah ada peluang pekerjaan inti bisa dialihdayakan. Apabila ini terjadi, akan muncul diskriminasi di tempat kerja,” kata Timboel, Jumat (6/1/2023), di Jakarta.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani menyampaikan, pihaknya dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang dipimpin oleh Said Iqbal telah bertemu dengan jajaran pimpinan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Kamis (5/1/2023). Pertemuan itu menjadi awal mereka membuka ruang dialog dengan pemerintah mengenai kemunculan Perppu No 2/2022.
Sikap KSPSI sejauh ini menolak substansi Perppu No 2/2022. Mengenai pekerjaan alih daya, khususnya, Andi mengatakan seharusnya pemerintah menegaskan jenis dan jumlah pekerjaan yang boleh dialihdayakan dan yang tidak.
Sebelumnya, anggota Komite Regulasi dan Kelembagaan Apindo, Susanto Haryono, mengatakan, pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan tidak lagi relevan di tengah kemunculan pekerjaan baru pada era 4.0 dan lonjakan kebutuhan pekerja terampil. ”Usulan kami, peraturan turunan Perppu No 2/2022 jangan sampai bertentangan dengan kondisi dunia yang sudah memasuki era 4.0,” ujarnya (Kompas, 4/1/2023).
”Alasan kami kembali memunculkan alih daya dalam Perppu No 2/2022 dengan pembatasan adalah memberikan kesempatan luas bagi para PKWT (pekerja dengan status hubungan perjanjian kerja waktu tertentu) menjadi PKWTT (pekerja dengan status hubungan perjanjian kerja waktu tidak tertentu). Jadi, ada kepastian,” kata Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kemenaker Indah Anggoro Putri dalam konferensi pers secara daring.
Dia menjelaskan, apabila pekerjaan alih daya terlalu dibuka luas, pemerintah mengkhawatirkan pengusaha akan terus menerapkan status alih daya bagi pekerja. Substansi Pasal 64 Perppu No 2/2022 memberikan kesempatan bagi pekerja untuk mendapatkan PKWTT.
”Pembatasan ini tidak akan mengurangi pengembangan usaha. Kelangsungan usaha tetap terjamin,” kata Indah.
Pemerintah melalui Kemenaker sedang mempersiapkan dan membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja. Proses revisi ini merupakan tindak lanjut dari keluarnya Perppu No 2/2022.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan, seperti yang tertuang dalam Pasal 64 Perppu No 2/2022, akan dimasukkan ke revisi PP No 35/2021. Indah memastikan, isi ketentuannya tidak akan kembali seperti ketentuan alih daya yang ada di UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Seperti diketahui, ketentuan alih daya dalam UU No 13/2003 terletak pada Pasal 64, 65, dan 66. Pada Pasal 64 UU No 13/2003 disebutkan, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
Kemudian, sesuai Pasal 65 Ayat (2) UU No 13/2003, pekerjaan yang dapat dialihdayakan harus memenuhi empat syarat. Pertama, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. Kedua, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. Ketiga, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Keempat, tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Lalu, sesuai Pasal 66 Ayat (1) UU No 13/2003, pekerja dari perusahaan penyedia jasa pekerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Kegiatan tersebut meliputi pelayanan kebersihan, penyediaan makanan, usaha tenaga pengaman, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja.
”Internal Kemenaker sedang menyiapkan substansi apa saja yang diubah dalam PP No 35/2021 dan PP No 36/2021. Setelah itu, kami akan membawanya ke Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional. Menaker telah memerintahkan agar revisi kedua PP itu selesai secepatnya,” imbuh Indah.
Secara terpisah, analis dari Trade Union Rights Centre, Syaukani Ichsan, berpendapat, masih terlalu dini menyebut keberadaan Perppu No 2/2022 lebih baik dari UU Cipta Kerja. Sebab, proses formil atau kelahiran Perppu No 2/2022 tidak menerapkan prinsip partisipasi bermakna. Dari sisi substansi Perppu No 2/2022, dia memandang, komitmen nyata pemerintah terhadap pembatasan jenis-jenis pekerjaan yang dialihdayakan belum terlihat.
Selama ini, katanya, pekerja alih daya kerap mengalami pemotongan upah. Perusahaan pengguna juga cenderung tidak mau tahu kasus-kasus dalam perusahaan penyedia jasa alih daya. Di sejumlah pabrik garmen dan alas kaki, dia menemukan ada kasus sejumlah buruh alih daya dibayar dengan upah di bawah upah minimum dan tidak mendapat jaminan sosial.
”Terlalu prematur menilai Perppu No 2/2022 sudah menjawab permasalahan pengabaian perlindungan hak-hak pekerja alih daya,” ujarnya.