Investasi Besar Jadi Tantangan Hilirisasi Batubara
Kalangan pelaku usaha batubara mengatakan, secara realistis, dengan harga batubara yang sedang tinggi kini, pengusaha akan senang menjual apa adanya. Pemerintah menyiapkan sejumlah kebijakan lanjutan untuk hilirisasi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ketentuan royalti 0 persen untuk perusahaan batubara yang melakukan pengembangan atau hilirisasi batubara, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dianggap sebagai inisiasi positif. Namun, sebelum sampai pada tahap itu, ada tantangan terkait kebutuhan investasi besar.
Sama seperti UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, dalam Perppu No 2/2022, pengaturan terkait energi dan sumber daya mineral juga memuat kebijakan itu. Disebutkan, pada UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Petambangan Mineral dan Batubara, yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020, di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan Pasal 129A.
Pasal sisipan tersebut memuat tentang perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara bagi pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) yang melakukan pengembangan dan/atau pemanfaatan batubara (berkait dengan kewajiban peningkatan nilai tambah mineral). Itu berupa pengenaan iuran produksi atau royalti 0 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo) Anggawira, Rabu (4/1/2023) menilai kebijakan itu sebagai terobosan baik. Namun, insentif tersebut berkaitan dengan hilir. Sebelum sampai tahap itu, problem utama dalam proses pengembangan atau hilirisasi batubara ialah soal pembiayaan proyek-proyek baru untuk hilirisasi.
Sebelum sampai tahap itu, problem utama dalam proses pengembangan atau hilirisasi batubara ialah soal pembiayaan proyek-proyek baru untuk hilirisasi.
Apalagi, dengan harga batubara yang terus tinggi hingga kini, pengusaha akan lebih senang menjual batubara apa adanya. "Saat ini realistisnya seperti itu. (Terkait hilirisasi) perlu ada rencana jangka panjang. Juga harus dipetakan, misalnya batubara kalori rendah di mana saja, juga skalanya. Proyek seperti ini kan bisa dijalankan dengan cadangan sekian juta ton," ujarnya.
Ia menambahkan, beda dengan sejumlah mineral lain, batubara digunakan untuk bahan bakar. Artinya, bukan barang yang bisa diolah setengah jadi ataupun lanjutannya. Untuk dialihkan menjadi energi lain, memerlukan biaya tambahan. Pada akhirnya, semua berkait dengan tercapai atau tidaknya keekonomian.
Menurutnya, dalam hilirisasi batubara, pendekatannya hanya dua, yakni bagaimana dukungan pembiayaan dan investasi yang masuk. "Insentif ini kan bicara di ujung, kalau bisnisnya sudah jalan. Kalau belum, bagaimana mau diterapkan. Selama pembiayaan tidak pro, bagaimana mau membuat proyek baru? Perlu dukungan pembiayaan," ujarnya.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Lana Saria menuturkan, pembangunan fasilitas batubara di Indonesia belum sepenuhnya komersial. Khususnya gasifikasi batubara termasuk underground coal gasification (UCG), coal liquefaction, dan coal slurry atau coal water mixture.
"Sebab, investasi yang besar menjadi salah satu tantangan dalam kegiatan pengembangan batubara di Indonesia," ujarnya.
Saat ini, imbuh Lana, ada dua proyek gasifikasi batubara di Indonesia yang sudah menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN) yakni "Coal to DME (dimetil eter)" di Tanjung Enim oleh PT Bukit Asam dan "Coal to Methanol" di Kalimantan Timur. Keduanya diharapkan menjadi pionir gasifikasi batubara, baik untuk kemandirian energi dan industri maupun pertumbuhan ekonomi.
Penerapan tarif royalti 0 persen untuk batubara yang digunakan sebagai bahan baku hilirisasi batubara, ialah bentuk dukungan pemerintah untuk mendukung keekonomian proyek itu. "Kebijakan untuk pemberian insentif royalti ini dipertimbangkan agar memberikan kepastian kelayakan proyek sehingga dapat mendorong percepatan terlaksananya hilirisasi batubara," kata Lana.
Kebijakan untuk pemberian insentif royalti ini dipertimbangkan agar memberikan kepastian kelayakan proyek sehingga dapat mendorong percepatan terlaksananya hilirisasi batubara
Aturan teknis disiapkan
Lana menambahkan, pemerintah tengah menyiapkan sejumlah kebijakan dalam rangka mendukung kegiatan hilirisasi batubara. Salah satunya ialah Keputusan Menteri ESDM tentang tarif royalti 0 persen bagi yang melakukan peningkatan nilai tambah (PNT), sebagai peraturan teknis dari Perppu No 2/2022.
"(Selain itu), Kepmen ESDM tentang harga khusus untuk batubara yang digunakan untuk PNT dan RPerpres (rancangan peraturan presiden) tentang penyediaan, pendistribusian dan penetapan harga DME," kata Lana.
Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Mulyanto menyatakan, pemerintah seharusnya memberlakukan tarif royalti progresif ekspor batubara. Hal tersebut penting demi terciptanya keadilan antara pengusaha, pemerintah daerah, dan masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah tambang.
"Di tengah harga batubara yang tinggi, yang melejitkan kekayaan taipan batubara, pemerintah bukannya menaikkan royalti ekspor batu bara ini malah menerbitkan Perppu Ciptaker yang akan menerapkan royalti 'nol persen' untuk hilirisasi batu bara. Perppu ini malah menambah runyam dan makin tidak adil," ujar Mulyanto dikutip dari laman DPR, Rabu (4/1/2023).
Ia mengusulkan pemerintah meninjau ulang pasal royalti 0 persen tersebut dan segera menerapkan royalti progresif, di mana besaran royalti meningkat secara progresif bila harga batubara dunia tinggi. Tidak seperti sekarang ini, di mana royalti batubara flat sebesar 13,5 persen bila harga batubara acuan (HBA) sebesar 90 dollar AS per ton ke atas.
Adapun HBA Januari 2023 sebesar 305,21 dollar AS per ton atau naik 8,43 persen dari Desember 2022 yang 281,48 dollar AS per ton. Dikutip laman Kementerian ESDM, kenaikan itu salah satunya dipicu gangguan distribusi batubara di Australia, sebagai salah satu pemasok batubara global. Lonjakan harga batubara Australia diakibatkan tingginya curah hujan.
Sejak pertengahan 2021, harga batubara dunia menanjak seiring meningkatnya permintaan global, yang selanjutnya dipengaruhi situasi geopolitik dunia. Catatan Trading Economics, puncaknya terjadi pada 5 September 2022 yang mencapai sekitar 457 dollar AS per ton. Adapun pada 30 Desember 2022, ditutup 404 dollar AS per ton. Angka tersebut jauh lebih tinggi dari 31 Januari 2022 misalnya, yang 222 dollar AS per ton. Sementara pada 26 Januari 2021 hanya 86 dollar AS per ton.