Aturan Belum Jelas, Penerapan Pajak Kenikmatan Dibayangi Ketidakpastian
Implementasi pajak natura tahun ini dinilai tidak efektif di tengah aturan teknis yang belum jelas dan tenggat pelaporan SPT yang tinggal tersisa tiga bulan lagi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah resmi mengenakan pajak penghasilan (PPh) atas imbalan berbentuk natura atau kenikmatan—alias barang, fasilitas, dan pelayanan non-uang yang diterima pegawai dari perusahaan. Meski demikian, penerapannya dibayangi ketidakpastian karena sampai sekarang peraturan teknis yang mengatur lebih rinci tentang obyek pajak baru itu belum lengkap.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang baru diterbitkan pada akhir tahun lalu mengatur, karyawan wajib menghitung dan membayar sendiri PPh terutang atas natura dan kenikmatan yang mereka terima dari perusahaan tempat bekerja sepanjang tahun 2022.
Pajak atas penghasilan non-uang itu wajib dibayarkan dan dilaporkan dalam waktu tiga bulan ke depan, paling lambat saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2022, yaitu 31 Maret 2023. Sementara mulai 1 Januari 2023, perusahaan wajib memotong secara langsung PPh atas imbalan natura atau kenikmatan yang diberikan ke karyawan.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, Rabu (4/1/2023) menilai, implementasi pajak natura tahun ini tidak akan efektif karena masih ada ketidakpastian hukum. Sampai sekarang, pemerintah belum mengeluarkan aturan teknis mengenai barang dan fasilitas yang dikecualikan sebagai obyek pajak, termasuk tata cara menghitung batas nilai imbalan yang akan dipajaki.
Apalagi, pajak natura merupakan ”barang” baru. Sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berlaku, imbalan selain uang dalam bentuk barang atau fasilitas tertentu yang diterima karyawan tidak termasuk dalam obyek pajak.
”PP 55 Tahun 2022 belum mengatur spesifik. Masih dibutuhkan aturan teknis lain dalam bentuk peraturan menteri keuangan (PMK), yang itu pun belum diketahui kapan akan keluar. Belum lagi sosialisasi teknis di lapangan belum dilakukan. Padahal, awal tahun ini, kita sudah wajib lapor (SPT),” kata Fajry.
Ia menilai, terlalu dipaksakan jika pemerintah buru-buru mengenakan pajak atas natura ketika aturannya masih simpang-siur. Itu akan membingungkan dan memberatkan karyawan yang harus menyisir ulang, menghitung, dan membayar pajak atas imbalan yang mereka terima tahun lalu, hanya dalam waktu tiga bulan. ”Saya ragu akan efektif. Lebih baik ini diberlakukan setelah PMK keluar,” ujarnya.
Mengawang
PP 55 Tahun 2022 memang sudah mengatur beberapa jenis imbalan yang bisa dikecualikan dari obyek pajak natura. Namun, ketentuan itu masih terlalu luas dan mengawang.
Terlalu dipaksakan jika pemerintah buru-buru mengenakan pajak atas natura ketika aturannya masih simpang-siur.
Misalnya, pasal 24 mengecualikan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, natura atau kenikmatan yang disediakan di daerah tertentu, natura atau kenikmatan yang harus disediakan oleh pemberi kerja dalam pelaksanaan pekerjaan, natura atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai uang negara, serta natura atau kenikmatan dengan jenis atau batasan tertentu.
Beberapa contoh pengecualian itu dijabarkan di pasal 25-27, seperti makanan yang disediakan perusahaan di tempat kerja, fasilitas rumah bagi pegawai di daerah terpencil, olahraga yang tidak mewah (contohnya selain golf, pacuan kuda, terbang layang, atau otomotif), pakaian seragam, serta fasilitas untuk pegawai dalam rangka menghadapi pandemi atau bencana.
Akan tetapi, PP belum mengatur tata cara menilai dan menghitung batas nilai imbalan yang bisa dimasukkan sebagai obyek pajak.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, tanpa tata cara penghitungan, akan sulit menentukan imbalan yang dikecualikan atau tidak. Sebab, jenis barang dan fasilitas yang disediakan perusahaan sangat beragam.
”Contoh sederhana, laptop untuk pekerja. Apakah termasuk obyek pajak atau non-obyek pajak? Ini saja belum jelas. Oleh karena itu harus ada pengaturan lebih teknis, ketentuan besaran (nilai) itu yang nanti perlu dicermati di PMK,” kata Prianto.
Pemerintah akan menyegerakan penyusunan PMK terkait pajak atas natura. Saat ini, rancangan PMK itu sedang dibahas.
Keadilan
Di sisi lain, PMK juga harus memperjelas aturan pengenaan pajak natura agar tidak membebani karyawan berpenghasilan menengah-bawah. Ini untuk memenuhi prinsip keadilan dalam pemajakan, sesuai janji pemerintah bahwa pajak natura akan lebih diarahkan untuk karyawan menengah-atas yang mendapat fasilitas eksklusif.
Solusi lain adalah negosiasi antara karyawan dengan perusahaan. ”Harus proporsional. Misalnya, kalau ada 100 pegawai yang menerima imbalan sama, persentasenya harus dibedakan sesuai total penghasilan masing-masing. Ini bisa kembali pada kesepakatan (bipartit), meski memang jadi ketidakpastian hukum soal apa dan siapa yang bisa jadi obyek (pajak),” ujarnya.
Prianto menilai, pekerja dan perusahaan perlu berdiskusi sebelum tenggat waktu laporan SPT. Selain untuk menyisir ulang imbalan selama tahun lalu, juga untuk menegosiasikan pemberian remunerasi pada karyawan untuk membayar PPh ”dadakan” itu. ”Sebab, kalau pajak tahun 2022 itu ditanggung oleh pegawai, bisa-bisa gaji bulan Maret 2023 habis untuk bayar PPh,” katanya.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, pemerintah akan menyegerakan penyusunan PMK terkait pajak atas natura. Saat ini, rancangan PMK itu sedang dibahas. ”Nanti akan kita sampaikan apa-apa saja sebetulnya barang dan jasa yang bisa dikecualikan,” kata Suryo dalam konferensi pers APBN Kita, Selasa (3/1/2023).
Ia menegaskan, meski PP 55/2022 baru keluar akhir tahun lalu, sesuai mandat UU HPP, penerapan pajak natura harus berlaku mulai tahun pajak 2022. ”Kalau memang karyawan merasa mendapat penghasilan dalam bentuk natura yang harus dikenakan pajak, nanti itu akan diperhitungkan di SPT PPh yang wajib disampaikan bulan Maret besok,” ujarnya.